4 Hal yang Patut Diteladani dari Sosok Buya Syafii Maarif

Wafat pada penghujung bulan Mei 2022. Murid Dr. Fazlurrahman semasa di University of Chicago ini memilih dikuburkan di pemakaman khusus Warga Muhammadiyah. Padahal beliau berhak dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. Ribuan umat tak henti-hentinya menunggu giliran mendoakan dan menyolati di masjid Gedhe Kauman.

Sebagian orang awam mengenangnya sebagai sosok bersahaja dan tidak pernah minta dilayani. Disinggung dalam buku Tajdid Muhammadiyah (Grafindo, 2005), “Tidak pernah beliau minta dibawakan koper, dibelikan tiket, atau diminta jemput di tempat acara. Semua dilakukannya sendiri. Bahkan suka menyetir mobil sendiri atau naik taksi apabila mobil PP Muhammadiyah dipakai orang lain”. Saya juga pernah menjumpai kesaksian bahwa Pak Maarif tak canggung makan di kantin gedung dakwah PP Muhammadiyah di Menteng.

Adapun sebagian orang yang berseberangan menempatkannya kedalam barisan tokoh kontroversial. Sampai ada penulis yang memasukkannya ke dalam daftar 50 tokoh Islam Liberal di Indonesia. Sisi kontoversi Pak Maarif, begitulah saya memanggilnya, tak sampai keblinger jika disandingkan dengan jejak hidup tokoh atau cendekiawan muslim lainnya. Tokoh lain keblinger sekali sampai mengusulkan waktu ibadah Haji diganti pada bulan lain. Selain itu ada tokoh yang berselisih soal marja’ al-taqlid, singkat cerita ia bercerai dari sang istri. Dan contoh terakhir ada tokoh yang saling tak tegur sapa dengan besan, lalu dirikan partai baru. Tragisnya lagi, bdiuk rumah tangga anaknya turut bubar.

Baca juga:  Sajian Khusus: Beginilah Hadratussyaikh Mencintai Al-Qur’an

Kontroversi Pak Maarif adalah ketika berada di lingkaran penguasa sejak 2014. Sehingga menimbulkan persepsi di sebagian benak orang bahwa beliau kehilangan daya kritis sebagai pemikir dengan jam terbang tinggi. Ekspresi mengritisi penguasa sekarang bisa dijumpai lewat pengerahan massa, membuat mural, konten tik-tok hingga mengunggah meme ke media sosial. Kalau dicermati baik-baik, pak Maarif berani mengkritik tindak tanduk penguasa. Tercatat beliau amat keras penolakannya saat Komjen Budi Gunawan dikabarkan akan ditunjuk sebagai Kapolri.

Cara mengkritisi penguasa yang dilakukan pak Maarif sudah sesuai dengan latar belakangnya sebagai cendekiawan. Lagipula beliau belum bisa menggalang aksi massa seperti Amien rais ketika peristiwa 98 atau akting menangis berderai air mata seperti yang dilakukan salah satu politikus wanita saat naiknya harga bahan bakar minyak.

Hingga artikel ini terbit, lantas apa saja yang patut ditiru dari sosok Ahmad Syafii Maarif? pertama, rampung kuliah. Beliau pribadi yang tekun kuliah dan dari strata satu, master dan doktoral. Seluruhnya rampung. Bukan drop out seperti yang dialami tokoh lain. Tokoh lain ada yang drop out dari kampus bergengsi di Amerika serikat dan timur tengah. Perlu diketahui pembaca Alif.id, usia Pak Maarif sudah 42 tahun dikala menempuh strata dua di Amerika serikat. Dari jejak hidupnya bisa dibilang, kuliah pada usia yang tak lagi muda bukanlah halangan.

Baca juga:  Hikayat Walisongo (5): Kanjeng Sunan Kudus, Inspirasi Moderasi dan Toleransi

Kedua, rajin berkarya. Kebiasaan akademisi di negeri ini setelah meraih guru besar adalah menurun dalam publikasi karya. Hal ini tidak berlaku bagi pak Maarif. Beliau rajin menulis, bahkan kabarnya tanpa bantuan asisten pribadi apalagi menyewa jasa ghost writer. Beliau ketik sendiri dan mengirim pula lewat email pribadi. Salah satunya rubrik resonansi di harian Republika. Tulisannya menghiasi rubrik ini usai tak menjabat ketua umum PP Muhammadiyah. Dalam resonansi edisi 1 September 2020, beliau berani menulis : “Kenyataan empiris negeri ini terlalu lama salah urus harus diakui oleh semua pihak, termasuk pemerintah”. Selain berkarya di koran, lebih dari 11 buku sudah beliau terbitkan. Termasuk tahun 2018 bukunya yang berjudul “Islam, Humanity and the Indonesian Identity” diterbitkan Leiden University Press.

Ketiga, bukan perokok. Hal seperti inilah yang patut ditiru pengurus ormas, dosen dan para Da’i. Pak Maarif memang betul-betul pribadi yang paham bahaya rokok tanpa perlu diingatkan kembali dengan erdaran Fatwa Majelis tarjih dan Tajdid No. 6/SM/MTT/III/2010 tentang Hukum Merokok. Keempat, beliau punya kebiasaan mengembalikan uang khutbah jumat atau amplop yang diberi panitia ketika selesai mengisi kajian agama. Hal-hal seperti ini perlu ditiru seorang Da’i khususnya Da’i yang tergabung dalam korps Muballigh Muhammadiyah. Da’i masa kini idealnya harus mapan secara finansial dan bisa memberi makan umat, bukan mengharap diberi makan umat.

Baca juga:  Ulama Banjar (41): KH. Saifuddin Birhasani

Terakhir sebelum mengakhiri artikel ini, terhadap kontribusi dan reputasinya di Muhammadiyah, pada bulan Juni kemarin, Haedar nashir bersama perwakilan pengurus PW Muhammadiyah Sumatera barat mengabadikan nama Ahmad Syafii Maarif ke gedung convention hall di UM Sumatera Barat. Sayonara pak Maarif, semoga amal sholeh anda dilipat gandakan pahalanya dan mendapat tempat yang layak di akherat. Wallahu’allam.

https://alif.id/read/fadh-ahmad-arifan-m-ag/4-hal-yang-patut-diteladani-dari-sosok-buya-syafii-maarif-b244627p/