Oleh Niken Satyawati, Penulis, Relawan di Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO)
Dunia maya heboh. Pesan berantai beredar luas melalui kanal WhatsApp, berlanjut ke medsos berbagai platform, tentang perundungan dan pelecehan seksual yang terjadi di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pusat. Dalam pesan berantai itu, korban yang seorang pria berinisial MS mengaku pernah mengadukan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pada 2017 dan melaporkan ke kepolisian tahun 2019 namun tidak ditanggapi.
Korban mengaku mengalami perundungan sejak 2011, saat awal bergabung dengan KPI. Tersangka perundungan adalah lima seniornya. Korban sehari-hari mengaku dipaksa membelikan makan bagi para senior. MS mengatakan puncaknya pada 2015, di mana dia mengalami pelecehan seksual. Tahun 2015, menurut MS, para pelaku beramai-ramai memegangi kepala, tangan, kaki, menelanjangi, memiting, melecehkan dengan mencoret-coret buah zakarnya menggunakan spidol.
Bejat. Biadab. Begitulah orang normal menilai kasus itu berdasarkan pengakuan korban. Oleh karenanya, sudah selayaknya semua pelaku dipecat dari pekerjaannya di KPI apabila memang tuduhan perundungan itu terbukti. Dalam kasus seperti ini kita harus memandang lebih berat pada perspektif korban. Jadi mari kita dorong keadilan ditegakkan. Saya setuju. Saya pun memahami ketika netizen yang marah meluapkan kekesalan dengan menyumpahi para tersangka.
Namun yang agak lucu, netizen mengaitkan kasus perundungan di KPI dengan sensor yang ada pada tayangan-tayangan di televisi. “Dada Sandy si kelinci diblur, tapi ternyata di balik sok moralisnya, orang KPI melakukan perundungan terhadap kawan sendiri.” Begitu rata-rata kritik yang disampaikan. Sehingga kesimpulannya, kasus di KPI ini adalah sebuah ironi. Orang KPI yang bekerjanya menjaga moral dianggap gagal menjaga moral di kantornya sendiri.
Sekarang mari kita telaah satu per satu. Terkait sensor tayangan, netizen salah alamat. Sensor tayangan baik film kartun, sinetron ataupun film yang tayang di lembaga penyiaran, itu adalah wilayah kerja Lembaga Sensor Film (LSF) bukan KPI. KPI tidak memiliki wewenang untuk melakukan penyensoran terhadap suatu program yang akan tayang. Dengan kata lain, wilayah KPI hanya berada di pasca-produksi ketika program itu telah disiarkan. Sedangkan wilayah pra-produksi merupakan kewenangan ataupun tugas LSF.
LSF melakukan tindakan terhadap produk tayangan sebelum disiarkan. KPI melakukan tindakan setelah produk ditayangkan. KPI mengevaluasi dan bisa menindak/memberi sanksi dengan teguran, denda, penghapusan siaran hingga yang terberat adalah mencabut hak siaran. Tapi memang antara kewenangan LFS dan KPI ini sudah lama terjadi salah kaprah di mata publik. KPI sudah membantah, tapi derasnya tudingan membuat publik tetap mengira yang menyensor adalah KPI.
Jadi, soal Sandy sahabat SpongeBob yang dadanya diblur, tidak bisa serta merta KPI mem-banned tayangan itu. KPI juga tidak bisa mengubah dada yang diblur menjadi tidak diblur. Sebagai lembaga yang sama-sama independen, KPI tidak bisa mengintervensi kerja LSF. Sementara menurut saya pribadi, kalau tayangan itu di-banned hanya karena tetek Sandy diblur, orangtua dan anak-anak yang rugi. Dada Sandy diblur bukan berarti keseluruhan tayangan buruk, bukan? Apalagi kartun SpongeBob itu selain menghibur juga penuh nilai-nilai seperti ketulusan, kesetiakawanan, dan lain-lain yang wajib ditanamkan kepada anak.
Sekarang soal hukuman ala netizen. Tak hanya para tersangka yang jadi sasaran, namun juga lembaga KPI. Hashtag #bubarkanKPI sempat trending walaupun para komisioner KPI langsung memastikan akan melakukan investigasi internal terkait dugaan kekerasan seksual di lembaganya. Sebagaimana kata Komisioner KPI, Yuliandre Drawis, yang mengatakan lembaganya tidak mentoleransi segala bentuk pelecehan seksual, perundungan atau bullying terhadap siapapun dan dalam bentuk apapun. Komisioner KPI juga mengatakan mendukung polisi menindaklanjuti kasus tersebut.
KPI, kata Yuliandre, akan melindungi memberikan pendampingan hukum dan pemulihan secara psikologi terhadap korban. Selain itu pihaknya menjamin akan menghukum pelaku apabila terbukti melakukan tindak kekerasan seksual dan perundungan.
Untuk diketahui, di KPI pusat ada 9 komisioner dan puluhan pegawai. Komisioner dipilih lima tahun sekali. Jadi setiap tiga tahun ganti orang. Sedangkan pegawai rata-rata berumur panjang di lembaga yang sama. Pegawai ini membantu kerja komisioner. Mereka ada yang berstatus ASN, ada pula yang honorer. Para korban dan tersangka pelaku, seluruhnya adalah pegawai, bukan komisioner. Komisioner saat ini periode kerjanya baru dimulai pada tahun 2019 dan akan berakhir 2022. Para komisioner menyampaikan bahwa mereka tidak tahu menahu ada perundungan di lembaga tersebut.
Komisioner KPI Nuning Rodiyah mengaku tidak pernah menerima aduan adanya pelecehan dan perundungan yang dialami pegawai berinisial MS. Hanya saja, kata dia, korban pernah meminta untuk pindah divisi. Para komisioner sendiri menyatakan baru mengetahui kasus perundungan di KPI itu setelah ada pesan berantai yang viral. Wajar saja para komisioner tidak mengetahui kasus itu. Bagaimana mungkin baru bekerja 2019 mengetahui peristiwa 2015 atau bahkan 2011? Namun netizen tidak peduli. Semuanya pokoknya dianggap sama.
Setelah kasus ini mengemuka secara luas, cyber bullying dilakukan oleh netizen. Tak sedikit yang melakukan doxing. Data pribadi para tersangka tersebar di dunia maya. Anak dan keluarga pun kena imbasnya. Mereka ikut dihukum oleh netizen. Padahal mereka tidak ada sangkut paut dengan kelakuan bejat ayahnya. Doxing dan tindakan cyber bullying yang menyertainya ini juga kejahatan. Sebenarnya ini juga tak kalah kejam dibanding kasus perundungan fisik itu sendiri.
Kita melawan perundungan fisik. Namun kita juga harus melawan perundungan di dunia maya, apalagi yang salah alamat. Jadi, mari terus mengawal kasus perundungan di KPI ini. Referensi yang dipakai harus benar. Lindungi dan dampingi korban, pulihkan kondisi fisik dan psikisnya. Hukum berat pelaku bila terbukti bersalah. Tapi jangan sampai kita menghukum orang yang tidak bersalah.
Solo, 8 September 2021