Islam Nusantara; Sebuah Arkeologi Peradaban

Bicara soal agama, tentu tidak terlepas dari rule of religion sebagai bahan acuan bagi kaum agamis dalam bersikap dan berakidah. Begitupun dengan Islam—memiliki pelbagai aturan yang kompleks dalam mengatur ummatnya. Mulai dari hal kecil sampai hal besar. Dari sini, tercipta kerukunan ummat beragama. Islam yang dikenal sebagai rahmatan lil ‘alamin menjadi dasar bagi tiap pemeluknya agar bersikap ramah, toleran, kirtis-transformatif, dan cinta terhadap kedamaian.

Sejarah menarasikan Islam lahir di tanah kaum arab, hal ini menjadikan Islam selalu identik dengan “bahasa arab.”  Sehingga al-Qur’an sebagai kitab suci menggunakan bahasa arab. Dengan demikian, jika boleh saya membuat sebuah pernyataan—seandainya Islam lahir di tanah Jawa, tentu ‘ubudiyah dan kitab suci-Nya pun akan menggunakan bahasa Jawa. Pada konteks ini, sangat jelas bahwa sejak lahirnya Islam tidak dapat dipisahkan dengan kultur. Boleh dikata agama dan kultur selalu berjalan beriringan dan tentu mencari “titik temu” secara continue. Karena itu, keberadaan Islam diterima di pelbagai kalangan dengan beragam kultur adalah sebuah keniscayaan.

Keberadaan Islam (di) Nusantara bukanlah hal baru, karena telah terbukti merujuk kepada fakta sejarah penyebaran Islam di Nusantara. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan Nusantara dengan sebutan (nama) bagi seluruh kepulauan Indonesia. Jadi, Islam Nusantara dapat dipahami sebagai Islam yang termanifestasi di Nusantara. Yang pada hakikatnya ajaran Islam tetap satu; berdasarkan kepada konsep yang dibawa oleh Muhammad SAW.

Baca juga:  Anak-Anak di antara Agama dan Manusia

Ambillah contoh, penyebaran Islam di tanah Jawa yang dimotori oleh Walisongo. Walisongo membawa Islam ke Jawa tidak dengan kekerasan, namun dilakukan dengan sikap lemah lembut, lentur, mengemasnya secara elastis dan tidak anti terhadap kultur yang bercokol di pelbagai daerah. Sehingga Islam dapat diterima di pelbagai kalangan melalui akulturasi budaya. Proses alot inilah yang menjadi embrio lahirnya Islam Nusantara. Namun demikian, tidak sedikit yang melontarkan kritik dan penolakan terhadap Islam Nusantara. Karena terkesan memperhadapkan dengan Islam di Arab, bahkan dianggap rasial, karena mengkotak-kotakkan Islam. Maka dari itu, agar tidak terjadi kesalahpahaman terkait Islam Nusantara; perlu kiranya kita mengetahui apa dan bagaimana Islam Nusantara.

Islam Nusantara adalah Islam yang khas ala Indonesia; dengan menggabungkan antara nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, dan adat istiadat di Tanah Air. Karakter Islam Nusantara menunjukkan adanya kearifan lokal di Nusantara yang tidak melanggar ajaran Islam, namun justru menyinergikan ajaran Islam dengan adat istiadat lokal yang banyak tersebar di wilayah Indonesia.

Kehadiran Islam tidak untuk merusak atau menantang tradisi yang ada. Sebaliknya, Islam datang untuk memperkaya dan mengislamkan tradisi dan budaya yang ada secara bertahap (tadriji). Bisa jadi butuh waktu puluhan tahun atau beberapa generasi. Pertemuan Islam dengan adat istiadat dan tradisi Nusantara itu kemudian membentuk sistem sosial, lembaga pendidikan (seperti pesantren) serta sistem kesultanan (KH. Said Aqil Siraj: 2015). Tradisi itulah yang kemudian disebut dengan Islam Nusantara, yakni Islam yang telah melebur dengan tradisi budaya Nusantara. (Bizawie: 2015).

Baca juga:  Ulama Ideal Vs Penceramah Ugal-ugalan

Azyumardi Azra sangat prihatin melihat perwajahan Islam saat ini, oleh sebab itu, Islam Nusantara sangat dibutuhkan karena ciri khasnya mengedepankan jalan tengah (moderat/tawasuth), tidak ekstrim kanan/kiri, selalu seimbang, inklusif, toleran dan bisa hidup berdampingan secara damai dengan penganut agama lain, serta bisa menerima demokrasi dengan baik. Sedangkan model Islam Nusantara, bisa dilacak dari sejarah kedatangan ajaran Islam ke wilayah Nusantara yang kemudian disebut dengan istilah proses vernakularisasi (pembahasaan kata-kata atau konsep kunci dari Bahasa Arab ke bahasa lokal di Nusantara, yaitu bahasa Melayu, Sunda dan tentu saja Bahasa Indonesia) serta diikuti proses pribumisasi.

Dengan demikian, Islam menjadi embedded (tertanam) dalam budaya Indonesia (Azyumardi Azra: 2-15). Oleh sebab itu, saya sangat sepakat terhadap konklusi yang ditawarkan Bizawie; selayaknya Islam Nusantara dijadikan alternatif untuk membangun peradaban dunia Islam yang damai dan penuh harmoni di negeri manapun. Namun tidak harus bernama dan berbentuk seperti Islam Nusantara karena dalam Islam Nusantara tidak mengenal menusantarakan Islam atau Nusantarisasi budaya lain.

Selain Islam Nusantara dijadikan sebagai manifestasi Islam rahmatan lil ‘alamin, ia juga dapat disebut sebagai sebuah arkeologi peradaban. Hal ini berdasarkan pada proses pembentukan Islam Nusantara yang berlandaskan terhadap kajian peninggalan berupa naskah-naskah kitab ulama terdahulu—mengajarkannya dengan sistem sorogan di Pesantren dan di beberapa surau. Disamping itu, artefak dan ideofak berupa Batu Nisan, Makam, Masjid, Tempat Ritual yang hingga saat ini masih dapat kita saksikan menjadi penanda formulasi utama dalam membangun peradaban di masanya.

Baca juga:  Kahanan

Berangkat dari kajian inilah, kita dapat mengenal perwujudan dan wajah Islam Nusantara dengan sebenar-benarnya. Salah satu contoh, Masjid Agung Kudus memiliki menara yang serupa bangunan candi serta pola arsitektur yang memadukan konsep budaya Islam dengan budaya Hindu-Buddhis sehingga menunjukkan terjadinya proses akulturasi dalam Islamisasi Jawa. Tentu, Sunan Kudus memiliki misi tersendiri saat membangun masjid tersebut pada tahun  1549 M. Yang salah satu misinya adalah membangun peradaban toleransi beragama, merangkul tanpa harus memukul, mendidik tanpa harus menghardik, dan berjabat tanpa menghujat.

https://alif.id/read/moh-azhari/islam-nusantara-sebuah-arkeologi-peradaban-b239973p/