Nasir Abbas: Saya Gagal Kirimkan Satu Kontainer Isi Senjata ke Indonesia karena Disita Taliban

Laduni.ID, Jakarta – Setelah Taliban berhasil menguasai Kota Kabul dan menduduki istana kepresidenan, serta mengumumkan Islamic Emirats of Afghanistan ini, Taliban memunculkan wajah baru. Wajah baru yang ditampilkan Taliban ke publik guna menyatukan faksi-faksi di Afghanistan untuk mencapai kesepakatan bersama dalam membangun pemerintahan inklusif yang moderat.

Hal tersebut disampaikan oleh KH. As’ad Said Ali, Wakil Ketua Umum PBNU 2010-2015 dan Wakil Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN) era Gus Dur dalam Diskusi Publik: Kemenangan Taliban di Afghanistan dan Implikasinya yang diadakan oleh Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) PBNU yang disiarkan via Zoom Meeting dan Live on Youtube, Kamis (19/8/2021).

Munculnya wajah baru pada Taliban tidak lepas dari beberapa faktor yang membelakanginya, seperti geo-politik, geo-strategis, kepentingan ekonomi barat, perubahan sikapa barat terhadap Taliban, dan kesadaran baru yang muncul akan pentingnya membangun sikap moderat. Factor tersebutlah yang mendorong Presiden Burhanuddin Rabbani berkunjung ke Indonesia dan meminta NU terlibat dalam memoderasi pandangan rakyat Afghanistan.

NU diminta untuk memperkenalkan Tawassuth, Tasamuh, dan Tawazun kepada masyarakat Afghanistan yang memiliki corak keislaman yang sama dengan Muslimin Indonesia. Bermazhab empat dengan condong ke Hanafiyyah dan Asy’ariyyah-Mathurudiyyah.

Dalam diskusi publik tersebut juga hadir Zacky Khoirul Umam, pemerhati dunia Islam dan Nasir Abbas, mantan Ketua Jamaah Islamiyyah (JI) wilayah Timur.

Hal menarik disampaikan oleh Nasir Abbas, bahwa dirinya besar dan tumbuh di Afghanistan sejak usia 18 tahun. Dalam diskusi tersebut Nasir Abbas menjelaskan bagaimana budaya masyarakat Afghanistan dan bagaimana awalnya dirinya bisa menjadi bagian mujahidin Afghanistan.

Perlu diketahui, Jemaah Islamiyyah atau biasa dieja dengan Jamaah Islamiyyah (JI) merupakan transformasi dari Darul Islam (DI) yang bertujuan untuk mendirikan Negara Islam Indonesia (NII). NII sendiri merupakan produk pemikiran dari Sekarmadji Maridjan (SM) Kartosoewirjo, salah satu murid dari Guru Bangsa Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, dan rekan dari Soekarno (Presiden RI pertama/nasionalis) dan Semaoen (Ketua PKI pertama/komunis).

Nama Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir (ABB) merupakan elit dari DI yang mulai masuk pada tahun 1976. Pada tahun 1980-an terjadi pergolakan besar di Afghanistan atas invansi Uni Soviet, Abdullah Sungkar dan ABB dengan segera memanfaatkan jaringan global untuk terlibat dalam kancah jihad internasional. Semenjak saat itulah terjadi perubahan peta jaringan kelompok jihad di Indonesia hingga saat ini.

Atas kemenangan di Afghanistan pada 1989, DI (NII) memiliki partisipasi politik di kancah global serta representasi dari NII yang ingin membawa gerakan jihad Nusantara di panggung internasional. Namun pada tahun 1992 DI mengalami konflik internal yang menyebabkan Abdullah Sungkar dan ABB memisahkan diri dan mendirikan Jemaah Islamiyyah (JI) pada 1993, dan pada perkembangannya JI menginduk pada Al-Qaeda di bawah pimpinan Osama bin Laden (OBL).

Kembali pada kisah Nasir Abbas, saat itu Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir diberi tawaran oleh pimpinan mujahidin Afghanistan untuk mengirimkan orang agar dapat dilatih di akademi militer mujahidin Afghanistan. Akademi militer mujahidin Afghanistan sendiri dibentuk oleh dua kelompok penentang pemerintahan Najibullah saat itu, kelompok Ittihad Islamiy di bawah pimpinan Abdur Rabbir Rasul Sayyaf dan kelompok Hizb Islamiy di bawah pimpinan Gubuddin Hekmatyar.

Saat bergabung dalam akademi militer mujahidin Afghanistan, Nasir Abbas dipaksa untuk merubah seluruh tata cara ibadah mazhab Syafi’iyyah menjadi Hanafiyyah agar tidak diketahui berasal dari Indonesia. Dirinya juga menyatakan bahwa kekacauan yang terjadi sejak tahun 1973 adalah kekacauan politik dan kekacauan ideologi yang disebabkan karena sulitnya masyarakat Afghanistan saat itu untuk menerima perbedaan.

Nasir Abbas mengaku bahwa keterlibatan orang Arab pada konflik Afghanistan hanya sebatas back up (tidak membantu), dan sangat menyayangkan banyak orang yang memanfaatkan momen tersebut. Dirinya mengaku bahwa hanya Pakistan lah yang yang membantu para mujahidin dalam segala aspek, seperti senjata, pendidikan, dan pelatihan.

Setelah memenangkan pertempuran pada tahun 1992, mujahidin Afghanistan dari tujuh kelompok melakukan kesepakan mendirikan pemerintahan Islam mujahidin dan menjadikan pemimpin dari masing-masing kelompok menjadi presiden secara bergiliran.

Pada tahun 1993 muncullah kelompok gerakan baru yang bernama Taliban dan melakukan serangan kepada pemerintahan mujahidin saat itu. Di bawah pimpinan Mullah Omar lah Taliban cepat menjadi kelompok yang besar, Mullah Omar berhasil memanfaatkan budaya Afghanistan dalam membesarkan kelompok gerakannya, salah satunya adalah mengajak para mullah dari kelompok-kelompok mujahidin untuk bergabung dengan Taliban.

Nasir Abbas mengaku bahwa dirinya sempat kecewa dengan kelompok Taliban yang menyerang pemerintah Islam mujahidin dikarenakan telah menyita satu kontainer besar berisi banyak senjata yang akan dikirimkan ke Indonesia melalui jalur laut. Senjata milik JI yang rencananya akan dikirim dari Afghanistan ke Indonesia disita oleh Taliban, padahal Nasir Abbas yang saat itu bersama Zulkarnain telah mempersiapkannya secara matang.

Di satu sisi, gagalnya satu kontainer besar berisi banyak senjata yang akan dikirim ke Indonesia merupakan suatu anugerah yang harus disyukuri. Sebab jika senjata itu berhasil dikirim maka Indonesia tidak akan memiliki kesempatan merasakan negeri yang aman dan nyaman karena pastinya akan banyak kelompok-kelompok jihad yang meneror di tanah air.


Editor: Daniel Simatupang

https://www.laduni.id/post/read/72931/nasir-abbas-saya-gagal-kirimkan-satu-kontainer-isi-senjata-ke-indonesia-karena-disita-taliban.html