Laduni.ID, Jakarta – Pada kuliah umum di UIN Samarinda, Senin pagi, (6/9/2021), aku antara lain menyampaikan ini.
Indonesia adalah Negara dengan “sejuta” keragaman yang menyebar di lebih dari 17.000 pulau. Di dalamnya ada lebih dari 1.300 suku bangsa yang berkomunikasi dengan ratusan bahasa dan dialek, ada puluhan agama, ratusan keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan sebutan yang berbeda-beda. Mereka beribadah kepada-Nya dengan tata-cara yang berbeda-berbeda. Di sana juga ada ribuan adat-istiadat dan tradisi yang beranekaragam. Semuanya adalah warisan kebudayaan yang berasal dari berabad-abad silam Indonesia, jauh sebelum ia merdeka dan berdaulat.
Dalam kurun waktu yang panjang itu mereka, dengan segala perbedaannya itu, dapat hidup bersama, saling membagi suka, duka, dan kebahagiaan dan kesengsaraan. Perbedaan-perbedaan tersebut di atas tidak menjadi penghalang bagi mereka, untuk bekerjasama, saling menolong, bantu membantu dan bergotongroyong membangun kehidupan bersama untuk sebuah cita-cita dan mimpi indah, damai dan bahagia, serta berjuang bersama untuk menjadi sebuah komunitas besar yang bernama Negara-bangsa.
Keberagaman realitas masyarakat dan cita-cita untuk membangun negara bangsa Indonesia itu kemudian dirumuskan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda-beda tetapi satu. Al Tanawwu’ fi al Wahdah. Keragamaan itu tak mungkin dapat dinafikan oleh siapapun dan dengan cara apapun. Karena ia adalah hukum alam, Sunnatullah, kehendak Tuhan. Maka Indonesia adalah Bhinneka, dan Kebhinekaan adalah Indonesia. Meniadakannya adalah meniadakan Indonesia. Itulah makna menjadi Indonesia.
Setelah mengarungi perjalanan panjang dan berliku, memikirkan dan mendiskusikan secara luas dan mendalam, akhirnya, tahun 1945, rakyat negeri ini, berhasil merumuskan dan menyepakati fondasi atau landasan berbangsa dan bernegara. Ia adalah Pancasila dan UUD 1945. Pancasila sebagai landasan filosofisnya dan UUD 1945 sebagai landasan hukum/konstitusinya. Keduanya menjadi titik temu (Kalimah Sawa) paling ideal bagi berbagai aspirasi dan kehendak-kehendak yang beragam dari rakyat Indonesia. Mereka menyepakati secara bulat kedua landasan tersebut.
Para pemeluk agama, kepercayaan, para penghayat dan penganut etika kemanusiaan universal meyakini bahwa Agama dan kepercayaan sejak awal dihadirkan Tuhan untuk membawa misi pembebasan manusia dari segala bentuk sistem sosial yang diskriminatif dan yang menindas, demi penghargaan atas martabat manusia, untuk keadilan sosial, menciptakan persaudaraan dan kesejahteraan bersama umat manusia. Mereka meyakini bahwa Agama, kepercayaan kepada Tuhan, dan etika kemanusiaan selalu hadir untuk menciptakan perdamaian, keselamatan, keadilan dan kerahmatan (kasih-sayang) bagi seluruh alam semesta.
Inilah yang dalam pandangan saya dimaksud oleh Al Quran sebagai nilai-nilai “Islam Wasathi”, moderat yang harus menjadi karakter umatnya.
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
Artinya: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (QS. al-Baqarah: 143)
Tantangan Baru
Hari ini negara kita sedang dihadapkan pada problem besar relasi antar komunitas manusia yang mengancam dan berpotensi menghancurkan masa depan kemanusiaan kita. Dan bagi Indonesia, ia akan meniadakan Kebhinekaan. Problem kemanusiaan itu adalah muncul dan berkembangnya gerakan radikalisme, ekstrimisme kekerasan dan hate speech yang dilakukan atas nama agama.
Melihat keadaan ini, kita harus melakukan apa? Harus bagaimaina?
Senin, 6 September 2021
Penulis: KH Husein Muhammad
Editor: Daniel Simatupang
https://www.laduni.id/post/read/73058/indonesia-adalah-bhineka-dan-bhineka-adalah-indonesia.html