Setelah mulai menetap di Jombang, Gus Dur tidak perlu menunggu waktu yang lama untuk mengamalkan ilmunya. Tahun 1972 Gus Dur menjadi dosen di Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang. Bahkan selang beberapa waktu, ia diamanahi untuk menjadi Dekan Fakultas Ushuluddin hingga tahun 1974.
Mekipun masih merupakan bagian dari Unhasy di Tebuireng, Fakultas Ushuluddin ini bertempat di dalam Pesantren Denanyar, dekat dengan rumah Gus Dur. Ketika fakultas ini berubah menjadi Fakultas Tarbiyah, Gedung perkuliahannya juga masih berada di Denanyar. Menyandang lulusan Universitas Baghdad yang ditempuh selama empat tahun, serta pengalaman singkatnya belajar mandiri di Eropa dan Kanada, Gus Dur mengajar para mahasiswa ushuluddin dengan penuh integritas.
Pemikirannya yang fresh dan progresif membuat Gus Dur mendapatkan perhatian dari para dosen yang lain. Banyak orang pesantren, baik dari Tebuireng maupun Denanyar, belum bisa mengikuti cara berpikir Gus Dur. Meski Gus Dur hanya mengatakan apa yang ia pahami dari hasil belajar dan bacaannya, tak sedikit orang yang memandangnya sebagai sosok yang kontroversial.
Meski begitu, beberapa orang yang dekat dengan Gus Dur menilai bahwa Gus Dur adalah sosok yang mampu menjembatani dua kelompok dengan pemikiran yang paradoks. Gus Dur mampu membangun komunikasi antara kelompok kiai sepuh dengan kelompok intelektual. Dengan menggunakan nalar berpikir keduanya, Gus Dur dapat mengurai tali komunikasi yang kisut dan semerawut.
Selain mengajar di fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asy’ari, Gus Dur juga diminta oleh KH. Shobari, salah seorang kiai sepuh Tebuireng untuk menggantikannya mengajar kitab al-Hikam di Madrasah Aliyah Tebuireng. Sebelum mengajar kitab klasik tentang tasawuf karya Ibnu Athaillah as-Sakandari. Kiai Shobari secara khusus meminta Gus Dur menjalankan puasa sunnah dan mengkhatamkan al-Qur’an di maqbarah Pesantren Tebuireng.
Belakangan, Gus Dur memang dinilai sangat lekat dengan kitab al-Hikam. Dalam berbagai kesempatan, seringkali Gus Dur mengutip kalimat-kalimat yang hikmah dari kitab al-Hikam yang ditulis oleh ulama Tarekat Syadziliyah ini. Salah satu kalimat yang menjadi favotif Gus Dur untuk dikutip adalah:
اِدْفِنْ وُجُودَكَ فيِ أَرْضِ الْخُمُولِ، فَمَا نَـبَتَ مِمَّالَمْ يُدْفَنْ لاَ يَــتِمُّ نَـتَاءِجُهُ
“Benamkanlah eksistensimu di dalam bumi kerendahan; karena segala yang tumbuh jika tidak ditanam (secara dalam) tidak akan sempurna buahnya”. Di Pesantren Ciganjur, Gus Dur juga menggelar pengajian kitab al-Hikam. Salah satunya di Radio KBR68H yang rutin menggelar acara Kongkow Bareng Gus Dur (KBGD). Gus Dur juga mengupas butiran hikmah dari al-Hikam, lantas mengejawantahkannya ke dalam kehidupan sosial dan politik.
Selain mengajar al-Hikam, Dur Dur juga diminta Kiai Shobari untuk mengajar materi qawaid fiqhiyah di Madrasah Salafiyah Syafi’iyah Tebureng. Di salah satu kelas Qawaid Gud Dur ini, duduk di dalamnya Kiai Mustain Syafi’ie. Sebagaimana corak pemikiran Gus Dur yang “berwarna”, saat mengajar di Tebuireng, Gus Dur juga berusaha untuk memantik nalar kritis para santrinya.
Pengalaman mendapat pelajaran unik dari Gus Dur ini, dibagi kepada saya saat tahun 2006/2007 dulu Kiai Mustain mengajar saya di Madrasah Aliyah. Dengan menyungging senyum, Kiai Tain bercerita akan kejenakaan Gus Dur saat mengajar. Materi saat itu berkisar tentang batasan wajah dalam wudlu, sebagai pembahasan cabang dari kaidah pertama dalam qawaid fiqhiyah.
Di tengah-tengah pembahasan Gus Dur mengajukan pertanyaan menggelitik sebagai pemantik. Bagaimana jika (maaf) dzakar, atau alat kelamin laki-laki berada di dahi seseorang. Pertanyaannya, apakah itu tetap harus dibasuh saat wudlu?, atau kah ia tetap dihukumi sebagai aurat yang harus ditutup?… pertanyaan ini tentu membuat seisi kelas geger dan memaksa para santri menggaruk kepalanya. “kalau bukan Gus Dur, ndak mungkin bisa mikir seperti itu..”, kenang Kiai Tain dengan ketawanya yang masih membekas.
Pertanyaan itu, tentu hanyalah buah imajinasi liar Gus Dur yang belum pernah terjadi di dunia. Gus Dur ingin mengajak para santrinya untuk berpikir kritis, dan bebas berimajinasi. Sebenarnya apa yang dilakukan Gus Dur ini bukanlah hal yang baru di dalam kajian fikih.
Seperti halnya tema-tema kontemporer yang belum pernah terjadi juga sering di bahas hukumnya. Meskipun perkara itu masih menjadi imajinasi seseorang. Seperti pertanyaan bagaimana cara shalat di luar angkasa? Atau bagaimana batasan arah kiblat saat di luar angkasa atau di planet lain?. Pertanyaan ini,
25 September tahun 2019 lalu, Hazza al-Mansoori berkebangsaan Uni Emirat Arab yang saat itu berusia 35 tahun, telah mencetak sejarah sebagai orang Arab pertama yang mencapai Stasiun Antariksa Internasional (ISS). Di hari itu, Hazza menaiki pesawat antariksa Soyuz untuk menuju ke Stasiun Antariksa Internasional, dimana ia singgah selama delapan hari, dan mendarat di bumi pada Kamis, 3 Oktober 2019.
Dua hari sebelum tiba di bumi, Hazza melakukan video call dengan para pelajar. Dalam kesempatan itu, pertanyaan yang diajukan para pelajar adalah bagaimana shalatnya, bagaimana wudhunya, dan jam berapa saja ia shalat. Hazza menjelaskan karena waktu di luar angkasa begitu relatif, maka waktu shalat tergantung pada kecepatan pesawat luar angkasa yang dinaiki.
Sebelumnya, para ulama di Dubai Islamic Affairs mengatakan bahwa sebagai seorang muslim Hazza wajib melaksanakan shalat lima waktu dalam sehari; Shubuh, Dzuhur, Ashar, Maghrib, Isya, dan Shubuh. Masing-masing shalat memiliki waktunya sendiri. Namun persoalannya, selama di luar angkasa dia mengelilingi bumi setiap 90 menit. Dengan demikian, Hazza melihat matahari terbit dan terbenam sebanyak 16 kali selama sehari. Hitungan angkat itu muncul karena pesawat luar angkasa yang dikendarai Hazza berkecepatan hingga 28,000 kilometer per jam.
Kisah ini sangat menarik bagi saya, karena pemikiran fikih tentang bagaimana shalat di luar angkasa dan persoalan-persoalan yang menjadi cabangnya telah dibicarakan oleh para ulama sebelum Hazza al-Mansoori berada di Stasiun Antarika. Hingga persoalan fikih yang berangkat dari imajinasi itu benar-benar terjadi di tahun 2019. Sehingga pembahasan kala itu mungkin bukanlah hal yang baru bagi sebagian ulama. Pertanyaannya sekarang, apakah persoalan fikih yang diajukan Gus Dur saat mengajar di Madrasah Aliyah Tebuireng juga akan benar-benar terjadi di masa mendatang? Mungkin dunia akan dibuat hebot, seperti Gus Dur membuat heboh para santrinya.
https://alif.id/read/maf/122-tahun-tebuireng-dan-gus-dur-muda-1-mengajar-mengaji-bernalar-b239326p/