The Miracle of Jempol

Oleh Masyhari,
Pembina UKM Sahabat Literasi IAI Cirebon

Zaman now adalah zaman di mana teknologi digital sedang berkembang begitu pesatnya. Dunia yang begitu besar nan luas, dengan adanya jaringan internet, menjadi kecil dan sempit, bisa dijangkau dengan begitu mudahnya. Dunia hanya sebesar gadget. Dunia seakan berada di dalam genggaman tangan. Informasi dari belahan dunia nun jauh di sana, bisa kita akses seketika.

Sayangnya, konten informasi yang masuk bervarian, tidak hanya satu warna, tidak hanya bermuatan positif, tapi juga negatif. Tidak hanya berupa fakta yang bersumber dari dan empiris, tapi juga fiktif, fatamorgana, bohong belaka namun didengungkan seakan fakta. Ialah berita hoaks (sampah). Aliran informasi begitu derasnya, pantaslah bila fenomena ini disebut dengan banjir atau badai informasi.

Sungguh sangat berbeda antara zaman now dengan zaman old. Bila, dahulu dikenal pepatah “lidah tak bertulang” dan “mulutmu harimaumu”, maka adagium yang tepat untuk menggambarkan fenomena zaman now adalah “jempolmu harimaumu”. Semua jenis informasi yang ada di tangan kita, melalui akun media sosial semisal facebook, WhatsApp, InstaGram, Twitter, dan lain sebagainya, dengan begitu mudahnya tersebar ke penjuru dunia dalam hitungan detik, cukup dengan ujung jempol klik di layar sentuh smartphone. Hanya dengan sekali klik, berita hoaks dan atau yang mengandung aroma kebencian disebarkan. Maka polisi Cyber pun bergerilya, dan mereka pun berakhir di jeruji besi. Bahkan, tak jarang terjadi kerusuhan di tengah masyarakat akibat berita hoaks dan provokasi kebencian yang disebarkan melalui media sosial. Sebaliknya, berkat media sosial, kita bisa mendulang keuntungan jutaan rupiah, juga pesan kedamaain bisa kita tebarkan ke seluruh penjuru alam.

Media sosial layaknya pisau bermata dua. Bisa berguna, bisa pula berbahaya. Bisa bermanfaat, bisa pula timbulkan mudarat, tergantung bagaimana menggunakannya, apakah dengan cerdas, ataukah cara-cara culas? Apakah dengan ilmu, ataukah dengan nafsu? Apakah dengan penuh kesantunan, ataukah dengan penuh kebencian? Apakah dengan kejujuran, ataukah dengan kebohongan?

Sekedar cerita, saya sendiri mendapatkan beasiswa S2 berkat informasi yang disebarkan oleh kawan Shorih Kholid melalui akun facebook-nya. Berkat komunikasi aktif dan produktif melalui grup WA, sebuah buku bertajuk “Santri Tabah” tercipta dari rahim para alumni Tabah Kranji. Berkat media sosial, kita bisa bersilaturrahmi dan mereguk banyak ilmu dari para tokoh besar, penulis dan kiai yang mungkin dalam dunia nyata sulit untuk kita temui. Oleh karena itu, beberapa hal di bawah ini bisa dipertimbangkan.

Pertama, luruskan niat dan senantiasa ingat Allah. Saat kita memutuskan untuk membuat akun media sosial, kita niatkan karena Allah swt. Sehingga, saat menuliskan dan menyebarkan informasi apa pun di media sosial, kita ingat bahwa Allah melihat dan merekam gerak-gerik kita. Apa yang kita tulis dan sebarkan, akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Ingat kan firman Allah di dalam Alquran, “Pada hari itu (kiamat), Kami bungkam mulut mereka, dan tangan-tangan mereka akan membeberkan kepada Kami, pun juga kaki-kaki mereka akan menjadi saksi, atas apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Yasin: 65)

Lebih-lebih, jejak digital susah (kalau tidak mengatakan “tidak bisa”) terhapuskan. Ia terekam begitu kuat, sesulit melupakan mantan. Sehingga, apa yang kita sebarkan, baik-buruknya, akan menjadi “amal jariyah” yang terus saja mengalir dosa-pahalanya, kendatipun kita telah tiada, terkubur di dalam tanah.

Kedua, gunakan media sosial dengan cerdas dan santun. Sebagai insan yang terdidik, hendaklah kita berpikir dengan cerdas, sebelum menulis ataupun menyebarkan sebuah informasi. Apakah akan bermanfaat, ataukah malah menimbulkan mudarat. Karena seorang muslim yang baik yaitu yang menyelamatkan dan memberi keamanan. Selain itu, kita orang Indonesia, kesantunan dan tata krama sudah menjadi tradisi dan adat istiadat kita. Karena itu, kita senantiasa tebarkan kebaikan dan kasih sayang di dalam interaksi di sosial media, menghindari ujaran yang penuh kebencian dan dusta. Berita benar adalah senyuman. Sementara seutas senyuman adalah sedekah.

Ketiga, berteman dengan yang baik dan jadilah follower akun orang baik. Teman adalah cermin diri kita. Teman yang baik akan berdampak baik dan positif bagi kita. Sebaliknya, teman yang buruk dan jahat akan berdampak negatif bagi kita. Mendekati penjual minyak wangi, paling tidak kita akan kecipratan wanginya. Mendekati tukang las, paling tidak akan terkena dampak panasnya. Bila kita berteman atau menjadi follower orang baik, maka kita paling tidak akan mendapatkan pengaruh dari kebaikannya. Terkait hal ini, Az Zarnūji di dalam kitab “Ta’lim Al-Muta’allim” menyitir satu syair yang artinya kira-kira:

“Tentang seseorang, janganlah kau tanyakan
Cukup kau tanya dengan siapa dia berteman
Sebab teman adalah cermin yang menunjukkan,
sifat dan jati diri seseorang, juga kepribadian”

Di media sosial facebook misalnya, hindari akun-akun penebar kebencian atau hoaks, alih-alih berteman atau follow mereka. Kita bisa berteman atau mem-follow akun-akun yang bermanfaat, semisal akun “Munif Chatib” penulis buku Sekolahnya Manusia, akun “Ayah Edy” pakar holistic learning, “Aar Sumardiono” praktisi home schooling, serta Prof. Dr. “Imam Suprayogo”, mantan rektor UIN Maliki Malang yang menyajikan tulisan inspiratif dan mencerahkan.

Selain itu, akun KH. “Ahmad Mustofa Bisri (Simbah Kakung)” atau Gus Mus juga patut untuk kita follow. Akun KH. “Afifuddin Muhajir” pakar Ushul Fikih dari Situbondo. Kita bisa kita juga berteman atau follow akun Gus “Rijal Mumazziq Z” rektor INAIFAS Jember, mantan ketua LTNU Kota Surabaya dan mantan wartawan Aula NU Jatim. Di akun ini, kita tidak hanya mendapatkan hidangan tulisan-tulisan panjang ilmiah mencerahkan yang dikemas dengan bahasa sederhana dan mudah dipahami (meski kadang juga bikin mumet sih..hehe), tapi juga bertebaran di sana banyolan khas NU garis lucu ala Suneo dan Jarjit Singh yang bisa mengocok isi perut kita. Akun lainnya tentu masih banyak, sayangnya kesempatan tidak tidak mengijinkan.

Keempat, biasakan membaca informasi secara total dan menyeluruh, istilah kerennya kaffah (komperhensif), teliti dan lakukan tabayun (klarifikasi) sebelum menyebarkan.

Islam mengajarkan kita bahwa obat kebodohan dan ketidaktahuan adalah membaca. Jangan sampai kita sebarkan suatu berita, sebelum membaca isinya. Kita sebarkan hanya setelah kita baca judulnya. Padahal kulit tidak selalu mencerminkan isinya. Jangan tertipu dengan judul, sebab ia terkadang menyesatkan. Usahakan baca isi tulisan secara keseluruhan, sebelum menyebarkannya. Malas membaca, fatal akibatnya, sumber marabahaya. Na’udzubillah.

Setelah membaca informasi secara keseluruhan dan seksama, seharusnya kita sadar dan paham bahwa yang namanya kabar (informasi) itu bisa saja benar, bisa pula salah. Oleh karena itu, lakukan klarifikasi kepada pihak-pihak yang terkait atau yang berkompeten terhadap isi informasi, lebih-lebih bila itu menyangkut personal, atau nama baik seseorang. Klarifikasi kepada yang bersangkutan, sumber primer, bila tidak bisa, tahan diri untuk menyebarkan. Sebab, sekali berita tersebar, ia akan sulit untuk dihapuskan. Wallahu a’lam.

Bagikan tulisan ke: