Dinamika dan Empat Tokoh Utama Ushul Fikih (3): Al-Syatibi dan Maqashid al-Syariah; Babak Baru Ushul Fikih

Negara Spanyol menjadi percakapan banyak orang bukan hanya sekarang tetapi juga sejak zaman dulu. Sekarang banyak orang membicarakan Spanyol salah satunya karena di Negara itu ada pertandingan El-Classico yang mempertemukan dua tim raksasa, Barcelona dan Real Madrid. Zaman dulu Spanyol menjadi buah bibir karena banyak intelektual raksasa yang berasal dari sana.

Sekadar menyebut nama, Ibnu Rusyd, Ibnu Hazm, Ibnu Malik dan yang tak boleh dilupakan adalah al-Syatibi yang nama lengkapnya adalah Abu Ishaq Ibrahim bin Musa al-Gharnathi. Ia ulama yang berasal dari Granada, Andalusia kini disebut Spanyol.

Masa muda al-Syatibi bertepatan dengan era keemasan Islam di Granada. Ia hidup pada pemerintahan Sultan Muhammad V al-Gharim Billah. Ia berguru kepada ulama bernama Abu Abdillah Muhammad bin Ali al-Bari. Guru keduanya adalah Abu al-Qasim al-Syarif al-Sabth.

Lazimnya seorang ulama, al-Syatibi memiliki karya intelektual. Yang paling terkenal adalah kitab yang ia namai al-Ta’rif li Asror al-Taklif yang kemudian berganti nama menjadi al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah. Selanjutnya, karya beliau berjudul al-I’tisham.

Dalam kitab pertama tersebut di atas al-Syatibi menjelaskan seputar ushul fiqh dan puncaknya pada jilid kedua ia menjadikan pembahasan soal Maqasid al-Syariah. Kitab ini hampir menjadi rujukan wajib tiap peneliiti kajian Maqashid pasca al-Syatibi.

Sementara dalam al-I’tisham, al-Syatibi lebih berbicara soal teologis meliputi perdebatan menyangkut bidah. Menariknya, dalam kitab ini al-Syatibi tidak memotret bidah dalam sudut pandang teologis saja, ia membandingkan misalnya bidah dengan konsep maslahah mursalah dan istihsan.

Selain dua kitab itu, masih ada banyak kitab lain karya al-Syatibi. Hanya saja kepopularannya tidak menandingi keduanya, lebih-lebih yang pertama, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah yang menurut sebagian sarjana, menghegemoni hampir semua ulama pasca al-Syatibi.

Baca juga:  Ulama Banjar (110): KH. M. Kurdi Baseri

Kitab-kitab al-Syatibi yang lain seperti: al-Majalis, berisi komentar atas bab jual-beli dari kitab Hadis Sahih Bukhari, Kitab al-Khulasah yang mengulas soal nahwu utamanya Alfiyah Ibnu Malik, Ushul Nahwi, kitab dalam gramatika bahasa arab dan masih banyak karya yang lainnya.

Pembicaraan tentang Maqasid al-Syariah tak bisa absen dari sosok yang bernama al-Syatibi. Di tangan ulama ini, Maqasid al-Syariah seperti anak gadis yang kecantikannya sudah mulai tampak sehingga menarik banyak mata untuk meliriknya. Sebelum al-Syatibi pembahasa Maqashid sudah ada, hanya saja porsinya sangat sedikit.

Sekadar selingan, ulama menyebut salah satunya Jaser Audah, bahwa benih-benih kajian Maqashid al-Syariah sudah ada jauh-jauh hari. Kira-kira sejak era al-Juwaini, guru besar al-Ghazali. al-Haramain, nama lain al-Juwaini dalam Ghiyast al-Umam disebut sudah “memprovokasi” soal tema ini dengan menyebut-nyebut istilah al-Maqashid dan al-Mashalih al-Ammah. Dari sini ia disebut sebagai kontributor pertama Maqashid al-Syariah.

Al-Juwaini yang ditengarai sebagai peletak pertama ilmu Maqashid al-Syariah cenderung menyamakan antara Maqashid al-Syariah dengan al-Maslahah al-Ammah. Al-Ghazali (W. 505), murid dari al-Juwaini dengan elegan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan maslahat adalah adalah hal-hal yang melestarikan maksud dan Tujuan Tuhan dalam syariat-Nya. Tujuan Tuhan yang dimaksud adalah menjaga agama (Hifdzu al-Dīn), menjaga jiwa (Hifdzu al-Nafs), menjaga akal (Hifdzu al-Aql), menjaga keturunan (Hifdzu al-Nasl), dan menjaga harta (Hifdzu al-Mal).

Al-Syatibi seperti “menerima umpan” al-Haramain dengan “meracik” kajian maqashid menjadi menu sempurna. Menu itu ia hidangkan secara paripurna dalam dua karya utamanya, al-Muwafaqat fi ushul al-Syariah Bahkan dalam dalam kitab ini ia jadikan bab kedua sebagai bab khusus yang mengelaborasi tentang Maqashid.

Dalam pandangan al-Syatibi, semua syariat dibuat untuk kemaslahatan manusia baik di dunia hingga akhirat. Menurutnya, setelah ia melakukan riset terhadap beberapa ayat al-Qur’an ia berkesimpulan bahwa hukum memiliki maksud dan tujuan. Tujuan itu adalah yang kemudian ia sebut dengan maqashid al-Syariah.

Baca juga:  Ulama Banjar (12): KH. Abdul Qadir Hasan

Maqashid al-Syariah dalam amatan al-Syatibi tak mungkin melampaui tiga klasemen utama. Yaitu yang sifatnya dharuiyat (primer), hajiyat (sekunder) dan tahsiniyat (tersier). Dharuriyat adalah sesuatu yang tak boleh tidak harus dipenuhi untuk mewujudkan kebaikan manuia baik di dunia dan akhirat. Jika bagian ini tak terpenuhi maka akan terdampak kesulitan, kesukaran serius hingga mengganggu tatanan kehidupan.

Maslahah hajiyat adalah kemaslahatan yang hendak diwujudkan untuk kelapangan dan menghilangkan kesukaran yang bisa menyebabkan rasa sulit dalam hidup. Artinya jika bagian ini tak dipenuhi maka akan terdampak kesulitan, kesengsaraan hanya saja tidak separah tahapan pertama, dharuriyat.

Terakhir, maslahah tahsiniyat, yakni kebaikan yang sifatnya penyempurna atau komplementer dalam kehidupan. Dengan cara mengambil yang indah-indah dan menjauhi yang sebalikbya. Bagian ini jika tak dipenuhi maka tidak akan berdampak apa-apa hanya saja akan menimbulkan kurang sempurnaan hidup.

al-Ghazali dalam al-Mustashfa menyebut lima pokok utama tujuan syariat dengan al-Dharuriyat al-Khamsah pada era selanjutnya oleh al-Syatibi diberi pemetaan baru.

Menurutnya, Hifz dalam al-Dlaruriyah al-Khams memiliki dua makna. Pertama, Hifz dalam konteks perlindungan dari sisi perwujudannya yang dapat melanggengkan eksistensinya (al-Hifz min janib al-Wujud). Kedua, Hifz dalam konteks perlindungan dari sisi pembelaan dan pencegahannya dari hal-hal yang dapat menghapuskan eksistensinya (al-Hifz min janib al-Adam).

Dalam rangka hifz al-Din min janib al-wujud misalnya, Islam mensyariatkan berbagai macam ibadah seperti iman, salat zakat puasa dan seterusnya. Sedangkan dalam rangka hifz al-Din min janib al-Adam, Islam mensyariatkan larangan murtad dan lain-lain. Konsep hifz yang ditawarkan oleh al-Syatibi ini bisa dianggap lebih maju ketimbang konsepsi hifz dari pemikir-pemikir sebelumnya.

Baca juga:  Ulama Banjar (121): KH. Badaruddin

Peran al-Syatibi adalah ia berhasil membikin ushul fikih survive dengan optimalisasi Maqasid al-Syariah. Pada era ini aktivitas ijithad lesu sebab salah satunya “perangkat” ijtihad dianggap tidak memadai–atau dalam bahasa lain–tidak bisa mengejar fenomena sosial yang terus berjalan dengan amat cepat.

Dengan ide brilian, al-Syatibi mempertimbangkan dominasi maslahat dalam merumuskan hukum Islam. Sebab menurutnya, yang dipertimbangkan dalam merumuskan hukum bukan hanya aspek luar seperti kaidah bahasa akan tetapi juga berupa ruh/spirit syariat itu sendiri (asrarus syariah)

Dua hal di atas, kaidah bahasa dan spirit syariat menurut Abdullah Darraz dalam pengantar kitab al-Muwafaqat sebenarnya juga dipakai oleh para sahabat zaman dulu ketika merumuskan hukum.

Kaidah bahasa bagi para sahabat sudah menjadi karakter dan naluri sebab bahasa mereka bahasa arab, belum bercampur dengan unsur-unsur lain. jadi kemampuan bahasa arab mereka sudah mendarah daging (malakah). Sementara spirit syariat mereka dapat sebab lama bersinggungan dan membersamai nabi. Jadi mereka tahu ayat ini turun dalam suasana apa? Nabi bersabda konteksnya bagaimana? Dari itu, mereka paham maksud utama dan kemaslahatan sebuah aturan yang dibebankan.

Kajian Maqashid sebenarnya sebuah wacana yang bisa ditemukan dalam berbagai kajian keislaman selain ushul fiqh. Dalam tafsir dan al-Sunnah term Maqashid atau padanan kata yang mirip dengannya seperti al-Hikmah, al-Illat, al-Asrar, dan al-Ghayat juga ditemukan di sana. Hanya saja kajian ini kemudian menjadi semacam made in ushul fiqh dan Ibrahim bin Musa al-Syatibi adalah tokoh utama dalam bidang ini. []

https://alif.id/read/ahmad-husain-fahasbu/dinamika-dan-empat-tokoh-utama-ushul-fikih-3-al-syatibi-dan-maqashid-al-syariah-babak-baru-ushul-fikih-b239755p/