11 Ramadhan Mengenang Wafat Sayyidah Khadijah Al-Kubro RA

Laduni.ID, Jakarta – Sayyidah Khadijah binti Khuwailid atau Khadijah al-Kubra Radhiyallahu Anha (sekitar 555 – 619 M), merupakan istri pertama Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam. Bukan hanya menjadi penopang dakwah Nabi, Sayyidah Khadijah juga merupakan perempuan pertama yang dapat merasakan jiwa Nubuwah (kenabian) pada diri suaminya.

Biografi singkat

Nama lengkapnya adalah Khadijah binti Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushai. Khadijah al-Kubra, anak perempuan dari Khuwailid bin Asad dan Fatimah binti Za’idah, berasal dari kabilah Bani Asad dari suku Quraisy. Ia merupakan wanita as-Sabiqun al-Awwalun.

Menjadi istri pertama Nabi

Menjadi istri nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam sudah ditakdirkan oleh Allah. Itulah sebagaimana Firman Allah subhanahu wa ta’ala yang bermaksud: “Dan Dia (Allah) mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kekayaan”. (QS. Adh-Dhuhaa: Alangkah bahagianya kedua pasangan mulia itu, hidup sebagai suami isteri yang sekufu, sehaluan, serasi dan secita-cita dalam perjuangan dakwah Islamiyyah.

Sejak menikah dengan Sayyidah Khadijah Binti Khuwailid Radhiyallahu Anha, Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam semakin dermawan kepada fakir miskin dan budak. Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam berumah tangga dengan Sayyidah Khadijah Binti Khuwailid Radhiyallahu Anha selama 25 tahun. Selama itu pula Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dikaruniai enam anak yaitu Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fatimah.

Wafat

Sayyidah Khadijah Binti Khuwailid Radhiyallahu Anha, telah hidup bersama-sama Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam, selama 24 tahun dan wafat dalam usia 64 tahun 6 bulan. Dia meninggal di gunung Hujun, dan dimakamkan di pemakaman Jannatul Ma’la Mekkah, setelah sakit-sakitan dan melemah, setelah lama menahan rasa lapar, setelah masa blokade orang Quraisy selama 3 tahun. Tahun meninggalnya dikenal sebagai Amul Huzni (Tahun Dukacita).

Sayyidah Khadijah Binti Khuwailid Radhiyallahu Anha, menghembuskan napas terakhirnya di pangkuan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, tepatnya pada hari ke-11 Ramadhan tahun ke-10 kenabian. Yaitu tiga tahun sebelum Rasulullah shalallahu alaihi wasallam hijrah ke Yatsrib atau Madinah. Sayyidah Khadijah Binti Khuwailid Radhiyallahu Anha wafat pada usia 65 tahun saat usia Rasulullah sekitar 50 tahun.

Kisah haru sebelum wafat

Dalam Kitab Al-Busyro, Ulama besar Arab Saudi Abuya Prof DR Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani Al-Makki rahimahullah (1946-2004 M Jannatul Mualla Makkah) menceritakan detik-detik wafatnya istri tercinta Rasululullah shalallahu alaihi wasallam. Sayidatuna Khadijah Radhiyallahu Anha wafat pada hari ke-11 Ramadan tahun ke-10 kenabian, tiga tahun sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah. Khadijah wafat dalam usia 65 tahun, saat usia Rasulullah sekitar 50 tahun.

Diriwayatkan, ketika Khadijah sakit menjelang ajal, Beliau sempat berkata pada Rasululllah: “Aku memohon maaf kepadamu, Ya Rasulullah, kalau aku sebagai istrimu belum berbakti kepadamu.” Lalu, Rasulullah menjawab : “Jauh dari itu, ya, Khadijah. Engkau telah mendukung dakwah Islam sepenuhnya,” jawab Rasulullah.

Kemudian Khadijah memanggil Sayyidatuna Fathimah Az-Zahra Radhiyallahu Anha (wafat Selasa 13 Ramadhan tahun 11 H / 4 Desember 632 M di Jannatul Baqi’ Madinah) dan berbisik: “Fathimah putriku, aku yakin ajalku segera tiba, yang kutakutkan adalah siksa kubur. Tolong mintakan kepada ayahmu, aku malu dan takut memintanya sendiri, agar beliau memberikan sorbannya yang biasa untuk menerima wahyu agar dijadikan kain kafanku.”

Mendengar itu, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam berkata: “Wahai Khadijah, Allah menitipkan salam kepadamu dan telah dipersiapkan tempatmu di surga.”

Tak lama setelah itu Khadijah pun menghembuskan nafas terakhirnya di pangkuan suami tercinta. Rasulullah mendekap erat istri tercintanya itu dengan perasaan sedih yang teramat sangat. Air mata pun mentes dari mata Rasulullah dan beberapa orang yang ada di sana, di dekat Khadijah.

Saat itu, Malaikat Jibril turun dari langit dengan mengucap salam dan membawa lima kain kafan. Rasulullah menjawab salam Jibril dan kemudian bertanya, “Untuk siapa sajakah kain kafan itu wahai Jibril?”. “Kafan ini untuk Khadijah, untuk engkau, ya, Rasulullah, untuk Fathimah, Ali, dan Hasan,” jawab Jibril.

Kemudian Jibril berhenti berkata dan menangis.

Rasulullah bertanya, “Kenapa Ya Jibril?”. “Cucumu yang satu, Husain (putera Sayyidina Ali) tidak memiliki kafan, dia akan dibantai dan tergeletak tanpa kafan dan tak dimandikan,” sahut Jibril.

Rasulullah shalallahu alaihi wasallam berkata di dekat jasad Khadijah, “Wahai Khadijah istriku sayang, demi Allah, aku takkan pernah mendapatkan istri sepertimu. Pengabdianmu kepada Islam dan diriku sungguh luar biasa. Allah Maha Mengetahui semua amalanmu.”

Masih dalam perasaan sedih, Rasulullah kembali berkata pada Khadijah yang sudah meninggal dunia. “Semua hartamu kau hibahkan untuk Islam. Kaum muslimin pun ikut menikmatinya. Semua pakaian kaum muslimin dan pakaianku ini juga darimu. Namun begitu, mengapa permohonan terakhirmu kepadaku hanyalah selembar sorban?”

Rasulullah shalallahu alaihi wasallam semakin sedih mengenang istrinya semasa hidup. Seluruh kekayan Khadijah diserahkan kepada Rasulullah untuk perjuangan agama Islam. Dua per tiga kekayaan Kota Mekkah adalah milik Khadijah. Tetapi ketika Khadijah hendak menjelang wafat, tidak ada kain kafan yang bisa digunakan untuk menutupi jasad Khadijah.

Bahkan, pakaian yang digunakan Khadijah ketika itu adalah pakaian yang sudah sangat kumuh dengan 83 tambalan di antaranya dengan kulit kayu. Rasulullah kemudian berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

“Ya Allah, Ya Ilahi Robbi, limpahkanlah rahmat-Mu kepada Khadijahku, yang selalu membantuku dalam menegakkan Islam. Mempercayaiku ketika orang lain menentangku. Menyenangkanku pada saat orang lain menyusahkanku. Menentramkanku pada saat orang lain membuatku gelisah. Oh Khadijahku sayang, kau meninggalkanku sendirian dalam perjuanganku. Siapa lagi yang akan membantuku?” Tiba-tiba Ali berkata: Aku, Ya Rasulullah!

Pengorbanan Khadijah Semasa Hidup

Dikisahkan dalam kitab Sirah Nabawiyah, suatu hari ketika Rasulullah pulang dari berdakwah, Beliau masuk ke dalam rumah. Khadijah menyambut dan hendak berdiri di depan pintu. Ketika Khadijah hendak berdiri, Rasulullah meminta Khadijah agar tetap di tempatnya.

Saat itu Khadijah sedang menyusui Fatimah yang masih bayi. Saat itu seluruh kekayaan mereka telah habis. Seringkali makanan pun tak punya. Sehingga ketika Fatimah menyusu, bukan air susu yang keluar akan tetapi darah. Darahlah yang masuk dalam mulut Fathimah Radhiyallahu Anha.

Kemudian Rasulullah mengambil Fathimah dari gendongan istrinya lalu diletakkan di tempat tidur. Rasulullah yang lelah seusai pulang berdakwah dan menghadapi segala caci maki dan fitnah manusia lalu berbaring di pangkuan Khadijah.

Rasulullah shalallahu alaihi wasallam tertidur. Ketika itulah Khadijah membelai kepala Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam dengan penuh kelembutan dan rasa sayang. Tak terasa air mata Khadijah menetes di pipi Rasulullah. Nabi kemudian bangun dan berucap, “Wahai Khadijah, mengapa engkau menangis? Adakah engkau menyesal bersuamikan aku, Muhammad?” tanya Rasulullah dengan lembut.

“Dahulu engkau wanita bangsawan, engkau mulia, engkau hartawan. Namun hari ini engkau telah dihina orang. Semua orang telah menjauhi dirimu. Seluruh kekayaanmu habis. Adakah engkau menyesal wahai Khadijah bersuamikan aku, Muhammad?” lanjut Rasulullah tak kuasa melihat istrinya menangis.

“Wahai suamiku. Wahai Nabi Allah. Bukan itu yang kutangiskan,” jawab Khadijah.

Khadijah berkata, “Dahulu aku memiliki kemuliaan. Kemuliaan itu telah aku serahkan untuk Allah dan Rasul-Nya. Dahulu aku adalah bangsawan. Kebangsawanan itu juga aku serahkan untuk Allah dan Rasul-Nya. Dahulu aku memiliki harta kekayaan. Seluruh kekayaan itupun telah aku serahkan untuk Allah dan Rasul-Nya. Wahai Rasulullah.

Sekarang aku tak punya apa-apa lagi. Tetapi engkau masih terus memperjuangkan agama ini. Wahai Rasulullah, jika nanti aku mati sedangkan perjuanganmu ini belum selesai, sekiranya engkau hendak menyeberangi sebuah lautan, sekiranya engkau hendak menyeberangi sungai, namun engkau tidak memperoleh rakit atau jembatan, maka galilah lubang kuburku, ambilah tulang belulangku. Jadikanlah sebagai jembatan untuk engkau menyebrangi sungai itu supaya engkau bisa berjumpa dengan manusia dan melanjutkan dakwahmu. Ingatkan mereka tentang kebesaran Allah. Ingatkan mereka kepada yang hak. Ajak mereka kepada Islam wahai Rasulullah,” kata Khadijah.

Mendengar ucapan Khadijah tersebut, Rasulullah pun semakin terpukul.

Wafatnya Siti Khadijah begitu menusuk hati Rasulullah. Alangkah sedih dan pedihnya perasaan Rasulullah karena dua orang yang dicintainya yaitu istrinya- Khadijah- dan pamannya, Abu Tholib, berpulang ke rahmat Allah. Tahun itu pun disebut sebagai ‘amul huzni (tahun kesedihan) dalam perjalanan hidup Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Semoga salawat dan salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dan keluarga Beliau.


Sources by Al-Faqir Ahmad Zaini Alawi Khodim Jamaah Sarinyala

https://www.laduni.id/post/read/74815/11-ramadhan-mengenang-wafat-sayyidah-khadijah-al-kubro-ra.html