Oleh Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm., Pengasuh Ngaji KGI, Dosen Pascasarjana PTIQ Jakarta
“Wanita Muslim dilarang memakai BH di hadapan laki-laki yang bukan muhrimnya”, sebuah poster melintas di WAG. Disusul poster lain, “Memakai BH mengakibatkan bentuk payudara menjadi nampak dan membuat para perempuan nampak lebih muda sehingga mereka menjadi sumber fitnah!”.
Jreng…..jreeng!!!
***
Akar kezaliman pada apa pun dan siapa pun itu ada dalam pikiran atau cara pandang. Selama kita melihat benda-benda di alam ini sebagai objek ya kita akan terus sulit respek pada keberadaanya, apalagi merasa perlu berterimakasih dengan menjaganya. Bahkan kita pun bisa jadi dengan enteng mengeksploitasinya.
Begitu pun pada perempuan!
Selama cara pandang kita pada perempuan adalah objek, maka selama itu pula kita sulit respek. Boro-boro berterima kasih atas keberadaannya. Kita bahkan mungkin enteng mengeksploitasinya atau menertawakan kepedihan mereka lewat guyonan seksis. Tidak hanya laki-laki pada perempuan tetapi juga pada sesama perempuan, termasuk pada diri sendiri sebagai perempuan.
By the way, cara pandang sebagai objek juga sebetulnya rentan dialami oleh laki-laki saat tidak mampu menjadi laki-laki secara sosial sehingga dianggap rendah atau lebih rendah oleh sesama laki-laki, bahkan juga oleh perempuan.
Karenanya, ikhtiyar mewujudkan keadilan mesti diawali atau disertai dengan membangun cara pandang yang adil, atau adil sejak dalam pikiran.
Sementara itu, mengubah cara berfikir yang tidak adil menjadi adil itu meniscayakan nalar kita berfungsi dengan baik. Jika kita ingin mengubah ketidakadilan berbasis pemahaman keislaman tertentu pada perempuan, maka Nalar Kritis Muslimah menjadi keharusan.
Bagaimana caranya?
Salah satu cara membangun cara pandang positif dan adil pada perempuan adalah dengan berhenti melihat perempuan hanya sebagai objek seksual yang setiap inci tubuhnya hanya dihubungkan dengan kenikmatan seksual laki-laki. Sementara kenikmatan dan kenyamanan perempuan atas tubuhnya sendiri dianggap tidak penting.
Selama perempuan dipandang sebagai objek seksual, maka nilai perempuan hanya didasarkan pada sejauhmana mampu menjadi alat pemuas hasrat seksual laki-laki dan menjadi mesin reproduksi yang mampu melahirkan anak sesuai dengan kehendak laki-laki sebagai pengguna mesin.
Ketika perempuan termasuk istri dipandang sebagai objek seksual, maka kenyamanan laki-laki sebagai subjek tunggal menjadi satu-satunya hal yang dipertimbangkan. Termasuk kenyamaman terkait BH!!! Sementara kenyamanan perempuan sebagai pemilik payudara yang disemati BH dianggap tidak penting.
Padahal urusan payudara itu penuh drama. Ada hinaan atas ukuran payudara yang dinilai kekecilan, kebesaran, atau perubahan bentuk karena pertambahan usia, atau karena telah dipakai sebagai sumber kehidupan bagi anak-anak melalui ASI. Satu anak berbulan-bulan sampai 2 tahun. Per anak loh ini. Repotnya menjaga payudara agar tetap kering padahal ASI sedang banjir-banjirnya. Sementara di saat yang sama, mesti pergi tanpa bayi untuk ekerja menafkahi keluarga atau mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai guru/ dosen. Belum lagi bahaya atas begal payudara yang terus terjadi. Juga ancaman ganasnya kista, miom, tumor, dan kanker payudara. Semua drama ini dianggap tidak ada. Hawong cuma objek!!
Berhenti juga melihat dan mendudukkan laki-laki hanya sebagai subjek seksual yang seluruh jiwa raganya bertumpu pada kenikmatan seksual dirinya semata. Kita sedang dituntut mengerahkan jiwa raga untuk menyelamatkan alam karena perubahan ekstrim iklim demi kerahmatan semesta, bisakah urusan BH diserahkan pada perempuan sebagai pemilik payudara yang lebih tahu kapan sebaiknya pakai dan tidak???? Bisakah dalam setiap hal, apalagi dalam hal-hal yang hanya dialami perempuan, selalu pertimbamgkan kemaslahatan dan kenyamanan perempuan? Bisakah yang diberi fatwa tidak hanya perempuan tapi juga laki-laki yang tidak respek bahkah membahayakan perempuan?
Berhenti juga melihat perempuan sebagai sumber fitnah. Karena perempuan juga bisa menjadi sumber anugerah, sebagaimana laki-laki juga bisa jadi sumber fitnah. Keduanya sama-sama Allah beri kecenderungan untuk berbuat baik sehingga menjadi anugerah, dan berbuat buruk sehingga menjadi fitnah. Bisakah kita lebih fokus pada bagaimana keduanya sama-sama saling menjadi anugerah bagi satu sama lain, bahkan bagi semesta?
Cara lainnya adalah bergerak terus membangun kesadaran dan cara pandang positif bahwa perempuan itu bukan hanya makhluk fisik, apalagi cuma makhluk seksual, apalagi cuma objek seksual. Perempuan, seperti juga laki-laki, di samping makhluk fisik adalah juga makhluk intelektual karena berakal sekaligus makhluk spiritual karena berhati nurani! Bahkan berakal budi adalah ciri makhuk bernama manusia.
Maka, nilai kita sebagai manusia babar blas (sama sekali) tidak tergantung pada jenis kelamin, bangsa, maupun suku. Artinya, tidak pula tergantung pada alat kelamin, warna kulit, bentuk dan warna rambut, mata, tinggi dan berat badan, dan lain-lain keragaman manusia.
Lalu pada apa??
Kalau mengacu pada al-Qur’an ya hanya tergantung pada satu hal yaitu Taqwa, yakni hubungan baik kita dengan Allah yang melahirkan hubungan baik dengan sesama makhluk-Nya, sesama manusia, laki-laki dan perempuan.
I’diluu huwa aqrabu lit taqwa!
Bersikaplah adil karena ia lebih dekat pada taqwa. You see….Sesaleh apapun jika tidak adil, termasuk adil pada perempuan, ya belum Taqwa sehingga belum mulia di hadapan Allah. Jadi, sejatinya belum saleh/ salehah hakiki juga.
Bertaqwalah kalian pada Allah dalam memperlakukan istri karena sesungguhnya kalian meminang mereka dengan amanah Allah dan menghalalkan vagina mereka dengan kalimat Allah.
You see…..sikap suami pada istri, bahkan terkait dengan urusan ranjang, ikut menentukan kualitas Taqwa atau kemuliaannya di hadapan Allah. Demikian pula tentunya sikap istri pada suami. Inilah mengapa dalam Islam, perkawinan disebut sebagai janji kokoh (mitsaqan ghalidlan).
Khoirunnasi anfauhum linnas.
Sebaik-baik manusia adalah yang termanfaat bagi manusia. Perbandingannya bukan orang lain tapi diri sendiri. Termanfaat hanya bisa dilakukan dengan menjadi versi diri yang terbaik dari beragam kemungkinan versi diri kita masing-masing kita punya. Cirinya bisa manfaat secara maksimal, tidak hanya bagi manusia lain, tapi juga bagi dirinya sebagai manusia.
Taqwa adalah komitmen tauhid yang dibuktikan dengan mewujudkan kemaslahatan bagi sesama makhluk-Nya, termasuk pada alam, atau iman kepada Allah sebagai satu-satunya Tuhan dengan prilaku baik pada sesama malhluk-Nya. Misalnya berkata benar atau diam, menghormati tamu, tetangga, orangtua, dan kebaikan-kebaikan lainnya. Inilah iman yang menggerakkan peradaban.
Untungnya menjadi versi diri yang terbaik itu adalah proses tak berkesudahan sepanjang hidup. Tugas kita sebagai manusia adalah ikhtiyar semaksimal mungkin untuk terus berubah membaik sesuai dengan kondisi dan kapasitas masing-masing. Tugas yang meniscayakan untuk mengasah nalar kritis kita sebagai apapun, termasuk sebagai Muslimah, agar mampu menilai: baik menurut siapa dan untuk siapa? Apakah baik juga menurut perempuan dan untuk perempuan?
Semoga kita sama-sama bisa terus berproses menjadi versi diri yang terbaik, bahkan saat di hadapkan pada pilihan yang sama-sama buruk. Semoga juga kita mampu mengukir jalan hidup yang berakhir dengan kesimpulan bahwa kita adalah orang baik (husnul khatimah), baik dalam pandangan sesama manusia maupun, dan ini lebih penting, dalam pandangan Allah sebagai Pencipta kita. Aamiin ya Rabbal ‘alamin.
Terima kasih buat Nur Hayati Aida Achmad Fathurrohman Rustandi dan Irawan Fuadi dari penerbit Afkaruna yang sudah membuat video promo buku sekaligus sharing salah 1 pesan penting dalam buku Nalar Kritis Muslimah sebagai buku sulung yang diterbitkannya.
Pamulang, 5 Oktober 2021
Salam KGI,
Nur Rofiah