Kalau hendak disebutkan secara lengkap, ‘judul’ tulisan ini kira-kira seperti ini: alegori asal-usul adonan fiqh dan sedikit catatan tentang sosok Abu Hanifah.
Dengan demikian, catatan pendek ini hanya ingin menyinggung dua hal. Pertama, tentang alegori asal-usul fiqh. Kedua, tentang salah satu sosok yang tercantum dalam deretan tokoh yang bersumbangsih dalam rangkaian asal-usul fiqh, yaitu Abu Hanifah — bagaimana sosok dan karakter beliau sebagai seorang faqih.
Alegori asal-usul fiqh digambarkan serupa ‘cecukulan’ (tetumbuhan, sekaligus tahapan-tahapan berikutnya hingga menjadi suguhan yang siap dihidangkan) sebagaimana deskripsi dalam dua untaian bait/nazam berikut:
الفقه زرع ابن مسعود وعلقمة ● حصاده ثم إبراهيم دواس
نعمان طاحنه يعقوب عاجنه ● محمد خابز والآكل الناس
Dua nazam ini masih agak kurang clear, agak sulit untuk ditangkap artinya. Biar lebih mudah dan lebih lengkap, saya kutipkan deskripsi dalam bentuk natsar (prosa; kebalikan nazam):
الفقه زرعه عبد الله بن مسعود، وسقاه علقمة، وحصده إبراهيم النخعي، وداسه حماد، وطحنه أبو حنيفة، وعجنه أبو يوسف، وخبزه محمد بن الحسن، فسائر الناس يأكلون من خبزه
“Fiqh ditanam oleh Sahabat Abdullah bin Mas’ud, disirami oleh Alqomah, dipanen oleh Ibrahim al-Nakho’i, ditebah oleh Hammad, ditumbuk oleh Abu Hanifah, diuli/dibuat adonan oleh Abu Yusuf, dibikin roti oleh Muhammad bin al-Hasan, lahirlah ‘roti fiqh’ yang kemudian ‘dikonsumsi’ oleh seluruh anak manusia.”
Alegori asal-usul fiqh di atas ternyata juga menggambarkan silsilah keilmuan Abu Hanifah, baik ke atas (yang terhubung dengan Sahabat Abdullah Mas’ud) maupun ke bawah, yaitu munculnya dua nama (yaitu Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan) dalam alegori asal-usul fiqh, yang nota bene keduanya adalah murid dari Abu Hanifah.
Berikut adalah silsilah sanad keilmuan Abu Hanifah: beliau belajar kepada Hammad; Hammad belajar kepada Ibrahim al-Nakho’i; Ibrahim al-Nakho’i belajar kepada ‘Alqomah; ‘Alqomah belajar kepada Abdullah bin Mas’ud.
Abu Hanifah, sebagaimana kita tahu, adalah pendiri Mazhab Hanafi, yang banyak dianut di Iraq, Syam, India, Mesir, Turkistan, Brazil, dll.
Di samping sebagai pendiri mazhab, Abu Hanifah juga punya andil dalam kerja melahirkan ‘roti fiqh’, yang pada fase berikutnya, kerja melahirkan ‘roti fiqh’ ini diteruskan oleh dua orang yang juga punya keterkaitan dengan beliau (Abu Hanifah), yaitu dua murid beliau: Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan.
Menurut pendapat yang masyhur, Abu Hanifah termasuk generasi tabi’ut tabi’in. Ada sebagian mu’arrikh atau sejarawan yang mengatakan bahwa Abu Hanifah masuk dalam generasi tabi’in, sebab beliau (Abu Hanifah) masih sempat meriwayatkan hadis dari beberapa Sahabat Nabi, dan sempat berjumpa dengan Anas bin Malik, Abdullah bin Abi Aufa, Sahal bin Sa’ad, dan Abu Thufail bin Wa’ilah.
Suatu hari Abu Hanifah pernah ditanya apakah pernah berjumpa dengan sahabat Kanjeng Nabi. Jawab beliau, “Ya, saya pernah bertemu dengan sekurangnya delapan sahabat Kanjeng Nabi.” Beliau ditanya lagi, “Seperti apa gambaran sosok sahabat Kanjeng Nabi.” Jawab beliau, “Kalau Anda lihat mereka (sahabat Kanjeng Nabi), mereka seperti ‘orang gila’ (penampilan mereka kusut, kumal, tidak gebyar seperti penampilan orang-orang ahli dunia yang kaya).
Kita akan merasakan segi kemenarikan nama Abu Hanifah, jika kita ingat kembali perkataan Imam Syafi’i tentang Abu Hanifah, berikut:
الناس، في الفقه، عيال على أبي حنيفة
“Dalam urusan fikih, payung besarnya adalah Abu Hanifah.”
Coba kita tengok juga perkataan Sufyan al-Tsauri kepada orang yang berkata kepadanya (Sufyan) bahwa ia (orang tadi) baru saja berjumpa dengan Abu Hanifah:
جئت من عند أفقه أهل الأرض
“Kamu baru saja berjumpa dengan orang ter-faqih di sepenjuru bumi ini.”
Dan yang mengherankan, sedemikian tingginya ke-faqih-an Abu Hanifah, akan tetapi tak dijumpai sama sekali karya beliau dalam fann (bidang/disiplin) fikih. Kitab yang disebut-sebut sebagai karya beliau dan judul kitabnya mengandung unsur kata “fiqh”, justru adalah kitab dalam fann akidah, yaitu kitab “al-Fiqhul Akbar”. Satu versi pendapat mengatakan bahwa kitab “al-Fiqhul Akbar” ini adalah kitab dalam fann fikih, yang di dalamnya terkandung 60 ribu masalah fikih, bahkan lebih. Namun, hingga sekarang, tak ditemukan kitab “al-Fiqhul Akbar” dengan kandungan isi ilmu fikih; yang dapat dijumpai adalah kitab “al-Fiqhul Akbar” dalam fann akidah. Kitab lain karya Abu Hanifah yang berhasil sampai ke generasi setelahnya, adalah: Risalatul ‘Alim wal Muta’allim dan al-Raddu ‘Ala al-Qodariyyah.
Di masa awal Islam dulu, makna kosakata fiqh mencakup al-ahkam al-syar’iyyah (hukum-hukum syara’/agama) secara mutlak, meliputi ahkam yang terkait akidah, ahkam yang terkait a’malul ‘ibad (amal-amal badaniah manusia), dan akhlak. Belakangan, makna kosakata fikih meng-kerdil, hanya bermakna: hukum-hukum yang terkait amal badaniah manusia saja. Dugaan kuatnya, Abu Hanifah memberi nama kitabnya dengan nama “al-fiqhul akbar”, dengan memaksudkan arti kosakata “fiqh” sebagaimana maknanya yang lengkap, utuh, komprehensif seperti di masa-masa awal Islam.
Aspek lain yang sangat menarik dari sosok Abu Hanifah, adalah nama Abu Hanifah itu sendiri. Sebab dari nama Abu Hanifah ini kita mendapatkan gambaran sosok Abu Hanifah sekaligus karakter beliau. Selalu ada kisah di balik setiap nama.
Terdapat dua versi pendapat dalam menjelaskan arti dari nama Abu Hanifah. Pertama, nama Abu Hanifah diambil dari kata الحنف, yang berarti condong kepada kebenaran; orang yang hatinya tak bisa berpaling dari kebenaran. Hal ini mengingatkan kita pada pribadi-pribadi hanif (al-hunafa’) di masa-masa sebelum datangnya Islam. Ada satu sosok ber-karakter-kan seorang al-hanif bernama Zaid bin Amr bin Nufail yang mendapatkan komentar luar biasa dari Kanjeng Nabi:
يبعث يوم القيامة أمة وحده
“Dia (Zaid) akan dibangkitkan di hari kiamat sebagai umat tersendiri”. Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani (atau Habib Ali al-Jufri atau Syaikh Muhammad Sa’id Ramadlan al-Buthi, saya lupa persisnya; atau bisa jadi saya dapatkan dari sumber bacaan saya yang lain lagi) memberikan pemaknaan atas frasa “ummatan wahdahu”, bahwa semua karakter baik yang ada pada kumpulan banyak orang yang disebut ummat, berhasil dirangkum dalam diri satu orang, yaitu Zaid bin Amr bin Nufail.
Versi kedua, Hanifah dalam istilah orang Irak berarti الدواة, al-dawat (tinta; Jawa: mangsi) atau al-mahbaroh (wadah tinta). Beliau dijuluki Hanifah (Abu Hanifah) karena selalu membawa tinta atau pena.
‘Value’ yang bisa kita ambil dari informasi tentang arti nama Abu Hanifah ini adalah: ada dua karakter mendasar agar seseorang layak masuk dalam keluarga besar “ahlul ‘ilmi” dan orang yang faqih (ingat makna fiqh di masa awal Islam yang komprehensif dan utuh mencakup tiga dimensi sekaligus: akidah, fikih dan akhlak; sebenarnya ada satu dimensi lagi yang sudah dilupakan oleh banyak orang, yaitu dimensi “asyrotus sa’ah” (أشراط الساعة); perlu tulisan tersendiri lagi untuk membahas dimensi ini). Dua karakter itu adalah: ke-hanif-an (hati yang tak bisa berpaling dari kebenaran) dan ke-tinta-an (simbol dari rasa cinta yang dahsyat kepada ilmu).
Sudah pas dan benar jika nama Abu Hanifah (dengan karakter ke-hanif-an dan ke-tinta-an, sebagaimana tersimbolkan dalam nama Abu Hanifah itu sendiri) masuk dalam alegori asal-usul yang memasak dengan mendalam atas ilmu agama ini.
Wallahu a’lam.
https://alif.id/read/mlj/alegori-asal-usul-adonan-fiqh-b239965p/