Spiritualitas Resolusi Jihad (4): Pekikan Takbir

Hal yang paling dikenang hingga kini dari peristiwa pertempuran 10 November 1945 adalah pekikan takbir yang digelorakan oleh Bung Tomo. Pekikan Allāhu Akbar dalam pertempran Surabaya seakan menjadi simbol kekuatan juang 45 yang memiliki dimensi spirituaitas keagamaan antara semangat nasionalisme dengan Jihad fi Sabilillah. Pekikan Allāhu Akbar juga merupakan ekspresi keulamaan dan kesantrian dalam pertempuran 10 November. Setidaknya ia menjadi tanda bahwa para kiai dan santri turut serta bertempur.

Belakangan Ketika gulungan buku sejarah dibeber, dan semua pihak mempunyai kesempatan untuk berbicara, terungkap bahwa memang kaum pesantren secara dominan menjadi aktor di balik Jihad fi Sabilillah 10 November 1945. Keimanan mereka terpanggil untuk turut mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Hadratussyaikh juga menilai bahwa mempertahankan kemerdekaan adalah perintah agama bagi setiap umat Islam di Indonesia.

Takbir, Allāhu Akbar yang disiarkan Bung Tomo melalui stasiun radio didengar oleh kalangan luas, takbir itu sangat melekat dengan sosok Bung Tomo, hingga orang-orang yang hidup di tahun-tahun itu menyebutnya dengan Takbir Bung Tomo. Bung Tomo yang memiliki latarbelakang jurnalis dan pernah menduduki pimpinan Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) itu kerap berpidato untuk mengobarkan semangat juang bangsa Indonesia. Pidato-pidato Bung Tomo biasa disiarkan melalui Radio BPRI ke seluruh wilayah Indonesia. Namun siapa sangka bahwa sosok yang mewasiatkan kepada Bung Tomo saat mengumumkan komando perang melawan penjajah adalah Hadratussyaikh.

Kala itu, Hadratussyaikh telah menjadi sosok pemimpin yang sangat berpengaruh. Kapasitasnya sebagai Rais Akbar Nahdlatul Ulama dan Ketua Masyumi, terlebih kepribadiannya yang penuh karismatik, membuat perkataannya didengar masyarakat luas. Keputusannya juga menjadi pertimbangan bagi Pemerintah Indonesia, dan bahkan Pemerintah Jepang. Resolusi jihad adalah bukti bahwa Pemerintah Indonesia memerlukan dukungan dan pertimbangan dari Hadratussyaikh. Untuk menggerakkan rakyat Indonesia melawan tantara Inggris. Resolusi jihad adalah sebuah jawaban atas pertanyaan Soekarno, Presiden pertama RI yang menanyakan hukum membela tanah air dari ancaman penjajah.

Baca juga:  Spiritualitas Resolusi Jihad (3): Keterlibatan Para Ulama

Kapasitan Hadratussyaikh itu lantas membuat Bung Tomo ingin sowan kepada Hadratussyaikh terlebih dahulu sebelum menyampaikan pidatonya yang iconik itu. Pidato yang sebenarnya merupakan kepanjangan  dari resolusi jihad Hadratussyaikh dan para ulama NU. Pesan resolusi jihad melawan tantara Inggris berhasil disampaikan Bung Tomo dalam pidatonya dengan sangat baik.

Dalam majalah Tebuireng tahun 1986, KH. Yusuf Hasyim mendeskripsikan betapa pidato itu berhasil membangkitkan semangat perjuangan melawan penjajah. Kiai yang akrab dipanggil Pak Ud itu mengatakan semua orang akan berdiri bulu kuduknya ketika mendengar teriakan Takbir Bung Tomo. Mengapa Bung Tomo dalam pertempuran Surabaya menggunakan pekikan Takbir?

Dr. Yahya Muhaimin, seorang pengamat Politik dan Militer menganalisa, bahwa untuk memobilisir massa, sebagai kekuatan nasional, perlu adanya simbol yang abstrak, dan sudah disatukan. Teriakan Takbir Bung Tomo waktu itu, jelas merupakan simbolisme suatu kekuatan agama untuk diinternalisasikan  sedemikian rupa, menjadi kekuatan nasional”.

Senada dengan itu, Kuntowijoyo juga memaknai takbir Bung Tomo sebagai symbol dalam memobilisasi massa dalam pertempuran 10 November di Surabaya. Ia mengatakan: “Di Surabaya umat Islam sangat dominan lalu dimengerti bahwa umat Islam mempunyai semangat jihad yang disebutkan dalam resolusi, maka itu Takbir merupakan symbol verbal untuk memobilisasi massa, jadi Bung Tomo sangat tepat sekali dengan memakai komando umat Islam untuk bergerak, sekaligus untuk memberikan gambaran tujuan akhir dari perjuangan itu apa dan memberikan motivasi-servise pada perjuangan tersebut. Jadi pada pokoknya makna Takbir pada waktu itu sangat fungsional”. (Majalah Tebuireng 1986)

Baca juga:  Alquran dan Peradaban Nusantara

Selain itu, Takbir, Allāhu Akbar juga merupakan simbol peperangan Nabi Muhammad Saw. Takbir selalu dikumandangkan para pasukan Rasulullah dlam setiap peperangan kaum Islam. Maka wajar jika Kiai Hasyim sebagai seorang ulama ahli hadis yang profetik orientied menganjurkan Bung Tomo untuk menutup pidatonya dengan takbir. Kondisi kala itu tentara Indonesia masih memiliki persenjataan dan kendaraan tempur yang terbatas, begitu pula pasukannya masih didominasi oleh santri yang tidak terlatih secara militer. Mereka belum masuk dalam laskar Hizbullah maupun Sabilillah, terpaksa melawan tentara Inggris (NICA) dengan segala sumber daya yang menjanjikan kemenangan dalam pertempuran.

Kondisi tidak berimbang ini layaknya perang badar, yang hanya terdiri dari 313 prajurit dengan 8 senjata pedang, 70 unta, dan 2 ekor kuda. Sementara tentara Quraisy jumlahnya 1.000 lebih dengan persenjataan lengkap, yakni 600 pedang, 300 ekor kuda, dan 700 ekor unta. Perang Badar sendiri terjadi pada 17 Ramadan, berkat bantuan Allah swt, hasilnya dimenangkan oleh Rasulullah dan para pasukannya.

Kemenangan atas perang yang tak berimbang ini lantas dirayakan secara besar-besaran, sebagai bentuk syukur kepada Allah swt. Dari kemenangan inilah, muncul ungkapan “Minal ‘Aidin wa Faizin” yang versi lengkapnya, “Allahummaj ‘alna minal ‘aidin walfaizin”. Adapun artinya: “Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang kembali (dari Perang Badar) dan mendapatkan kemenangan”.

Baca juga:  28 Ramadan 120 Tahun Lampau, Kiai Sholeh Darat Wafat

Selain pada perang Badar, takbir juga termaktub dalam hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukari (2769) yang berkenaan dengan peristiwa peran Khaibar. Dalam perang tersebut Nabi Muhammad Saw berdoa dengan mengangkat kedua tangannya (اللَّهُ أَكْبَرُ خَرِبَتْ خَيْبَرُ), Allahu Akbar, hancurlah Khaibar. Dari semangat perjuangan Rasulullah dan para sahabatnya ini, takbir dianjurkan oleh Kiai Hasyim digunakan dalam perang 10 November, dengan harapan dalam perang yang juga tidak berimbang ini, pasukan Indonesia akan mendapatkan pertolongan dari Allah Swt, sebagaimana Allah memberikan pertolongan kepada pasukan Rasulullah.

Pertempuran yang tidak berimbang itu juga diisykalkan oleh KH. Munasir Ali, seorang komandan batalyon Condromowo dalam barisan laskar Hizbullah. Ia menuturkan: “Memang, seolah-olah tidak masuk akal. Saya sendiri, bila mengenang peristiwa itu, kadang-kadang tidak percaya, betapa waktu itu, bangsa ini bangkit dengan hanya besenjatakan bambu runcing, clurit dan semacamnya melawan, menghadang dan berusaha merebut senjata musuh yang sudah memiliki peralatan yang lengkap.

Ya. . . itulah mungkin hubungan dan pengaruh kuat resolusi jihad yang dicetuskan oleh para ulama terhadap keberanian pemuda dan laskyar-laskyar rakyat melawan musuh di pelbagai tempat, khususnya di Surabaya pada tanggal 10 Nopember, yang kini diperingati sebagai Hari Pahlawan. Apalagi ditambah dengan pekikan Allāhu Akbar oleh Bung Tomo yang menambah semangat, fighting spirit tinggi sekali” (Majalah Tebuireng 1986).

https://alif.id/read/maf/spiritualitas-resolusi-jihad-4-pekikan-takbir-b240503p/