Spiritualitas Resolusi Jihad (2): Slogan al-Ulamā Umanā’ullāh ‘Alā ‘Ibādihi

Ketika kita menyelami tulisan-tulisan Hadratussyaikh secara lengkap, maka kita akan sampai pada kesimpulan bahwa sebenernya Hadratussyaikh telah lama menggalang kekuatan umat Islam hingga sampai kepada puncaknya, perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI melalui seruan Resolusi Jihad.

Artinya sebelum mengeluarkan resolusi jihadnya, terlebih dahulu Hadratussyaikh menyebarkan pemahaman kepada kaum pesantren, khususnya para kiainya agar memahami peran yang harus dimainkan sebagai seorang ulama dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Syiar Islam dikatakan Kiai Hasyim tidak dapat digaungkan di bumi pertiwi selama Indonesia dan umat Islam masih dalam keadaan terjajah.

Hadratussyaikh mengkampanyekan adegium al-Ulamā Umanā’ullāh ‘Alā ‘Ibādihi, bahwa ulama adalah pembawa amanah Allah atas para hamba-Nya. Melalui adegium ini, Hadratussyaikh ingin menggerakkan para ulama agar membuka mata lebar-lebar melihat kondisi umat Islam yang tak berdaya di dalam kekuasaan para penjajah. Kondisi ini digambarkan Kiai Hasyim dalam tulisannya dalam rangka menyambut Muktamar NU ke-15 tahun 1940 di Surabaya, yang dimuat dalam majalah “Berita Nahdlatul Ulama” edisi ke-10, Desember 1940. Kiai Hasyim mengatakan:

“Setiap hal ini, kita tidak mendapati spirit yang tergerak, dan hati yang bercita-cita, dan kaki yang melangkah untuk membangkitkan umat dan memperingatkan mereka akan sebuah konsekuensi yang mengerikan yang akan dihadapi. Jika umat ini tetap dalam kemunduran (dekadensi), kerusakan dan kesesatan ini, maka hanya akan mendapatkan kondisi yang sama seperti hari ini.

Di masa lalu, orang-orang – dari gologan rakyat kecil dan pemimpin mereka- telah memandang dengan buruk atas kekejian ini, mereka mencelanya, dan melihatnya jijik. Namun hari ini, mereka tidak memperhatikannya lagi, juga tidak peduli. Mereka hanya menggelengkan kepala keheranan, seraya berkata penderitaan ini telah meluas, atau paling mentok mereka menggelengkan kepala dan berkata: masyaallah, aduh-aduh inilah akhir zaman. Seakan mereka telah mati meskipun masih hidup.”

Dalam berbagai tulisannya, setidaknya enam kali Kiai Hasyim menerangkan pentingnya peranan ulama pada masa-masa perjuangan melawan penjajahan yang dimulai sejak tahun 1925, meskipun setiap naskah memiliki konteksnya masing-masing. Kiai Hasyim berujar bahwa di pundak para ulama terdapat amanah Allah yang harus dijalankan demi kepentingan hamba-hamba Allah. Ungkapan al-Ulamā Umanā’ullāh ‘Alā ‘Ibādihi dalam  segala bentuk derivasinya, dapat ditemukan dalam enam naksah KH. Hasyim Asy’ari, yaitu:

  1. Kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim yang ditulis pada tanggal 17 Januari 1925.

Baca juga:  Mengenal Alawiyyah, Tarekat Para Habib

Dalam kitabnya adabul alim wal mutaallim, KH. Hasyim Asy’ari sudah menjelaskan bahwa ulama adalah tokoh yang mengemban amanah dalam menyebarkan ilmu, menghidupkan ajaran agama Islam, serta menyampaikan hukum-hukum Allah yang diamanahkan kepada para ulama agar dijelaskan kepada umat Islam  yang awam agar dijalankan dalam kehidupan sehari-hari. Peran ulama sebagai pengemban amanah agama inilah yang ditekankan oleh KH. Hasyim Asy’ari agar dijadikan ruh oleh para ulama saat mengajarkan ilmu kepada para santrinya. Pemaknaan ini dilontarkan KH. Hasyim Asy’ari dengan kapasitasya sebagai ulama dan pengasuh Pesantren Tebuireng, sebelum menjadi Rais Akbar NU dan ketua Masyumi.

  1. Selebaran Tahun Baru PBNU dalam Surat Kabar Berita Nahdlatul Ulama, No. 6, Tahun 6, 15 Januari 1937.
  2. Hasyim Asy’ari menyebut bahwa ulama adalah orang-orang yang membawa amanah Allah atas hambanya al-Ulamā Umanā’ullāh ‘Alā ‘Ibādihi. Mereka memiliki peran dalam memperbaiki keadaan orang awam, membimbing mereka, mengeluarkan mereka dari gelapnya kesesatan menuju cahaya petunjuk, serta mengentaskan mereka dari dari kebodohan dan kehinaan menuju puncak keilmuan dan keutamaan. Semua itu berada di atas pundak para ulama. Di samping itu, KH. Hasyim Asy’ari juga mengharuskan para ulama untuk melipatgandakan usaha mereka, dan tidak menyia-yiakan daya dan upaya mereka dalam tugas ini. Konsistensi ulama sebagai orang yang diberikan amanah oleh Allah (Umana’ Allah) dalam memainkan peran ini juga menjadi hal yang ditekankan oleh KH. Hasyim Asy’ari, dengan mengutip hadis H{udhaifah ibn Yaman, sehingga tidak ada yang mengatakan para ulama telah mengkhianati amanah ini, yang menyebabkan umatnya akan kehilangan arah.
  3. Pidato Pembukaan Muktamar ke-15 di Surabaya tahun 1940

Baca juga:  Sejarah Hubungan Islam-Arab dengan China

Hadis ini lantas diberikan penjelasan oleh KH. Hasyim Asy’ari dengan mengutip pendapat Imam Malik yang dikutip Syaikh Muhammad Zakariya al-Kandahlawi dalam kitabnya Awjaz al-masalik ila muwatta’ malik, sebagaimana berikut:

وعن مالك بن أنس إمام دار الهجرة قال: بلغني أن العلماء يسألون يوم القيامة عن تبليغهم العلم كما تسأل الأنبياء عليهم الصلاة والسلام.

Dari kedua teks ini, lantas KH. Hasyim Asy’ari memberikan penjelasan bahwa seorang ulama mempunyai tanggungjawab dan amanah dari Allah terhadap masyarakatnya, beliau menjelaskan: “supaya diingat bahwa di atas pundak kita terdapat amanah dari Allah, yaitu untuk membimbing masyarakat agar patuh kepada segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Kita semua harus menjalankan amanah dengan sebenar-benarnya, kita tidak patut untuk takut para pencela dalam urusan Allah”.

  1. Pidato di depan Ulama Bangkalan pada tahun 1941
  2. Hasyim Asy’ari berpidato di depan para ulama Bangkalan dengan berseru: “Wahai para ulama yang mulia, anda semua adalah penjaga agama dan penerang umat, anda semua adalah amanah Allah atas hamba-hamba-Nya. Anda semua bertanggungjawab dalam menjaga umat ini kelak di akhirat. Dalam tanggungjawab ini, Allah telah menjanjikan kepada anda balasan yang besar yang akan mengantarkan kepada kebahagiaan dan keselamatan.
  3. Pidato Pembukaan Muktamar ke-16 di Purwokerto pada 26 Maret 1946

Naskah pembukakan Mukatamar ini dituliskan oleh KH. Saifuddin Zuhri dalam bukunya. Salah satu potongan pidato Kiai Hasyim adalah:

“Maka kewajiban kita para ulama sekarang ialah berpedoman pada perjalanan mereka, para sahabat itu, dan berpikir tentang soal-soal umat yang besar, baik soal politik, militer, sipil dan lain-lainnya. Kalau kita tidak suka berlaku demikian maka umat Islam akan tunduk pada orang-orang yang memikirkan soal-soal ini yang terdiri daripada orang luar kita (luar Islam), dan dengan demikian, amanat (kepercayaan) Allah subhanahu wata’ala yang terletak pada bahu kita tentang umat jadi hilang musnah.”

  1. Pidato Pembukaan Muktamar ke-17 di Madiun pada 24 Mei 1947
  2. Hasyim Asy’ari menekankan bahwa hidup matinya agama Islam sangat bergantung pada perjuangnan para ulama. Ulama adalah pengemban amanat Allah yang harus ditunaikan. Peran ulama telah ditunggu umat, apa yang bisa mereka lakukan untuk memperbaiki (al-Ishlah) kondisi sosial keagamaan bangsa ini. Integritas ulama tengah dipertaruhkan, apakah umat nantinya masih mempercayai mereka atau tidak. Dalam situasi yang belum stabil ini, ulama menjadi tumpuan harapan bagi umat Islam yang merasa telah kehilangan harapan. Pidato ini ditutup KH. Hasyim Asy’ari dengan seruan kepada para ulama untuk bangkit bersatu, merapatkan barisan, tetap solid dalam persatuan untuk menghadapi ancaman yang datang.

Baca juga:  Hari Pramuka: Kepanduan Muslim dan Kontribusinya bagi Perjuangan Bangsa

 

Dari sini telah jelas bahwa pada tahun-tahun 1940-an Kiai Hasyim dan para pejuang dari kalangan ulama lainnya tengah menghadapi sikap apatis dari kalangan ulama. Inilah mengapa Kiai Hasyim merasa penting untuk menyemaikan rasa nasionalisme dan semangat juang secara periodik kepada para ulama agar mereka mau bergerak menyebarkan semangat untuk bangkit melawan penjajahan.

Maka ketika fatwa resolusi jihad dikumandangkan, semua kiai dan para santrinya langsung berbondong-bondong bergerak menuju Surabaya dengan sikap optimisme dan semangat juang yang meledak-ledak. Cerita akan berbeda ketika Kiai Hasyim mengeluarkan resolusi jihad tanpa melakukan pendekatan kepada para kiai dan kaum pesantren di lapisan bawah.

Sungguh aneh jika dalam beberapa tahun lalu ada usaha “penghilangan jejak sejarah” atas kontribusi para ulama dalam pertempuran 10 November 1945. Bagaimana bisa “mereka” yang mencoba menghapus sejarah besar ini dari anak-anak bangsanya. Hal ini pula yang disesalkan Rais Aam PBNU KH. Ahmad Siddiq dalam pidatonya pada acara Reuni Mantan Hizbullah di Surabaya 1986 : “Bahwa kadang-kadang ada orang yang tega memanipulasi sejarah, seolah-olah islam Islam hanya penonton, pendatang baru, musafir gelandangan, pembonceng, bahkan penumpang gelap, padahal umat Islam di Indonesia ini, merupakan ibu Kandung dari seluruh perjuangan Indonesia.” (Majalah Tebuireng 1986)

https://alif.id/read/maf/spiritualitas-resolusi-jihad-2-slogan-al-ulama-umanaullah-ala-ibadihi-b240497p/