100 Tahun Soeharto (1): Bocah dan Doa

Selama puluhan tahun, bocah-bocah di desa berlatar Orde Baru biasa mengucap jawab: “Aku mau menjadi tentara”. Ia melihat para tentara masuk desa. Tentara bekerja membuat jalan, jembatan, dan mendirikan bangunan. Di mata bocah, tentara itu sosok gagah dan baik. Tentara pun terimajinasikan dengan perang, selain desa. Bocah-bocah suka bermain perang-perangan. Mereka bergantian menjadi “seri” dan “musuh”. Di tangan, ada bedil-bedilan. Bocah berlagak melempar bom sambil mulut berteriak. Tongkat atau gagang sapu digunakan sebagai senjata. Imajinasi para bocah sebagai tentara mungkin mengesankan “kekerasan”. Mereka memiliki referensi menjadi tentara melalui cerita kakek, menonton televisi, melihat poster, membaca buku pelajaran, dan mendengar pidato pembina upacara.

Bocah-bocah lumrah berimajinasi tentara untuk membela, memuliakan, dan memajukan Indonesia. Contoh terkeren adalah Soeharto. Kita melihat foto Soeharto berkostum tentara di sampul buku berjudul Soeharto: Dari Pradjurit Sampai Presiden (1969) garapan OG Roeder. Lelaki ganteng dan tatapan mata bening. Kegagahan terbuktikan selama berkuasa di Indonesia.

Ia adalah tentara pujaan. Dulu, tentara juga  biasa disebut prajurit. Roeder berbagi cerita babak awal menulis biografi si tokoh: “Selama pertjakapan berlangsung Djenderal Soeharto terus tersenjum, meneguk air teh dan menikmati tjerutunja.” Penampilan berwibawa dan membikin si penulis agak berdebar. Situasi agak reda setelah Soeharto berkelakar tentang kesalahan orang-orang asing mengira ia dilahirkan pada 20 Februari 1921. Setiap tanggal itu berdatangan karangan bunga ke rumah beralamat di Jalan Cendana, Jakarta. Roeder menulis: “Rupanja kesalahan tanggal lahir itu malah menggelikan hatinja. Adakalanja perlu merobah tanggal lahir supaja bisa masuk tentara, komentarnja atjh tak atjuh.” Kita mengerti geli itu sejenak tapi pokok dari sikap Soeharto adalah ketentaraan.

Iklan – Lanjutkan Membaca Di Bawah Ini

Baca juga:  Ulama Banjar (69): H. Bustani Ahmad

Kesan berbeda saat kita mengamati tampilan sampul buku berjudul Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto (1976). Buku garapan Roeder, teranggap edisi “diperbaiki” dari buku Soeharto: Dari Pradjurit Sampai Presiden. Gambar di sampul dibuat oleh Zaini. Pelukis kondang dan tercatat menggerakan majalah sastra bernama Horison, majalah berpengaruh setelah malapetakan 1965. Soeharto tak lagi muda seperti tampak di buku terdahulu. Ia berwajah kalem. Pandangan mata tajam. Tampil selaku lelaki bijak. Tanda terpenting adalah peci berwarna hitam. Kita boleh menduga peci mengartikan religius atau kesadaran berbusana “nasional”. Bocah-bocah masa lalu mungkin memilih mengingat Soeharto adalah tentara ketimbang lelaki tua berpeci.

“Sedjak ia masih ketjil pikirannja tidak dipengaruhi oleh suatu tugas sutji, dan ia tidak mentjiptakan dan mengembangkan suatu doktrin ideologi,” tulis Roeder (1969). Semasa bocah, Soeharto itu kalem. Sifat itu masih terbawa sampai tua. Kalem mendapat pujian tapi sekian tuduhan berdatangan setelah mengetahui di balik kalem ada “masalah-masalah” berkaitan militerisme, pelanggaran hak asasi manusia, dan penggerusan demokrasi. Soeharto tetap menjadi pujaan tapi kritik demi kritik pantang absen. Ingat, Soeharto semasa bocah belum berpikiran jauh mengenai ideologi. Ia pun tak mengharuskan memiliki misi suci. Soeharto pun tak mengerti bila kelahiran di Kemusuk, 6 Juni 1921, mencipta sejarah besar di Indonesia.

Dulu, sang bapak cuma memiliki doa sederhana ata kelahiran Soeharto. Paragraf dari Roeder (1976) terbaca lagi mumpung seabad Soeharto: “Diadakanlah selamatan seminggu kemudian. Pak Kerto mengundang kaum kerabat dan tetangganya yang terdekat untuk berkumpul dan makan bersama: menikmati hidangan nasi dengan sayur, gulai, ikan asin, daging dan banyak buah-buahan serta juadah. Semua berdoa untuk keselamatan bayi, semoga panjang umur dan murah rezekinya.” Doa lazim bagi orang-orang Jawa di perdesaan. Doa terkabulkan. Soeharto panjang umur. Soeharto pun mendapat rezeki berlimpah tapi berbeda dari pengharapan Pak Kerto.

Baca juga:  100 Tahun Soeharto (3): Keluarga dan Indonesia

Kita membaca keluguan: “Dengan senyum bahagia, Pak Kerto membayangkan betapa si anak nanti dapat membantunya di sawah, dan insya Allah, dengan kehendak Tuhan akan dapat mewarisi pekerjaannya sebagai ulu-ulu. Itulah pengharapannya yang paling besar.” Sang bapak sulit menebak nasib. Soeharto tak di sawah tapi di istana. Soeharto adalah presiden, bukan petani terbiasa berlumpur di sawah. Soeharto tak melupa doa bapak dan masa lalu. Pada saat berkuasa, ia masih sering mampir ke sawah. Ia memanen padi berdalih swasembada pangan.

Doa terlalu penting mengiringi biografi Soeharto. Anak desa itu rajin berdoa menapaki tahun-tahun menjadi lelaki dewasa berpredikat prajurit dan berlanjut menjadi presiden. Kita membaca berita di majalah Sarinah, 6 Juli 1987. Soeharto dalam peringatan ulang tahun: “8 Juni 1987, hari lahir Soeharto… Waktu selama 66 tahun tentu telah menyebabkan banyak pergeseran kondisi. Namun, rasa syukur yang ada tetap sama besarnya. Makna peringatan pun sama sederhananya. Di atas meja makan di ruang keluarga Jalan Cendana No 10, Jakarta, sore itu hidangan ulang tahun hanya nasi tumpeng dan bermacam buah-buahan.” Soeharto tanpa pesta pora.

Usia menua, Soeharto tetap berdoa. Orang-orang tercinta pun berdoa dan mengucap “amin”. Kita simak ucapan Ibu Tien Soeharto: “Mudah-mudahan beliau diberi panjang umur, diberi kekuatan lahir dan batin agar selalu dapat melaksanakan tugas-tugasnya dengan sukses. Mari kita membaca surat Al Fatihah.” Soeharto memiliki tugas-tugas besar berlakon Orde Baru. Soeharto bertambah umur, bertambah masalah. Berdoa menentukan pembentukan biografi politik dan mencipta keluarga teladan di Indonesia. Soeharto sadar memiliki misi ideologis, berbeda dengan keluguan masa bocah.

Baca juga:  Islam Kultural ala Gus Dur Melawan Politik Islamisasi ala Soeharto

Pada masa 1980-an, Soeharto makin pujaan bocah-bocah mendapat beragam mata pelajaran dan keseringan mendengar pidato upacara. Mereka lekas mendapat pemaknaan Indonesia melalui kedirian Soeharto. Mereka pun berani berucap: “Ingin menjadi presiden”. Soeharto adalah teladan. Bocah-bocah mendapat pesan rajin belajar, patuh kepada orangtua, beribadah, dan bekerja keras agar cita-cita menjadi tentara atau presiden terkabul. Mereka sempat bingung mengetahui presiden tak pernah berganti selama puluhan tahun. Para bocah sulit mengetahui tebakan waktu bakal bisa menjadi presiden.

Bocah-bocah mengagumi Soeharto berhak mengirim surat dan menantikan jawaban dari Soeharto. Mereka telanjur mengagumi Soeharto. Surat-surat buatan bocah-bocah di seantero Indonesia diseleksi dan diterbitkan menjadi buku berjudul Surat dan Puisi Anak-Anak untuk Pak Harto (1992) disunting oleh G Dwipayana dan S Sinansari Ecip. Soeharto digambarkan sebagai presiden dan kakek pengasih untuk cucu. Gambar di sampul itu membahagiakan. Soeharto momong cucu. Soeharto “momong’ Indonesia.

Kita mengutip puisi berjudul “Pak Harto” digubah oleh Ria Magdalena, beralamat di Bogor, Jawa Barat. Puisi dikirimkan ke alamat kediaman Soeharto, berharap mendapat balasan. Surat berisikan puisi penuh pujian: Dalam usia yang makin senja/ Wajah nan letih dan memudar/ Kau tetap mengemban amanat kami/ Yang penuh luka dan duri… Oh, Tuhan/ Panjangkanlah usianya/ Berikan kekuatan imannya/ Dalam menjalankan roda pemerintahan. Bocah-bocah berdoa untuk Soeharto. Kita memaklumi kekaguman dan doa menjadikan ketokohan Soeharto makin kuat meski sekian orang menuduh kebablasan dengan pengultusan. Begitu.

https://alif.id/read/bandung-mawardi/100-tahun-soeharto-1-bocah-dan-doa-b238272p/