Dalam sebuah hikayat diceritakan bahwa Sang Ratu sufi Rabi’ah Adawiyah sempat berlaku kontroversial dan menjadi perbincangan banyak orang. Pasalnya, kemana-mana sufi perempuan yang memilih hidup menjomblo ini pergi dengan membawa oncor di tangan kanannya dan menenteng ember penuh air di tangan kirinya.
Orang-orang pun penasaran dan mencoba menanyakan arti dari perbuatannya. “Apakah maksud dari perbuatan yang kamu lakukan ini, wahai Rabi’ah?” memastikan bahwa Rabiah masih sehat kejiwaannya.
“Saya membawa obor untuk membakar surga dan seember air untuk memadamkan api neraka. Agar manusia beribadah bukan karena mengharapkan surga dan takut akan neraka, melainkan murni kepada-Nya.” jawab Rabiah.
Beliau dikenal sebagai sufi perempuan yang nyentrik dengan konsep mahabbah kepada Allah Swt. Demi membuktikan dan menguatkan cintanya itu, beliau sampai rela memutuskan diri menjomblo hingga akhir hayatnya, agar cintanya kepada-Nya tidak terpecah untuk pasangan hidupnya.
Kita akan mencoba fokus pada ‘perbuatan meresahkan’ yang dilakukan oleh Rabiah. Apa yang diperbuat oleh Rabiah pada masa lalu jelas tidak biasa, sehingga memunculkan desas desus membincangnya. Tapi, kredibilitas Rabiah sebagai sufi tentu melegalkannya. Kemakrifatan sufi mendekritkan makna dalam setiap perbuatannya. Singkatnya, ada ‘hikmah’ di balik tingkah nyeleneh.
Dalam sistem akademik kita mengenal, bahwa setiap apa yang keluar dari lisan ataupun tulisan seorang profesor adalah bisa diterima. Andai kata itu sebuah kesalahan, maka bisa jadi itu temuan baru. Artinya, ketinggian derajat seseorang menegasikan bahwa ia bisa diterima dengan segala yang dibawanya.
Dalam sebuah potongan bait dalam Aqidatul ‘Awam yang ditulis oleh Syaikh Ahmad Marzuki tertulis, ‘Wakullu ma ata bihi arrasulu, fahaqquhu taslimu wal qabulu’ setiap apa yang datang dan berasal dari Rasulullah Saw., maka yang menjadi kewajiban bagi kita adalah pasrah dan menerimanya. Bagaimanapun, tidaklah keluar dari lisan suci beliau Saw, melainkan wahyu yang Allah Swt. turunkan.
Ketentuan semacam ini kemudian diwarisi oleh para mursyid. Sebagaimana rasul adalah kalangan nabi yang mendapatkan mandat untuk menyampaikannya kepada umat, maka mursyid adalah kalangan wali yang memiliki tugas ganda menuntun dan membimbing umatnya. Sehingga, setiap mursyid adalah wali, namun tidak berlaku sebaliknya. Menjadi sebuah kewajiban bagi murid untuk tunduk dan patuh kepada mursyidnya.
‘Barang siapa bertanya kepada mursyidnya, kenapa?, maka dikawatirkan ia tidak akan bahagia selama hidupnya’. Demikian salah satu makalah yang ditulis oleh Syekh Abdul Wahab Al-Sya’rani dalam Al-Anwar Al-Qudsiyah-nya. Menjadi syarat keberhasilan murid dalam bertarekat adalah tidak kebanyakan bertanya ketika mendapatkan kewajiban melaksanakan suatu amalan dari mursyidnya.
Ibarat pasien, murid tidak perlu tahu untuk apa ia berdzikir jahr membaca kalimat Tahlil 165 kali setiap seusai sholat lima waktu yang diwajibkan oleh mursyid selaku dokter baginya. Mursyid tahu benar bagai cara menangani anak muridnya. Sebagai orang yang berpengalaman dalam menjalani suluk tarekat, mursyid mengetahui langkah-langkah yang perlu ditempuh untuk mencapai kesempurnaan dalam bertarekat.
Dalam ilustrasi yang digambarkan oleh Habib Muhammad Luthfi bin Yahya, mursyid itu layaknya tukang kayu yang bertugas memoles muridnya. Polesan yang dihasilkan tidak akan sempurna jika ia bergonta-ganti tukang kayu, apalagi sampai menolak untuk mendapatkan polesan dari mursyid sebagai penangannya.
Ada banyak amaliah tarekat yang mungkin kurang familiar dalam ajaran Islam kebanyakan. Lebih tepatnya, hanya menjadi pengetahuan dan mulai jarang dilakukan, dan mursyid muncul sebagai penuntun para muridnya dengan mewajibkannya. Kadar dan dosis yang ditetapkannya adalah sesuai dengan takaran agar menjadi manusia paripurna.
Dalam beberapa tradisi pesantren yang pernah terdengar, ada beberapa amalan yang dilakukan dengan kadar tertentu akan menghasilkan manfaat yang demikian demikian. Hal demikian ini tidak pernah dilakukan oleh KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi. Sebagai mursyid Tarekat Qadiriyah Wa Naqsabandiyah yang mendapatkan tongkat estafet kemursyidan dari KH. Muhammad Utsman Al-Ishaqi, Kiai Asrori hampir tidak pernah menyampaian manfaat praktis dalam setiap amalan yang dituntunkannya, meskipun ada beberapa yang beliau jelaskan nilai filosofisnya.
Dalam tradisi tarak atau mutih misalnya. Dengan menghindari makan makanan yang mengandung unsur hewani akan membantu tetap lapar ketika berpuasa pada bulan Ramadhan. Di sini akan tercapai maksud puasa, yaitu dengan turut merasakan penderitaan orang-orang yang tidak berpunya. Bukan hanya sekadar pindah jadwal makan belaka.
Dzikir jahr (keras) dan dzikir sirri (lirih) dengan posisi kaki berlawanan dengan posisi duduk tahiyat dalam sholat misal selanjutnya. Hingga sekarang masih belum ada dawuh resmi yang kita jumpai tentang mengapa para mursyid mengajarkannya. Kita hanya dituntunkan untuk menjalankannya saja dan berbaik sangka bahwa ‘obat yang kita minum’ pasti ada manfaatnya.
Sebab, kebanyakan kita akan lebih condong pada ‘upah yang didapatkan’ ketika melakukan sebuah pekerjaan. Apabila majikan sudah menjanjikan upah sekian sebelum pekerjaan dilakukan, banyangan kita adalah berfokus pada terperolehnya upah setelah berhasil menunaikan.
Kembali pada kisah Rabiah Adawiyah di atas. Tingkah laku dalam penggalan kisah di atas dimaksudkan agar dalam beribadah adalah benar-benar bertujuan menghadap kepada-Nya. Karena jika seseorang dalam sholatnya adalah mengharapkan kemudahan-kemudahan dalam hidupnya, maka ia adalah hambanya kemudahan hidup. ‘Faqad asyrakta billah’, demikian kata Syaikh Junaid Al-Baghdadi. Engkau telah mempersekutukan Allah Swt. dengan yang lain.
Itulah di antara alasan kenapa dalam tarekat tidak ada pemberitahuan mengenai khasiat dan manfaat dari amalan-amalan tarekat. Yang terpenting adalah amalan dilaksanakan secara istikamah, lalu amalan tersebut menjadi tradisi kebiasan dan mengkarakter pada diri pelakunya. Sebesar apa estu kita dalam menjalankannya adalah sebanding dengan besar kecintaan kita kepada guru mursyid.
Allah Swt. berfirman:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran (3): 31).
Referensi:
Al-Qusyairi, Risalah Al-Qusyairiyah
Ahmad Al-Marzuqi, Aqidatul ‘Awam
Abdul Wahab Al-Sya’rani, Al-Anwar Al-Qudsiyah
https://alif.id/read/mzk/gaya-hidup-santri-3-nderek-kiai-b240201p/