Berawal dari Imajinasi: Mengukur Kecepatan Cahaya

Metode pengukuran kecepatan cahaya pertama kali diajukan oleh Ole Roemer sekitar tahun 1676, dengan mengukur jarak waktu/interval gerhana Jupiter atas Io. Io merupakan satu dari sekitar 79 bulan yang mengitari Jupiter — Io termasuk kelompok bulan galilean bersama Europa, Ganymede, dan Callisto. Roemer sendiri adalah seorang saintis asal Denmark yang saat itu bekerja di Observatorium Paris.

Ide untuk memanfaatkan bulan-bulan Jupiter sebagai “jam” alami sebenarnya bukanlah hal baru, sebab sudah pernah diajukan oleh Galileo Galilei beberapa waktu sebelum observasi Roemer. Meski demikian, Roemer berhasil membuat sebuah langkah lebih maju ketimbang hanya memanfaatkan bulan-bulan tadi sebagai “jam”; ia menggunakannya untuk mengukur kecepatan cahaya.

Ceritanya, pasca melaksanakan observasi bertahun-tahun, Roemer menemukan keanehan saat membaca hasil observasinya. Ia menyadari saat bumi berada di posisi terdekat dengan Jupiter, sekitar awal Januari, interval gerhana Jupiter-Io menjadi lebih cepat 11 menit dari interval rata-rata. Tapi saat bumi berada di posisi terjauh dengan Jupiter, sekitar pertengahan Juli, ternyata interval ini menjadi lebih lambat 11 menit.

Roemer kemudian berpikir bila perbedaan interval ini jelas-jelas bukan karena periode orbit Io yang tidak behubungan dengan posisi relatif Jupiter terhadap bumi. Dengan kata lain, periode orbit Io selalu konstan, baik saat diamati dari bumi pada bulan Januari maupun Juli.

Baca juga:  Idul Fitri, Islam, dan Sains (4): Andi Hakim Nasoetion: Ihwal Sains dan Kritik “Beragama” di Kampus

Ia kemudian berhipotesis bila penglihatan tidaklah bersifat instan. Konsekuensinya, kecepatan cahaya haruslah berbatas. Hal ini berlawanan dengan konsensus masa itu; kecepatan cahaya tak terbatas. Roemer berhadap-hadapan dengan Rene Descartes, salah satu penganjur kecepatan cahaya yang tak terbatas.

Dengan data Roemer, Christiaan Huygens yang asli Belanda mendapatkan estimasi kecepatan cahaya, sering disebut konstanta c, melalui rumus berikut: bila cahaya dari Io membutuhkan waktu (11 + 11) menit untuk menempuh satu kali diameter orbit bumi, maka c setara sekitar 2,1 × 10^8 m/s. Konstanta ini berbeda dengan c masa kini yang besarnya 3 × 10^8 m/s.

Dua sebab utama perbedaan ini adalah jam yang dijadikan referensi pada masa itu tak seakurat masa sekarang. Ketimbang beda interval yang 11 menit, jam modern menunjukkan beda interval kurang dari 7 menit. Selain itu, tak akuratnya pengukuran diameter orbit bumi masa itu juga turut berkontribusi dalam ketidakakuratan ini.

Mungkin saja terbatasnya kecepatan cahaya inilah yang mendorong Albert Einstein semasa kecilnya berimajinasi mengendarai seberkas cahaya. Pada gilirannya, seperti disampaikan Stephen Hawking, imajinasi itulah yang mengantarkannya pada rumus terbesar abad ini: E = mc^2.

https://alif.id/read/mrb/berawal-dari-imajinasi-mengukur-kecepatan-cahaya-b240182p/