Merawat Bumi dengan Spiritualitas

Bumi yang kita pijak tidak dalam kondisi baik-baik saja. Pemanasan global akibat dari gas-gas emisi rumah kaca yang menumpuk di atmosfer berdampak pada perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Akibat lanjutnya adalah anomali cuaca dan penyimpangan-penyimpangan musim yang sulit diprediksi. Hal itu juga yang menyebabkan ritme keseimbangan alam menjadi terganggu.

Menurut United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), terdapat enam jenis Gas Rumah Kaca (GRK) yang memicu pemanasan global, yaitu karbon dioksida (CO2), metan (CH4), nitrat oksida (N2O), dan gas-gas yang mengandung flour, seperti hydroflourocarbon (HFCs), perfluorocarbon (PFCs), dan sulphur hexafluoride (SF). Dari keenam gas rumah kaca tersebut, karbon dioksida menyumbang porsi terbesar bagi pemanasan global, sekitar 75 persen.

Ancaman perubahan iklim sungguh sangat mengerikan. Tahun 2012, Bank Dunia memberikan gambaran bahwa apabila penduduk bumi tidak melakukan tindakan apapun terhadap perubahan iklim, maka peningkatan suhu akan mencapai 40C. Kondisi demikian berakibat pada penurunan produksi pangan hingga terjadi malnutri dan banjirnya kawasan pesisir. Sayang, isu ini timbul tenggelam. Kalah pamor dengan isu-isu skandal politik atau selebriti.

Maka, terbitnya buku ini merupakan sumbangan berarti guna memantik kesadaran publik akan pentingnya menekan laju perubahan iklim. Penulisnya, Fachruddin M. Mangunjaya, dalam konteks ini mengajak untuk kembali meneroka dan berpijak pada nilai-nilai keagamaan –khususnya Islam. Sebab, menurutnya, kerusakan lingkungan yang berakibat pada tingginya frekuensi bencana tiada lain karena mengabaikan agama sebagai norma etika.

Baca juga:  Mengenal Kitab Pesantren (44): Fath Al-Qarib, Kitab Pemula Kelas Dunia

Sains dan aplikasi teknologi yang tidak berbasis agama bisa menimbulkan perilaku hedonis, hanya mementingkan kepuasan materi yang tidak berkesudahan, tidak memikirkan dampak, melanggar etika kepantasan dan empati kemanusiaan. Hal ini dapat dilihat sejak abad ke-17, bagaimana perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkiblat pada ekonomi kapitalistik mengeksploitasi sumber daya alam dengan begitu massif. Dampak dan keberlanjutan sumber daya alam sama sekali bukan menjadi pertimbangan utama.

Menurut Fachruddin, al-Quran sebagai pedoman utama umat Islam tidak hanya memuat tata cara ritual ibadah, tauhid, tapi juga relasi manusia dengan alam lingkungannya. Manusia memang dijadikan sebagai khalifah di atas bumi ini. Namun hal ini bukan berarti manusia bebas melakukan apa saja sesuai kehendak nafsunya. Pada kewenangan sebagai khalifah itu melekat di dalamnya tanggung jawab. Di sisi lain al-Quran juga berbicara tentang komunitas makhluk yang terbang, merayap, meloncat-loncat, berenang, hutan dan sungai.

Ada empat prinsip di dalam al-Quran yang dapat ditelusuri untuk meningkatkan kesadaran dan mendidik publik tentang pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan, yaitu tauhid, khalifah, mizan, dan fitrah. Dengan prinsip tauhid, misalnya, pengakuan bahwa semua hal di jagat alam raya ini, termasuk manusia, adalah ciptaan Allah Swt yang tertata rapi, harmonis, saling melengkapi satu dengan lainnya, dan semuanya bertasbih mengagungkan nama-Nya. Karenanya sebagai bagian daripada kesatuan alam semesta, manusia dan unsur-unsur lain dari ekosistem alam mesti tunduk dan mematuhi hukum-hukum Allah. Konsekuensi logisnya manusia tidak boleh melihat alam semata-mata sebagai objek yang bebas dieksploitasi.

Baca juga:  VAR dan Buku Menjerat Gus Dur

Karena itu, umat Islam sudah semestinya untuk berpikir sekaligus berperan aktif menekan laju perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Selain menimbulkan bencana yang bersifat ekologis, menurutnya, perubahan iklim juga berdampak pada kekacauan sosial-politik. Pelbagai konflik di Timur Tengah yang dikenal dengan Arab Spring, tanpa mengabaikan kepemimpinan yang korup, ketidakadilan, pertumbuhan penduduk yang tak terkendali, juga makin diperburuk oleh perubahan iklim.

Di Aljazair, misalnya, suhu panas yang mencapai batas normal mengakibatkan musim tanam tertunda. Kelangkaan pangan pun terjadi. Sementara permintaan terus meningkat. Akhirnya para pekerja dan mahasiswa turun ke jalan melakukan protes kenaikan harga pangan. Mereka menyerang Bank, kantor polisi dan kantor-kentor pemerintahan.

Beruntung, seperti diuraikan Fachruddin dalam buku ini, kesadaran lingkungan telah tumbuh pada diri umat Islam. Ini dibuktikan dengan diselengarakannya beberapa kegiatan yang membicarakan upaya-upaya untuk menekan laju perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Pada tahun 2015, misalnya, di Istanbul, Turki, dilangsungkan Islamic Symposium on Climate Change yang melahirkan Deklarasi Islam untuk Perubahan Iklim Global.

Selain itu, di Maroko, sejak 2016 sekitar 100 masjid direnovasi sebagai bagian dari proyek percontohan masjid hijau. Atas masjid dilengkapi dengan panel untuk menyerap energy surya. Di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) merancang program ekomasjid. Seperti menghemat air wudhu, menghemat energy dengan panel surya dan biogas, membuat sumur resapan dan incinerator sampah yang efisien guna membakar sampah yang tidak dapat didaur ulang.

Baca juga:  Inilah 36 Karya Sapardi Djoko Damono

Penekanan laju perubahan iklim dan kerusakan lingkungan berbasis agama sepertinya merupakan suatu keniscayaan. Kata Albert Einstein: science without religion is lame, religion without science is blind. Wallahu ‘alam

 

Data Buku:

Judul               : Generasi Terakhir: Aktivisme Dunia Muslim Mencegah Perubahan Iklim dan Kepunahan Lingkungan Hidup

Penulis             : Fachruddin M. Mangunjaya

Editor              : Widjanarko S

Penerbit           : LP3ES

Cetakan           : Juni 2021

Halaman          : xxii 234 hlm

ISBN               : 978-602-7984-68-4

https://alif.id/read/mohammad-rifki/merawat-bumi-dengan-spiritualitas-b239737p/