Antara Tajdid Ushul Fiqh dan Tafsir Ngarang Bebas

Laduni.ID, Jakarta – Ushul fiqh itu adalah metode berfikir manusia untuk menafsirkan teks suci dalam Islam, dan ilmu ini berkaitan erat dengan logika dan bahasa. Kalau tidak mau dikatakan, (kenyataan) itulah yang menjadi dasarnya. Dari sini kita pahami bahwa ilmu ushul fiqh yang digunakan sebagai alat berfikir adalah ilmu yang tetap, kenapa?

Pertama, bagian dasar ushul fiqh itu logika/akal, karakter logika sendiri tidak pernah berubah, yang berkembang hanyalah penemuan kaidah/rumus baru dalam berlogika, yang mana itu tidak mungkin bertentangan dengan kaidah-kaidah logika yang sudah ditemukan atau diketahui sejak dahulu, karena akal manusia tetaplah akal manusia, dari Nabi Adam sampai hari ini.

Kedua itu bahasa, di mana ia menjadi bagian selanjutnya dari ushul fiqh, dalam konteks ushul sifatnya juga tetap. Karena pembahasan bahasa dalam ilmu ushul fiqh fokus pada dua macam pembahasan. Pertama, pembahasan bahasa yang berkaitan dengan logika, di mana itu juga tidak ada perkembangan. Kedua, pembahasan karakter bahasa yang menjadi dasar penelitian, yaitu bahasa yang digunakan ketika Al Quran dan assunnah diturunkan dan itu juga tidak ada perubahan. Berbeda dengan bahasa secara mutlaq, yang mungkin berkembang, itu di luar pembahasan ushul fiqh.

Jadi, inti ushul fiqh itu berdasarkan karakterteristik kedua bagian utama darinya, tidak mungkin berubah. Lalu apa yang berkembang? Yang berkembang dari ilmu ushul fiqh adalah saat istilah dalam metodelogi berfikir manusia berubah. Di sini ada tantangan tentang bagaimana ilmu ushul fiqh mampu membahasakan kaidah-kaidah ushul dalam istilah dan bahasa ilmiah yang baru, sehingga pembelajar ushul fiqh mengerti apa fungsi ushul fiqh di zaman modern ini.

Jadi bukan ushul fiqh yang berubah, tapi bahasa penyampaian ushul fiqh yang mungkin berkembang. Dan itu bukan suatu yang aneh dalam Islam, karena kita bisa melihat bagaimana bahasa ushul fiqh dalam arrisalah Imam Syafi’i, lalu bagaimana perubahannya pasca Imam Baqillany dan itu semua diamini oleh para ulama semasa dan setelahnya.

Di saat ada perubahan cepat di sana, di mana para imam merasa jika tidak merubah bahasa ushul fiqh dengan bahasa yang dimengerti para peneliti ilmiah, maka ilmu ini akan dianggap tidak penting oleh orang-orang yang lemah akalnya, yaitu orang yang terlalu fokus pada istilah tapi lupa pada esensi. Atau masalah kedua, yaitu para pelajar ushul fiqh akan kesulitan memakai ilmu ushul fiqh dalam memahami permasalahan baru yang sesuai dengan zaman.

Jadi tujuan perubahan lebih kepada cara penyampaian ushul fiqh agar para pembelajar tau, bagaimana memakainya untuk menjawab tantangan zaman yang berkaitan dengan pembahasan ushul fiqh. Bukan pada esensi ilmu ushul fiqh itu sendiri, di mana esensinya sejak jaman para sahabat sama saja, karena akal adalah akal dan bahasa Arab fusha tetap tidak berubah. Dan para ulama mujtahid adalah pewaris sahabat dalam melahirkan hukum dari teks alquran dan sunnah di mana metode berfikir mereka sejalan.

Tak heran saat kita melihat hasil ijtihad para sahabat dan ulama mujtahid seperti satu kesatuan, padahal mereka berijtihad dalam keadaan dan waktu berbeda bahkan dengan bahasa ilmiah yang berbeda pula. Bahkan tantangan dan permasalahan yang dihadapi juga berbeda, tapi kita bisa melihat bahwa metode yang mereka pakai sama. Bahkan kita akan mengatakan akal para mujtahid adalah akal yang sama dengan sahabat dalam berijtihad, mereka berasal dari madrasah yang sama, walau bahasa dan masalah yang mereka hadapi berbeda.

Seperti itulah tajdid yang dimaksud para ulama ketika berbicara tentang tajdid ilmu ushul fiqh. Adapun tajdid yang dipahami oleh kebanyakan akademisi hari ini beda lagi, mereka ingin mengubah esensi ushul fiqh, seolah ushul fiqh yang ditawarkan adalah ilmu baru yang tidak pernah kita kenal sebelumnya, bahkan tidak pernah dipakai sebelumnya dalam memahami ajaran Islam. Diantara sebab yang paling penting adalah mereka tidak paham fungsi logika dan bahasa dalam ushul fiqh.

Ketidakpahaman mereka pada penggunaan logika dalam ushul fiqh banyak sebabnya, diantaranya mereka tidak tau bagaimana mengaitkan ilmu logika dan ushul fiqh. Sehingga mereka kerap kebingungan tentang kenapa permasalahan filsafat, kalam dan logika harus dibahas di ushul fiqh. Itu terlihat jelas saat mereka mempertanyakan dan mengatakan bahwa pembahasan itu hanya mempersulit ilmu ushul fiqh. Kawan, jika anda tidak paham seharusnya bertanya, bukan mengubah.

Adapun ketidakpahaman mereka pada pentingnya bahasa dalam ushul fiqh kebanyakan disebabkan kurangnya penguasaan mereka pada bahasa Arab dan ilmu yang berkaitan dengan karakteristik bahasa Arab, akhirnya mereka gak tau memfungsikan bahasa Arab fusha yang menjadi bahasa teks suci dalam penafsiran ushul fiqh. Apalagi jika kita berbicara tentang kaitan bahasa Arab dan logika berfikir.

Jika dua bagian terpenting dan inti dari ilmu ushul fiqh yang dipakai ulama selama ribuan tahun mereka tidak pahami, lalu apalagi yang tersisa dari pemahaman mereka pada ushul fiqh? Maka wajar jika mereka ingin mentajdid ushul fiqh, yang sebenarnya adalah membuat ilmu baru versi mereka yang jauh dari logika dan bahasa, dengan begitu lahirlah ilmu baru dan bukan ushul fiqh.

Kalau membuat ilmu baru, lalu apanya yang mau ditajdid? Bahkan mereka tidak paham apa yang mereka ingin tajdid. Seharusnya logika mengatakan, “pahami yang lama dulu, baru ngomong tajdid”, kalau tidak maka ada kesalahan berfikir disini, akhirnya nama yang tepat bukan tajdid, tapi ngarang bebas. Maka tak heran penafsiran yang mereka buat pada teks suci melahirkan hukum baru, yang tidak pernah kita kenal sebelumnya, seolah ajaran islam yang mereka ajarkan sudah menjadi ajaran agama baru, di luar agama islam, yang belum pernah ada sebelumnya.

Oleh: Gus Fauzan Inzaghi


Editor: Daniel Simatupang

https://www.laduni.id/post/read/73179/antara-tajdid-ushul-fiqh-dan-tafsir-ngarang-bebas.html