Kiai Sahal Mahfudh (3): Kenangan Tujuh Tahun Saat Nyantri di Kajen

Selama tujuh tahun nyantri di Kajen, saya sangat jarang bertemu sosok KH. MA. Sahal Mahfudh atau Mbah Sahal. Hanya pada momen-momen tertentu yang membuat saya bisa ngalap barokah (tabarukan) langsung dengan cara mencium asta-nya. Pertama, saat selesai ngaji Ramadhan; kedua, saat ada acara peringatan hari besar di halaman madrasah; dan ketiga, saat prosesi musalsal, periwayatan sembilan hadis. Meski demikian, nama Mbah Sahal begitu melekat bagi siapa saja yang nyantri di Kajen, Pati.

“Mondok di mana?”

“Kajen.”

“Di Mbah Sahal?”

Begitu percakapan yang kerap terjadi. Bahkan sejak menjadi alumnus bertahun-tahun silam, nama Mbah Sahal masih selalu membersamai. Rasa-rasanya setiap santri begitu dekat dengan sosoknya yang bersahaja.

Padahal, di hari-hari mondok, saya merasakan jarak yang begitu lebar antara santri dan kiai. Tradisi unggah-ungguh yang berlaku di pesantren membuat kami cukup jauh dari sebutan ‘akrab’ dengan sosok kiai. Jika melihat seorang kiai hendak lewat, para santri sudah mematung puluhan meter dan tidak berani menatap sosoknya. Apalagi bagi saya yang nyantrinya bukan di pondok Maslakul Huda yang diasuh Mbah Sahal. Saya bahkan lebih sering mendengar tentangnya dari santri-santri yang mondok di sana. Dari cerita-cerita itulah saya mendapatkan banyak kepingan teladan hidup yang luar biasa. Terutama setelah kepingan itu saya gabungkan dengan pengalaman pasca lulus.

Baca juga:  Ulama Banjar (166): Drs. Muhammad Idris. HM

Oh, ya. Terdapat ratusan pondok pesantren dan beberapa lembaga pendidikan yang cukup besar dengan ribuan siswa-siswi di Desa Kajen. Menyebut santri Mbah Sahal bukan hanya identik dengan Maslakul Huda, namun juga ke lembaga pendidikan tradisional bernama Perguruan Islam Mathali’ul Falah atau Mathole’. Lembaga tersebut dipimpin oleh Mbah Sahal sejak usia muda hingga akhir hayatnya.

Mathole’ didirikan pada tahun 1912, jauh sebelum Indonesia merdeka. Sampai saat ini sekolahan kami tetap mempertahankan ketradisionalannya, di antaranya dengan membagi porsi pelajaran berbasis kitab kuning yang lebih banyak. Meski corak tradisional, kami mulai dikenalkan pada konsep-konsep yang menuntun kami siap hidup dalam kampung global (global village).

Saya mencontohkan dari pelajaran-pelajaran yang kami terima di sana. Pertama, manthiq (filsafat). Sejujurnya manthiq kurang saya sukai saat nyantri. Saya masih berpikir bahwa mengenal Aristoteles, Socrates, dan kanca-kancanya dalam bahasa Arab sangat tidak penting dan malah membingungkan. Buat apa sih filsafat? Di kelas lanjutan, kami dikenalkan dengan muqaranatul madzahib (perbandingan mazhab) yang membuat saya kebingungan tentang hukum najisnya anjing. Ternyata, hukum Islam tidak hitam putih. Ada ranah abu-abu dan perbedaan pandangan.

Rasa-rasanya semakin tinggi tingkat kelas, semakin bertambah bodoh saja. Ternyata, ada banyak hal yang belum diketahui. Belum lagi dengan pelajaran astronomi (ilmu falak) yang dipraktikkan secara langsung dengan meneropong bulan untuk melihat hilal. Ternyata, alam raya ini begitu luas dan kompleks.

Baca juga:  Ulama Banjar (88): KH. Anang Ramli HAQ

Setelah lulus sekolah, saya semakin mengagumi Mbah Sahal. Musababnya, saya membaca buku ‘Nuansa Fikih Sosial’ yang merupakan kumpulan pendapat-pendapat Mbah Sahal tentang aplikasi fikih di kehidupan sehari-hari. Jika saat sekolah saya benar-benar saklek melihat hukum fikih sebagai panduan ibadah dan muamalah ‘yang itu-itu saja’, fikih sosial justru menjawab persoalan-persoalan yang tidak ada di kitab kuning klasik. Fikih benar-benar dihadirkan untuk menjawab berbagai persoalan masyarakat. Membumi.

Ada juga cerita yang beberapa kali saya dengar dari KH. Muadz Thohir Kajen. Suatu ketika, Yi Muadz membeli buku parenting di bandara. Buku-buku yang dijual di bandara biasanya buku-buku terkini. Nah, ia ingin punya bahan diskusi dengan Mbah Sahal. Setelah membaca buku tersebut, Yi Muadz pun bertamu ke kediaman Mbah Sahal.

Yi Muadz mulai memancing perbincangan terkait konsep parenting. Mbah Sahal justru menanyakan, konsep Islam atau ‘umum’. Saat menjelaskan konsep umum itulah Yi Muadz terperangah karena Mbah Sahal menyarankan untuk membaca sebuah buku. Buku yang disebut adalah buku yang dibeli oleh Yi Muadz di bandara beberapa waktu sebelum sowan.

Siap dengan pergaulan global dengan tetap berpegang teguh pada akar tradisional inilah yang saya rasakan selalu diajarkan oleh Mbah Sahal. Kita boleh berpenampilan sederhana, namun pikiran dan pandangan kita semestinya tidak dibatasi oleh kemampuan mata memandang. Mbah Sahal, seorang kiai kampung yang dulunya saya kenal begitu sederhana, pun ternyata begitu mendunia lewat pemikiran dan karya-karyanya yang dikaji di berbagai kampus ternama.

Baca juga:  Ulama Banjar (122): Prof. H. Basran Noor

Sejujurnya, saya cukup gelo (menyesal) karena belum pernah mendapat kesempatan berbincang langsung dengannya. Hingga saat ini pun, saya masih sering memimpikan mendapat kesempatan bertanya-tanya pada Mbah Sahal. Curhat tentang apapun. Namun, beliau sudah kapundut beberapa tahun lalu. Satu-satunya cara untuk ‘berkomunikasi’ dengannya adalah dengan melaksanakan wasiatnya pada para santri saat prosesi musalsal: “Hadiahkanlah surat Al-Fatihah untuk guru-gurumu.”

Untuk Mbah Sahal dan semua guru-guru kita, Al-Fatihah.

https://alif.id/read/sarjoko-wahid/kiai-sahal-mahfudh-3-kenangan-tujuh-tahun-saat-nyantri-di-kajen-b240552p/