Kolonialisasi hampir terjadi di seluruh wilayah Asia, terkhususnya bagi negara-negara di Asia Tenggara, kecuali Thailand, termasuk dalam hal ini Indonesia yang dijajah oleh Belanda. Belanda menjajah negeri bumi pertiwi dengan penuh perjuangan sampai akhirnya bisa menguasai hampir seluruh wilayah Indonesia. Perjuangan dalam menjajah Indonesia itu dengan berbagai cara, ada dengan sistem militer, sistem diplomatis dan ada juga dengan cara intelektual.
Cara intelektual sendiri merupakan cara unik untuk penguatan kepentingan penjajahan kolonial karena melalui proses pengkajian terhadap masyarakat Nusantara di Indonesia, dengan mengkaji sosial, budaya dan politik hingga keagamaan yang dimiliki oleh masing-masing masyarakatnya. Aceh salah satunya menjadi bagian kajian intelektual yang diteliti oleh Snouck Hurgronje yang merupakan seorang oreintalis paling fenomenal dan populer dalam kajian sejarah di Nusantara atau Indonesia.
Orientalis maupun orientalisme menjadi diperbincangkan saat buku Orientalism: Western Conception of The Orient karya Edward Said, sebuah karya yang pertama mengkritisi tindakan kolonialisasi Barat secara total. Edward Said adalah salah satu dari sarjana Barat yang meragukan kesahihahan akademik para orientalis. Karena dalam setiap penelitian, mereka tidak mampu melepaskan diri dari prasangka buruk terhadap Islam.
Kemudian ada lagi dua ahli keislaman dari Barat lainnya, semisal Tibawi dan Anwar Abdul Malik, yang berpendapat serupa dengan Edward Said dengan menuduh para kelompok orientalis telah berpartisipasi langsung dalam praktik kolonialisme dalam dunia Islam. Mereka berasumsi penelitian kaum orientalis sering kali berawal dari kegiatan pesanan kaum kolonialis, baik pada masa imperialisme pramodern maupun modern.(Utami, 2019, p. 68)
Farinduany mencatat bahwa mereka dalam menyebarkan pengaruh yakni kaum orientalis menggunakan berbagai macam cara, antara lain: menulis buku-buku Islam, menerbitkan majalah-majalah mengkaji Islam, dunia Islam dan umat Islam, menyebarkan missionaris-missionaris Kristen ke negara-negara Islam, memberikan ceramah ilmiyah di berbagai perguruan tinggi dan lembaga ilmiyah, melaksanakan berbagai macam konverensi dan menerbitkan Ensiklopedi Islam dalam berbagai bahasa yang banyak berisi pemalsuan dan penodaan terhadap Islam.(Setiawan & Muhsinin, 2017, p. 05)
Salah satu dari kalangan orientalis yang terkenal di Indonesia bernama Snouck Hurgronje dengan nama lengkap Willian Cristian Snouck Hurgronje yang lahir pada 8 Februari 1857 di Oosterhout, Belanda, dan wafat di Leiden pada 26 Juni 1936. Ia merupakan orientalis dari Belanda, ahli dalam Bahasa Arab, ahli dalam agama Islam, ahli bahasa dan kultural Indonesia, sekaligus penasihat pemerintah Hindia Belanda tentang keislaman.
Selanjutnya pada tanggal 24 November 1880 saat studinya di Leiden telah berakhir sekaligus meraih gelar doktor sastra Arab, dengan predikat cumlaude, judul disertasinya yaitu Het Mekkaansche Feest (Perayaan di Mekah). Setelah Snouck Hurgronje menyelesaikan masa pendidikannya, selanjutnya dia mengajar pada pendidikan istimewa bagi calon pegawai Hindia Belanda di Leiden. Kemudian pada tahun 1885, Snouck Hurgronje melanjutkan studi lapangannya di Mekah untuk memperdalam pengetahuannya tentang bahasa Arab selama 6 bulan (dari Februari-Agustus 1885).(K. Subroto, 2017)
Kemudian tepat pada 23 Mei 1892 disampaikannya kepada Gubernur Jenderal Pijnacker Hordijk terkait laporannya berjudul Verslag omtrent de religieus-politieke toestanden Aceh (Laporan tentang situasi politik agama di Aceh). Laporan tersebut ada empat buah jilid; dua jilid pertama ( uraian tentang alam dan bangsa dan tokoh-tokoh yang penting) dituliskannya menjadi buku De Atjehers yang terdiri dari dua jilid, yang terbit pada tahun 1893-1894 pada penerbitan pemerintah kolonial Belanda.
De Atjehers ini merupakan telaah antropologi budaya lengkap yang meliputi segalanya, yang belum ada duanya dilakukan mengenai bagian Hindia Belanda mana pun. Ditulis dengan penulisan yang cemerlang, sebagaimana Paul berpendapat bahwa buku tersebut dibacanya selama tujuh puluh tahun sesudah selesai ditulis masih dengan rasa benar-benar enak, sedangkan tidak demikian halnya kalau membaca banyak literatur Aceh yang lain. (Veer, 1985, pp. 152–153)
Penulisan karyanya tersebut dengan menggunakan pendekatan empiris yang dilakukan Snouck terhadap Islam tidak lengkap dan menyeluruh. Penelitiannya tentang Islam hanya terbatas pada saat Islam lahir sedang dalam kemunduran dan beberapa fakta-fakta keterbelakangan yang berkembang di kalangan umat Islam.
Hal tersebut kemudian menimbulkan dangkalnya asumsi Snouck atas Islam. Lebih-lebih lingkungan dan ruh zaman keangkuhan bangsa Eropa yang menyebabkan pula dirinya untuk meremehkan Islam sebagai kekuatan yang mampu membawa kemajuan. Snouck memang tidak pernah menelusuri “zaman keemasan Islam” ataupun “zaman kebangkitan Islam” yang dipelopori oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qoyim al-Jauziyah di abad ke-8 H/ 14 M yang dilanjutkan oleh tokoh-tokoh pembaharu lainnya.(Effendi, 2012, p. 108)
Alasan penyebab munculnya karya fenomenal De Atjehers milki Snouck Hurgronje ialah karena sampai akhir abad ke-19 Belanda telah kaya dengan pengalaman pahit dalam menghadapi kekuatan Islam di Indonesia. Semenjak kehadiran kolonial Belanda pada akhir abad ke-16 di Indonesia, Belanda mendapatkan realita pahit, karena Islam menjadi penghalang cita-cita politik-ekonominya. Hal ini bukanlah hal yang mengherankan, karena mayoritas penduduk daerah jajahan mereka di kepulauan Indonesia ini beragama Islam, motif aneka perlawanan terhadapnya, tidak pernah terlepas dari atas dasar ajaran agama. Sejarah sudah membuktikan bahwa selama abad ke-19, Belanda cukup sibuk menghadapi gerakan pemberontakan yang kebanyakan dilancarkan sebagai “perang jihad” atas nama Islam. Tercatat beberapa pemberontakan yang populer dalam sejarah pada abad ini antara lain, Perang Paderi (1821-1837) di Minangkabau (Sumatera Barat), Perang Diponegoro (1825-1830) di Jawa Tengah dan yang paling lama adalah Perang Aceh (1871-1912).(Effendi, 2012, p. 94)