Garam bukan hanya tentang penyedap rasa. Di masa lalu, sejumlah orang Semit sangat akrab dengan garam yang dimasukkan dalam upacara persembahan dan ritual kepercayaan yang melibatkan para dewa. Begitupun dengan orang-orang Yunani dan Romawi.
Di sisi lain, garam dijadikan sebagai alat tukar yang mempunyai fungsi sama seperti uang. Pemandangan semacam ini bisa dijumpai di Ethiopia, Afrika dan Tibet. Sedangkan di awal abad ke-21, negara China, India, Kanada, Amerika dan Jerman menjadi produsen terbesar dunia, sehingga banyak negara-negara lain mengimpor garam dari sana.
Indonesia sendiri pernah mempunyai peradaban garam yang gemilang. Sebelum penjajah datang ke Nusantara, masyarakat sudah menjadikan garam sebagai komoditas yang mampu menghidupi kebutuhan sehari-hari. Pada masa pra-kolonial, para penguasa di Nusantara yang mendominasi sentra dan rute perdagangan, khususnya di wilayah pantai utara Jawa menjadikan garam sebagai komoditas unggulan untuk diekspor ke luar.
Namun situasi ini berubah, ketika masa penjajahan oleh bangsa asing. Kekuasaan atas produksi dan perdagangan garam pindah pada pemerintah kolonial dan pengusaha yang terdiri atas orang-orang asing. Dalam rentang waktu yang tidak jauh, komoditas ekspor garam di Indonesia menunjukkan angkat yang terus meningkat. Pada tahun 1900 sekitar 235 juta gulden, dan di tahun 1930 sebesar 1.159 juta gulden.
Tapi, hal ini berbanding terbalik pasca kemerdekaan Indonesia. Garam tidak lagi menjadi komoditas ekspor, melainkan menjelma komoditas impor yang lebih cenderung bernafas kapitalis. Sehingga petani garam berangsur-angsur mulai melepas profesinya.
Madura dalam kumpulan cerpen “Yasima Ingin Jadi Juru Masak” digambarkan dengan romantisme masa lalu; mencekam, penuh darah dan perjuangan. Namun, juga menimbulkan perenungan yang tajam.
Edy Firmansyah menghadirkan luka yang cukup dalam, butuh waktu lama untuk mengobatinya. Pada masa perang, khususnya penjajahan Jepang di Indonesia hanya menambah deretan penderitaan masyarakat dibanding dengan masa kedudukan Belanda, di antaranya kerja paksa romusha.
Dalam antologi yang memuat empat belas cerpen, Edy mengajak pembaca untuk menjahit luka masa lalu, di mana bangsa Indonesia masih dalam pusat dominasi kolonialisme dan imprealisme asing; Belanda dan Jepang. Meski terasa pahit, pela-pelan Edy melepas peluru dari gundukan kesedihan yang mampu mencairan air ketenangan.
Di salah satu gerbong, di bawah terpal panjang yang lusuh tampak dua perempuan dan anak-anak keturunan Belanda sedang meringkuk di gundukan garam dengan dada diselimuti cemas (hal. 117).
Kemenangan Jepang atas Sekutu di perang dunia kedua tidak hanya menjadi pendemi yang menyerang Asia Timur, tetapi juga menyimpan dendam pada bangsa Belanda. Orang-orang Belanda yang ada di Indonesia dijadikan tawanan, dibunuh dan perempuan-perempuan berkulit putih dan berambut pirang dijadikan budak.
Cerpen yang berjudul “Garam dan Perang” mengisahkan keberanian seorang laki-laki bernama Ladrak. Pribumi yang diberikan jalan mulus sebagai pegawai jawatan kereta api, dan adiknya berstatus mandor garam di Kalianget oleh keluarga Tuan Robert van Houten.
Inilah episode yang tepat untuk membalas semua kebaikan keluarga Tuan Robert yang mati di tangan Nippon. Balas budi seorang pribumi kepada bangsa penjajah merupakan satu kerendahan hati yang kebaikan yang luhur dari Ladrak. Dia terpanggil membawa Julia, istri Tuan Robert bersama dua saudara perempuan dan anak semata wayangnya (hal. 120).
Berbeda dengan Kardiman, laki-laki yang menjadi anak buah Ladrak sejak pertama kali tahu di belakang ada orang Belanda, dia panik dan merasa bahwa kemalangan sudah berada di depan mata. Jepang akan mencegat, bahkan membunuh pengkhianat pada Nippon di Madura.
Garam dalam cerpen Garam dan Perang digandengkan dengan perang yang terjadi di Asia Timur. Sketsa macam ini bukan hanya gambaran di masa lalu, yang berada di pojok kisah masyarakat Madura. Edy menyeret garam dalam persoalan besar: perang. Garam bukan hanya komoditas ekspor yang diam, kemudian mencair. Tetapi, garam mampu menjelma peluru, memporak-porandakan stabilitas sosial, budaya dan lebih-lebih ekonomi masyarakat.
Ketergantungan Asing terhadap komoditas garam justru mengulur ketimpangan dan penindasan di atas tanah Madura. Awalnya masyarakat gembira dengan lowongan kerja sebagai petani garam di tengah jurang ekonomi yang menakutkan. Nyaris kelaparan terjadi di mana-mana, apalagi musim perang. Jadi, sekali lagi Edy melukis kembali patahan-pahatan tempo silam dengan menggandeng bunyi bedil dan hujan peluru di atas tanah Madura.
Kenapa mesti garam yang lebih menarik untuk disuguhkan di sini? Karena saya kira, ketika datang ke Madura, akan melihat lahan yang berpetak-petak dengan tumpukan garam di atasnya. Garam, sebagaimana di singgung tadi, pernah mengalami kejayaan di Madura, dan hari ini petani garam masih di posisi yang sama, tertatih-tatih untuk memperjuangkan harga garam. Dan setidaknya, untuk menyuarakan keresahan di masyarakat, Edy mambwa bingkisan berupa karya yang ada di tangan pembaca.
Kemudian, mengapa harus Belanda yang kini hendak diselamatkan? Apa pentingnya menyelamatkan penjajah? Apa pentingnya kemanusiaan jika rakyat sendiri justru jadi korban? Jepang datang, Belanda pergi. Dan nasib pribumi tetap menjadi budak (hal. 121).
Di dalam gerbong kereta api, Ladrak dan Kardiman berseteru, bergumul dan saling merebut tuas. Sementara, kereta terus melaju. Melewati gundukan putih, menaruh khawatir, dan di bagian lain cemas dan berani saling hajar. Ladrak dan Kardiman berada di ambang antara hidup dan mati. Sedang di depan gerbong kereta ada sebuah truk militer dan di pinggir jalan orang-orang gagah dengan senapan.
Dan, tiba-tiba Kardiman tergeletak sebelum kereta berhenti. Selain itu, kematian anak buah Ladrak menjadi simbol kemanusiaan yang dibangun oleh Ladrak. Kemanusiaan di tengah kultus garam dan perang di Madura.
Saya kira, kumpulan cerpen Yasima Ingin Jadi Juru Masak Nippon cukup menarik untuk dibaca. Apalagi di musim wabah, kumpulan cerpen yang menitis dari kitab sejarah sangat tepat bila kita dudukkan dalam porsi yang tepat, yaitu melihat sejauh mana keberpihakan pemerintah untuk komoditas garam di Indonesia, khususnya di Madura.
Judul: Yasima Ingin Jadi Juru Masak Nippon
Penulis: Edy Firmansyah
Penerbit: Cantrik Pustaka
Cetakan: Pertama, Agustus 2021
Tebal: 132 hlm
ISBN: 978-623-6063-18-7
https://alif.id/read/msb/madura-perang-dan-kultus-garam-b240416p/