Indonesia masa 1970-an, orang-orang sedang dibimbing untuk maju dan terhormat. Pemerintah membuat pelbagai kebijakan besar: pijakan bagi pemajuan Indonesia diterapkan di sekolah, desa, organisasi, perusahaan, dan lain-lain. Indonesia diajak bergerak. Sekian bekal diperlukan selama pembuktian martabat Indonesia dalam politik, pendidikan, ekonomi, seni, sosial, dan lain-lain.
Kita mengenang masa lalu memuat bab-bab pembentukan dan pembesaran rezim Orde Baru. Kita mendapat ajaran-ajaran besar berjudul pembangunan nasional. Indonesia memang cepat berubah. Soeharto ingin Indonesia berbeda rupa, rasa, dan gairah dibandingkan dengan masa kolonial atau masa kekuasaan Soekarno.
Perwujudan mimpi-mimpi besar justru sering mengabaikan hal-hal diperlukan publik. Konon, masalah agak terabaikan masa 1970-an itu perbukuan anak. Kita sedikit mengingat dengan membaca Tempo edisi 6 November 1971. Majalah masih berusia muda. Majalah pun tipis. Kita membuka lagi sambil mengenangkan perbukuan anak berkaitan pemerintah, penerbit, penulis, sekolah, keluarga, dan perpustakaan.
Di situ, kita membaca peran pengusaha besar: Ciputra. Perbukuan anak diselenggarakan dengan keterlibatan pengusaha, pemerintah, penerbit, dan pengarang. Kita mengutip: “Hari itu diselenggarakan selamatan bagi mensjukuri hasil pertama dari usaha penerbit Pustaka Jaya, jang sebagai anak kandung Jajasan Jaya Raya telah merampungkan pentjetakan 9 djudul buku kanak-kanak (semuanja karja baru) dan 3 djudul karja sastra – jaitu 25% target penerbitan jang untuk tahun ini meliputi 50 djudul, sedang tahun depan direntjanakan dua kali lipat.”
Berita itu menggembirakan. Kita memiliki penasaran dengan kemunculan penerbit Pustaka Jaya dan buku-buku berhasil diterbitkan. Di kalangan sastra, buku-buku terbitan Pustaka Jaya memberi kesan-kesan kuat berurusan tampilan dan pilihan selera. Pada masa awal, Pustaka Jaya bertanggung jawab untuk menerbitkan buku anak, tak selalu memuliakan sastra bagi kaum dewasa. Orang-orang mengenali Pustaka Jaya digerakkan Ajip Rosidi. Berita di Tempo memberi imbuhan keterangan: Ciputra berperan dan Ali Sadikin turut menjadi penentu.
Pustaka Jaya sedang mengawali peran menerbitkan buku anak-anak. Peran besar dan pendahulu diwujudkan Balai Pustaka. Penerbit mula-mula “digunakan” pemerintah kolonial dalam kebijakan bacaan berlatar politis. Pada masa 1970-an, Balai Pustaka masih ada dan meneruskan tanggung jawab.
Di majalah Tempo, kita diberi kabar: “Dan sekarang, di Indonesia jang berpenduduk 130 djuta pada tahun 1971, berapakah djumlah taman batjaan jang masih hidup dan jang masih menerima buku-buku penerbit itu? Pada tahun 1950-an, buku-buku sastra jang diterbitkan Balai Pustaka ditjetak 5.000 eks, setidak-tidaknja 4.000 eks setiap djudul. Rata-rata buku-buku tersebut habis dihisap masjarakat konsumennja, sehingga karja-karja jang bagus dalam waktu singkat mengalami tjetak ulang.”
Pada masa berbeda, orang-orang lekas membuat perbandingan mutu terbitan buku anak-anak Balai Pustaka dan Pustaka Jaya. Sejak masa 1970-an, Pustaka Jaya rajin menerbitkan buku anak-anak dengan beragam misi dan mendapat dukungan dari pemerintah. Buku-buku gubahan para pengarang Indonesia rutin diterbitkan dengan kemasan sederhana tapi memikat. Pujian-pujian diberikan meski ada bandingan berupa buku anak-anak terbitan Gramedia, Gaya Favorit Press, Djambatan, Indra Press, dan lain-lain.
Orang memiliki keinginan membuat daftar 100 buku anak “terbaik” selama abad XX tentu bakal memilih sekian buku terbitan Pustaka Jaya. Nama-nama penting menggubah sastra anak memang diterbitkan Pustaka Jaya. Penjualan mungkin tak laris tapi sekian judul turut dalam kebijakan Inpres (perbukuan). Buku-buku bisa diedarkan di seantero Indonesia, masuk perpustakaan-perpustakaan.
Kita buktikan dengan buku terbitan Pustaka Jaya. Buku itu berjudul Si Mulus gubahan Surtiningsih WT. Cetakan pertama pada 1972. Buku tipis dan bermutu. Pada 1974, cetakan kedua. Pada 1977, cetakan ketiga. Buku berhak terkenang sepanjang masa dengan garapan gambar sampul oleh A Wakidjan. Ilustrasi isi dibuat Toha Mohtar. Di sastra dan seni rupa, tiga tokoh itu tercatat penting dan berpengaruh.
Novel cuma 48 halaman memuat cerita tokoh tua memelihara oplet tua. Tokoh membuktikan tekun bekerja, rajin merawat oplet, tertib di jalan, dan bertanggung jawab dengan keluarga. Raihan bahagia dimulai di rumah dan pengisahan di jalan. Oplet disebut “si mulus” menjadi pokok penceritaan sambil menerangkan rekaman zaman di Indonesia.
Kita ajukan kutipan: “Dulu, Pak Sumo hanya memburuh menjalankan oplet orang lain. Sampai akhirnya Pak Karman membeli mobil tua untuk diambil mesinnya saja, karena mesinnya sendiri telah pecah. Badan mobil tua itu dibeli Pak Sumo dari Pak Karman dengan harga murah. Begitu pula mesin yang telah pecah dapat terbeli oleh Pak Sumo hanya dengan uang tabungannya selama memburuh…. Dengan hemat Pak Sumo dan Bu Sumo hidup, hingga akhirnya ia pun dapat membeli mesin yang lebih baik untuk menggantikannya, sebuah mesin Fiat 1918, hingga sekarang.” Kepemilikan oplet dilakukan bertahap dan pertimbangan kekuatan.
Pekerjaan dilakoni dengan rajin dan bertanggung jawab. Keluarga dan warga pun mengerti keteladanan bertokoh Pak Sumo. Oplet pun memicu kesadaran tentang alat transportasi dan tema jalan. Kita tak perlu menuntut cerita itu berkiatan kebijakan-kebijakan rezim Orde Baru. Dulu, jalan dan mobil memang menjadi tema besar Orde Baru. Konon, penambahan jalan dan peningkatan jumlah mobil membuktikan kesuksesan pembangunan nasional.
Surtiningsih bermisi memberikan cerita agar anak-anak bergembira. Ia tak berpamrih besar mengajukan novel untuk kritik atau menggugat kebijakan-kebijakan rezim Orde Baru. Kini, kita bisa membaca ada kaitan-kaitan meski ada kesan “dipaksakan” untuk masalah perbukuan anak dan pembangunan nasional.
Pada abad XXI, kita tetap terhubung 1971 dan 1972. Di hadapan majalah Tempo dan novel berjudul Si Mulus gubahan Surtiningsih, kita menemukan Indonesia masa lalu. Indonesia itu anak dan buku. Begitu.
https://alif.id/read/bandung-mawardi/1971-dan-1972-b247000p/