Rabiul Awal merupakan salah satu bulan istimewa bagi umat muslim di seluruh dunia. Termasuk Kota Serang, Provinsi Banten. Karena bulan ini merupakan bulan kelahiran manusia mulia dan teladan umat yaitu nabi akhir zaman, Nabi Muhammad SAW. Tepatnya pada 12 Rabiul Awal.
Pada bulan tersebut, seluruh umat muslim sangat antusias menyambuntnya. Karena bulan tersebut merupakan bulan peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW atau maulid nabi. Hampir di setiap negara termasuk daerah di Indonesia mempunyai cara yang berbeda dan khas dalam memperingati maulid nabi ini. Begitu pun dengan Kota Serang.
Di Kota Serang, dalam memperingati dan menyambut maulid nabi, mempunyai tradisi yang unik yang dinamakan dengan tradisi Panjang Mulud. Tradisi ini sudah turun-temurun dari awal hingga berkembang seperti sekarang ini. Mengapa hanya di Kota Serang. Ini dikarenakan mayoritas tradisi panjang mulud ini hanya ada di Kota Serang. Hampir di setiap kampung, setiap lingkungan, kelurahan, dan kecamatan di Kota Serang, semua memperingatinya.
Memang ada, di beberapa daerah lain seperti di Kabupaten Serang dan Kota Cilegon. Tapi sayang, tidak menjadi mayoritas. Hanya ada dan berlaku di wilayah yang memang berdekatan secara geografis dengan wilayah Kota Serang untuk Kabupaten Serang dan di Kota Cilegon hanya yang berdekatan dengan wilayah Kabupaten Serang.
Di Kabupaten Serang yang tiap tahun terlihat biasanya di Kecamatan Baros, Pabuaran, dan Kramatwatu. Sedangkan di Kota Cilegon yang biasa terlihat di Kecamatan Cibeber.
Secara ilmiah dan kebahasaan, istilah ini masih sulit ditemukan dalam berbagai kamus bahasa Indonesia. Namun dalam penuturan masyarakat Kota Serang sendiri, istilah panjang mulud pun terdapat beberapa definisi. Pertama, panjang mulud ada yang mendefinisikan terdiri dari dua kata panjang dan mulud. Kata panjang diartikan tempat untuk menyimpang telur dan berkatnya. Sedang mulud adalah nama bulan yang disandarkan kepada bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Kedua, pengertian panjang mulud yaitu arak-arakan dan iring-iringan berkat dan telur yang memanjang dan biasa diperingati pada bulan mulud. Ketiga, ada yang menyebutnya pajang mulud. Yaitu semua berkat, telur, dan yang terkait dengan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW semuanya dipajang dan diperlihatkan pada masyarakat atau publik.
Namun terlepas dari berbagai definisi tersebut, panjang mulud merupakan tradisi peringatan maulid Nabi Muhmmad SAW yang berupa hiasan telur, hiasan panjang dengan berbagai pernak-perniknya. Dan didalamnya terdapat nasi berkat. Nah dalam tradisi tersebut ada pembacaan dzikirnya, barzanzinya, dan lain-lainnya. Bahkan dalam pelaksanaannya pun panitia mengambil panjang mulud dari rumah-rumah warga yang sudah siap menyerahkan sedekahnya untuk dibawa ke musala atau masjid sambil diiringi alat musik rebana, hadroh, terbang gede, dan sejenisnya.
Meski tradisi panjang mulud ini sudah lama berlangsung dan sudah turun termurun, namun ternyata sayang, soal ini masih jarang yang menulisnya. Padahal, bila melihat beberapa kegiatan, dari pihak akademisi atau pihak terkait, sesekali pernah ada sosialisasi atau diskusi soal tradisi panjang mulud.
Karena jika diperhatikan, rupanya pada tradisi panjang mulud ini mengalami perkembangan dari masa ke masa. Sejak 2014 lalu, banyak pedagang yang menjual panjang mulud dengan berbagai macam hiasannya serta pernak-perniknya. Padahal pada tahun 1990-an , tidak ada satu pun yang menjual panjang atau tempat berkatnya. Pada dekade 1990 justru tempat atau wadah berkatnya ada yang menggunakan baskom, bakul, atau sangku besar.
Pada masa itu yang terlihat malah hiasan telurnya. Masyarakat berlomba-lomba menunjukan keterampilannya dalam menghias telur yang sudah matang direbus. Yang jadi pertanyaan, mulai sejak kapan tradisi itu mulai ada? Atau kapan asal mula hadirnya panjang mulud sebagai sebuah tradisi khas Kota Serang.
Jika ditelusuri asal-usulnya, berdasarkan catatan sejarah, menurut Halwany Michrab dan A Mudjahid Chudori dalam bukunya yang berjudul Catatan Masa Lalu Banten disebutkan bila asal-usul tradisi panjang mulud dimulai pada masa Sultan Banten yang ke empat yaitu Sultan Abdul Mafakhir Mahmud Abdul Qadir atau biasa dikenal Sultan Kenari.
Tepatnya ketika Sultan Kenari mengirimkan tiga utusannya ke Mekah—yang saat itu masih di bawah wilayah Kesultanan/Kekhalifahan Turki Usmani. Pada tahun 1633 atau 1634, Sultan Kenari mengutus beberapa pembesar istana Kesultanan Banten untuk menunaikan ibadah haji. Ketiga utusan tersebut yaitu Labe Panji, Tisnajaya, dan Wangsaraja. Serta ditemani Pangeran Pekik, anaknya yang mewakili ayahnya.
Pada 21 April dan 4 Desember tahun 1638, rombongan yang diutusa ke Mekah sudah kembali ke Banten dengan membawa oleh-oleh yang diberikan oleh Syarif Mekah. Ketika mereka kembali ke Banten, mereka disambut dengan sangat meriah, dengan upacara kebesaran kenegaraan. (Halwany Michrab; 1993).
Selain itu, diceritakan juga bagaimana Sultan Kenari memerintahkan kepada Tumenggung Wirautama untuk membuat persiapan secukupnya untuk keperluan penyambutan. Pada hari yang telah ditentukan, semua persiapan telah sempurna. Setiap orang telah siap di tempatnya masing-masing. Sultan duduk bersama pengiringnya di Srimanganti. Adapun yang menerima surat dari Syarif Mekah adalah Ki Pekik, di atas kapal. Ketika kapal akan merapat, kemudian ditembakan meriam sebelas kali.
Tembakan meriam tersebut kemudian dibalas dengan jumlah yang sama dari arah perebentengan. Tidak hanya itu, gamelan pun dibunyikan. Dan sekali lagi, meriam pun ditembakkan sebagai tanda penghormatan. Bendera oleh-oleh (hadiah) dari Mekah dibawa oleh Kyai Rangga Paman. Sedangkan hadiah-hadiah yang lainnya dibawa oleh Tumenggung Indrasupati. Tidak hanya hadiah, dari Mekah, Sultan Kenari mendapatkan gelar Sultan Abdul Mafakhir Mahmud Abdul Qadir. Sedangkan Ki Pekik, anaknya sendiri, mendapatkan gelar Sultan Ma’alli Ahmad.
Menurut Jemmy Ibnu Suardi dalam tulisannya yang berjudul Perayaan Maulid di Banten, Tradisi Resmi Kesultanan Banten, sejak Sultan Kenari mendapatkan gelar sultan dari Syarif Mekah, maka Sultan Kenari merupakan raja pertama di Nusantara yang mendapatkan gelar dan legalitas dari Kesultanan Turki Usmani. Dan Sultan Kenari diberikan otoritas untuk bisa melantik sultan-sultan yang ada di Nusantara. (https://www.banteninfo.com)
Lebih lanjut, menurut Jemmy, dalam naskah kuno Sejarah Banten disebutkan bahwa pada tahun 1638, utusan Kesultanan Banten tersebut ketika pulang ke Banten juga membawa salinan kitab-kitab keilmuan Islam,dan simbol-simbol kekuasaan Islam berupa panji Nabi Ibrahim AS yang merupakan simbol kekuasaan Khalifah Islam, tapak suci Nabi Muhammad SAW, kiswah kakbah, dan satu lagi tentu saja gelas prestisius Sultan.
Lebih dari itu, masih menurut Jemmy, secara khusus, Kesultanan Banten mendapatkan mandat dan otoritas dari Syarif Mekah untuk melaksanakan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW setiap tahun.Yaitu dengan mengarak keliling kota simbol-simbol kekuasan nabi tersebut. Maka sejak saat itu, tahun 1638 secara resmi perayaan peringatan maulid nabi dijadikan tradisi resmi Kesultanan Banten, dan menjadi tradisi masyarakat di Nusantara, terutama di Banten hingga saat ini.
Tidak hanya itu, dalam perkembangannya, dalam beberapa sumber disebutkan, sambil berkeliling memperlihatkan hadiah yang dibawa tersebut, rumah-rumah masyarakat pun dihias dan diperindah. Sehingga pada perkembangannya, dari kesultanan memberikan penilaian terhadap rumah yang dinilai cukup indah, bersih, dan nyaman untuk ditempati dan ditinggali.
Dengan demikian, bila diamati, maka tradisi panjang mulud di Banten ini mengalami empat perkembangan yaitu; pertama berkeliling memperkenalkan simbol-simbol kekuasaan nabi. Kedua, berkeliling untuk melihat rumah dan menilainya. Ketiga, berkeliling untuk mengarak iring-iringan telur hias dengan berkatnya, dan ke empat yaitu berkeliling mengambil berkat dan telur yang berada di dalam panjang mulud yang dihias.
https://alif.id/read/khoirul-umam-albantani/tradisi-panjang-mulud-di-kota-serang-b240510p/