Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah mengutarakan tilikannya perihal perbedaan antara apa yang saya sebut sebagai teologi kemanjaan, dengan bersandar pada syair Abu Nuwas yang popular, dan teologi yang tak bersandarkan pada konsep Tuhan personal. Teologi yang pertama, menurut presiden ke-4 RI ini, seolah mewakili teologi agama-agama Abrahamik. Sementara teologi yang menekankan pada impersonalitas Tuhan seperti mewakili teologi agama-agama non-Abrahamik.
Tilikan Abdurrahman Wahid itu memang dapat dipertanggungjawabkan mengingat kalangan muslim yang memilih radikalisme sebagai cara keberagamaannya juga lebih menekankan pada keagungan Tuhan. Sebagai konsekuensinya tentu saja citra Tuhan yang ditampilkan oleh Islam radikal terkesan seperti seorang tiran. Bahkan pada syair Abu Nuwas, meskipun Tuhan di sana laiknya sang karib, namun kemanjaan seorang sufi yang kerap dicitrakan jenaka itu tetap mencitrakan Tuhan laiknya pribadi—atau sebagai analogi, laiknya orangtua pada anaknya.
Sufisme yang berkecenderungan akhlaqi pun, meskipun kerap dicitrakan lembut, yang seolah mengedepankan kemahaindahan Tuhan, tak luput menyisakan pula sebuah paradoks atas konsep ridha Tuhan. Menghadapi pertanyaan semisal bagaimana kemudian orang mengukur keridhaan Tuhan, tafsir yang dikembangkan cenderung mengembalikan ukuran ridha itu pada manusia dimana keridhaannya konon sebangun dengan keridhaan Tuhan. Bukankah personalitas atau Tuhan yang berkepribadian tetap tampak dalam tafsir semacam itu?
Abdurrahman Wahid, secara ideologis, tentu saja bukanlah seorang penganut paham wujudiyah, tapi tilikannya atas atas ekspresi-ekspresi tasawuf akhlaqi seolah menyingkapkan bahwa tradisi teologi Abrahamik dan teologi non-Abrahamik ternyata memiliki konsekuensi yang sama dimana oleh kalangan wujudiyah disebut sebagai “dhewek” yang menyiratkan ketakmanjaan. Maka sebenarnya, dapat dikatakan bahwa antara Abdurrahman Wahid dan Abu Nuwas ternyata memiliki hubungan yang tak sederhana.
Buddhisme Theravada adalah salah satu agama non-Abrahamik yang secara gamblang menekankan impersonalitas Tuhan. Sederhananya, ibarat mencandra kehidupan manusia, apapun yang terjadi di dalamnya tergantung oleh diri manusia itu sendiri. Bukankah seandainya Abdurrahman Wahid adalah seorang pengekor Abu Nuwas tentu ia tak akan mati-matian menjadi pejuang laiknya kalangan progresif ?
Bukankah seandainya ia penganut teologi Abu Nuwas yang terkesan manja, ia tak akan keluar dari ICMI yang terkenal steril, “ningrat,” “jaim,” yang notabene hanya menelorkan para cendekiawan yang lebih memilih untuk duduk manis di menara gading? Dan bukankah ia justru menginisiasi berdirinya FDR yang tampak progresif atau kerap mencitrakan sikap-sikap yang enggan pada segala sesuatu yang dianggap rendah, sudra, “comberan”? Bukankah, ketika menyajikan dirinya sebagai seorang kyai pun, ia tetap takzim pada Ki Ageng Djoyopoernomo misalnya, yang konon hanyalah seorang kejawen dan sama sekali tak mencoba untuk sedikit pun tampil laiknya penganut paham keislaman yang seolah ingin membenarkan akidah?
Ki Ageng Djoyopoernomo jelas bukanlah seorang penganut teologi kemanjaan ala Abu Nuwas. Namun, dari pahamnya yang lebih menekankan pada kekuatan “dhewek,” ia seperti menyingkapkan pula bahwa pada akhirnya tilikan seorang Abdurrahman Wahid pada teologi ahlus sunah, dengan bersandar pada sufisme Abu Nuwas, tak ubahnya pula dengan kecenderungan teologis penganut Buddhisme Therevada yang lebih menekankan pada kekuatan “dhewek.”
Memang pada titik ini sangatlah pelik untuk menyingkapkan pilihan “dhewek” dalam teologi sufi yang berkecenderungan akhlaqi, sebab seolah Tuhan di sini memiliki hak prerogatif yang tak memiliki sedikit pun persinggungan dengan kuasa yang di-gadhuh-kan pada manusia. Seorang pengkaji al-Hikam, barangkali, akan memecahkan problem tentang ukuran ridha Tuhan dengan keridhaan manusia sendiri.
Pemecahan ini saya kira cukup aneh mengingat mereka seolah berupaya membedakan dirinya dengan para penganut sufisme wujudiyah yang menjadikan salah satu hadis qudsi sebagai sandaran: “Al-insanu sirri wa ana sirruhu.” Bukankah pada titik ini sebenarnya antara tasawuf akhlaqi dan tasawuf filsafati hanya berbeda dalam soal meletakkan misteri “dhewek,” dimana tasawuf filsafati cenderung meletakkannya di awal sementara tasawuf akhlaqi meletakkannya di akhir. Ibaratnya, tasawuf filsafati beranjak dari biji untuk menyelami keseluruhan pohon dan tasawuf akhlaqi beranjak dari rantingnya.
Maka sangat menarik ketika menyingkapkan pribadi seorang Abdurrahman Wahid yang konon secara ideologis adalah penganut tasawuf akhlaqi, sementara secara genealogis ataupun secara kenyataan menunjukkan kecenderungan penganut tasawuf wujudiyah: yang melawan ketika diserang dan mendobrak ketika dibatasi. Singkatnya, dalam sejarahnya, para penganut tasawuf wujudiyah memang sering menampilkan dirinya laiknya orang yang tak lagi hirau pada segala oposisi biner: awal-akhir, dunia-akhirat, brahmana-sudra, dst. Bukankah fakta bahwa ia pernah menjadi orang pertama di republik ini adalah bukti bahwa dunia dengan segala kesementaraannya bukanlah sesuatu yang “kotor” dan pantas dihindari?
https://alif.id/read/hs/paham-tasawuf-yang-dianut-gus-dur-antara-akhlaqi-dan-wujudiyah-b240394p/