Agar tidak terlalu “spaneng” dan serius, saya akan menulis selingan sebelum melanjutkan serial tulisan tentang al-Ghazali yang dituduh sebagai sumber kemunduran dunia Islam. Saya sendiri, setelah menulis dua seri tulisan sebelumnya, agak sedikit kelelahan dan butuh “break” sebentar. Sebagai selingan, saya akan menulis hal yang ringan. Walau selingan, tulisan ini masih ada kaitannya dengan tema sebelumnya, meski tidak langsung; tema anak-anak cucu al-Ghazali. Selingan ini akan mengulas dua model keislaman di Indonesia dalam dua dekade terakhir: “model salawat” dan “model takbir”.
Beberapa hari yang lalu, saya diundang untuk menghadiri perayaan Maulid Nabi Muhammad dan sekaligus syukuran ulang tahun Maulana Fahd Muhammad, seseorang yang saya hormati sebagai sosok bijak yang bercahaya. Dia adalah mursyid tarekat Naqsyabandiyah dan salah satu murid dari Syaikh Hisham Kabbani di Indonesia. Maulana Fahd tinggal di kawasan Pondok Gede, tidak terlalu jauh dari rumah saya di kawasan Jatibening. Ritual maulidan yang saya hadiri malam itu banyak membawa pencerahan spiritual bagi saya. Ada pembacaan maulid “Simth al-Durar” yang dimpimpin oleh kawan saya, Kiai Muhammad Akrom Solihin. Ada grup musik sufi yang memainkan lagu-lagu “mistikal” yang amat indah. Mengikuti acara itu selama lebih dari dua jam, saya merasa bahwa agama tidak bisa sekedar dihayati sebagai “kegiatan olah otak”. Agama harus pula dihayati sebagai keindahan dalam bentuk lagu, musik, tarian. Kebetulan, malam itu diperagakan pula tarian sufi ala Tarekat Maulawiyah — tarekat yang berasal dari ajaran-ajarannya Mualan Rumi. Tarian yang biasa disebut sebagai “whirling dervish” — tarian darwis yang berputar.
Malam itu, meski eggan (karena saya datang untuk niat utama: “tenggelam” dalam kesakralan perayaan Maulid), saya diminta untuk memberikan sambutan satu dua patah kata. Saya terpaksa meng-iya-kan permintaan itu. Akhirnya saya menyampaikan sambutan yang tidak sekedar sepatah-dua patah kata; melainkan berpatah-patah kalimat. Ini kebiasaan “buruk” para penceramah: kalau sudah pegang mic, lupa berhenti. Seorang teman pernah berseloroh, “Jika ada penceramah berkata ‘terakhir,’ jangan percaya itu kalimat terakhir; yang terakhir itu kerap masih panjang.” Saya kira kawan itu benar. Saya sendiri sering melakukannya.
Dalam sambutan itu, saya menyampaikan hal yang sederhana berikut ini. Di Indonesia, secara garis besar, ada dua praktek keagamaan yang menonjol. Yang pertama, praksis keagamaan berbasis salawat; yang kedua, takbir. Masing-masing model keberagamaan ini, menurut saya, mewakili semacam “mode of being muslim”, cara tertentu untuk menjadi seorang muslim. Menjadi seorang muslim, tentu saja, isa dijalani dengan berbagai cara; ada pelbagai ragam modalitas. Ini hal yang wajar. Sejak dulu ya begitu: ada banyak jalan dan cara untuk mengungkapkan praksis keberagamaan. Dalam sejarah Islam, kita kenal banyak mazhab dan kelompok. Di Indonesia, dalam sepuluh hingga dua puluh terakhir ini (persisnya setelah era reformasi), kita melihat pula keragaman model keagaman. Sekurang-kurangnya ada dua model keislaman yang pelan-pelan mengkristal. Saya, untuk gampangnya saja, menyebutnya sebagai “model salawat” dan “model takbir.”
Masing-masing model ini memiliki pengikutnya masing-masing. Ada umat dan jamaah dengan corak yang khas yang mempraktekkan masing-masing model itu. Kedua model itu membentuk semacam “galaksi”-nya masing-masing, dengan ciri-ciri tertentu pula. Saya amat yakin, teman-teman yang akrab dengan praktek keislaman di Indonesia dalam dua tahun terakhir ini, pastilah akan mengerti benar siapa kalangan yang mempraktekkan masing-masing model itu. Saya, di sini, hanya “mengeksplisitkan” sesuatu yang sudah diketahui, atau bahkan dialami langsung oleh banyak orang.
Model salawat umumnya dominan di kalangan komunitas nahdliyyin dan para “muhibbin” atau pecinta para habaib (yaitu orang-orang yang dianggap/diyakini sebagai keturunan Kanjeng Nabi Muhammad). Para pengikut model salawat ini umumnya adalah “fan” atau penggemar berat kaset-kaset (Ya Allah, kok kaset sih; jadul banget!) salawat yang didendangkan oleh Habib Abdul Qodir Assegaf dari Solo, atau lebih dikenal sebagai Habib Syech. Salawat yang didendangkan oleh Bib Syech memang amat indah. Saya sangat menikmatinya. Dia sudah membentuk “genre kesenian” sendiri yang unik. Salawatan ala Bib Syech ini juga telah membentuk semacam lingkaran jamaah tersendiri yang unik. Anda bisa menikmati salawatan ala Habib Syech ini di Youtube.
Tetapi ritual salawat bukanlah sesuatu yang baru. Ia adalah praktek keagamaan yang sudah ada dan berkembang di kalangan nahdliyyin atau umat Islam di kawasan nusantara sejak berabad-abad. Bisa dipastikan bahwa komunitas muslim yang mempraktekkan tradisi salawat ini juga sekaligus mereka yang akrab dengan, bahkan mempraktekkan tradisi tarekat. Karena itu, sufisme atau tradisi mistik/kerohanian sangat kuat mempengaruhi model keberagamaan berbasis salawat ini. Karena Islam masuk ke Indonesia, antara lain, melalu para guru sufi dari Persia dan India, tidak heran jika tradisi salawat ini sudah berkembang selama berabad-abad di nusantara, dan mengakar di sana. Kita tidak akan bisa memahami “inti” keberagamaan umat Islam di nusantara jika tidak memahami pula tradisi salawat.
Salawat artinya doa yang “dipunjungkan” kepada Kanjeng Nabi Muhammad. Di kalangan sarjana ahli Islam di Barat, praktek ini biasa digambarkan sebagai bentuk “Islamic piety”, kesalehan khas model Islam. Salah satu bacaan menarik yang merekam tradisi salawat yang dikaitkan dengan penghormatan pada Nabi Muhammad ini adalah sebuah buku yang ditulis sarjana besar perempuan dari Jerman, Annemarie Schimmel (1922-2003), berjudul: “And Muhammad Is His Messenger: The Veneration of the Prophet in Islamic Piety” (1985).
Buku Schimmel itu merekam dengan amat baik ritual penghormatan kepada Kanjeng Nabi Muhammad di pelbagai belahan dunia Islam, entah berupa pembacaan barzanji (sejarah Nabi yang digubah dalam bentuk puisi atau prosa yang indah), puisi-puisi atau kasidah pujian (seperti Burdah), ziarah, atau pembacaan salawat. Karena itu, salawat bisa kita sebut sebagai ritual penting yang menandai “kesalehan yang diperagakan” secara publik. Sebab, meskipun ada salawat yang dbaca secara individual dalam ruang yang sunyi (sebagai bentuk meditasi atau “munajat”), praktek yang menarik adalah salawat yang dinyanyikan secara kolektif dan massal dalam sebuah festival dan perayaan yang amat menggugah. Orang-orang yang terlibat dalam praktek salawat semacam ini bisa mencapai keadaan “mabuk”, “trance”, tenggelam “total” dalam kesyahduan “musikal” yang ditimbulkan oleh keindahan salawat.
Ada banyak jenis salawat yang berkembang luas di kalangan umat. Ada “Salawat Thibb al-Qulub” (salawat untuk kesembuhan badan “alus” dan “badan kasar”), salawat yang populer di masa pandemi saat ini. Ada “Salawat al-Fatih” yang populer di kalangan para pengikut Tarekat Tijaniyah. Ada salawat yang dibaca sebagai ritual harian, kadang dibarengi dengan ritual puasa selama bertahun-tahun, yaitu salawat yang terkumpul dalam sebuah “buku litani” bernama “Dala’il al-Khairat”. Secara literer atau kesastraan, hampir semua jenis salawat yang ada itu ditulis dengan amat indah. Saya nyaris meyakini bahwa salawat ini tidak mungkin ditulis kecuali oleh orang-orang yang telah mengalami momen “mabuk spiritual’. Salawat yang populer di kalangan komunitas muslim saat ini jelas tidak bisa ditulis oleh “orang biasa” yang tidak pernah tenggelam dalam pengalaman “mystical”. Saya yakin akan hal itu.
Ada salawat yang sering dibaca untuk situasi genting dan gawat, yaitu “Salawat Nariyah” (Salawat Api). Ada pula salawat yang berasal dari bait-bait Burdah gubahan al-Bushiri (w. 1924), seorang penyair-sufi asal al-Jazair dan merupakan pengikut tarekat Syadziliyah. Salawat ini kerap dipakai oleh para penceramah di kampung-kampung untuk menyemangati audiens yang sudah “ngantuk”. Salawat itu dimulai dengan bait ini: “Maulaya salli wa sallim da’iman abadan.’ Begitu seorang penceramah mendendangkan bait ini, para hadirin dan hadirat yang semula “liyer-liyer-ngantuk” akan sontak bangkit, “gumregah”, dan secara bersama-sama menyanyikan salawat ini. Indah sekali.
Saking dominannya tradisi salawat ini, jika ada warga nahdliyyin terlibat dalam demonstrasi atau protes (kejadian yang memang agak langka), mereka pun akan menyanyikan salawat. Biasanya, salawat yang pas untuk “situasi panas” semacam itu adalah Salawat Badar. Salawat ini biasa dinyanyikan dengan nada mars yang membangkitkan semangat perlawanan. Ini akan berbeda dengan kelompok lain yang akan memakai “takbir” ketimbang salawat untuk membangkitkan semangat. Lebih jauh tentang model takbir akan saya ulas di bawah. Hanya dalam situasi yang amat-amat khusus sahaja, komunitas nahdliyyin akan meneriakan takbir; misalnya, momen Resolusi Jihad melawan Belanda pada 1945. Di luar momen ini, warga NU lebih gemar menyanyikan salawat yang, secara de facto, memang lebih menebarkan rasa nyaman dan “adem”; bukan rasa takut dan “teror”.
Ada fungsi lain dari salawat, dan hal ini hanya diketakui oleh jamaah nahdliyyin: yaitu untuk membubarkan pertemuan. Saat hajatan berlangsung, misalnya tahlilan, dan tuan rumah sudah selesai menyuguhkan makanan dan suguhan yang lain, termasuk “udud”, sementarapara hadirin sudah tak sabar untuk segera pulang, menikmati “berkat” (makanan yang biasa dibagikan dalam ritual tahlilan dan semacamnya), salah seorang yang hadir biasanya akan berteriak keras: Shallu ‘alan Nabiiii… Lalu bubarlah para hadirin. Di kalangan warga nahdlyyin, karena itu, sering ada seloroh: Jika mau membubarkan warga NU, gampang saja; bacakan salawat. Saya biasanya akan menimpali seloroh ini dengan seloroh lain: Jangan salah, salawat yang membikin bubar warga NU itu bukan sembarang salawat; hanya salawat yang dibarengi “berkat” yang punya kekuatan membubarkan.
Model salawat ini jelas merupakan ritual yang dominan di kalangan anak-anak cucu al-Ghazali. Meskipun ini tidak berarti bahwa kalangan lain di luar mereka tidak mempraktekkan salawat. Sama sekali tidak. Sebab salawat adalah ajaran yang dipraktekkan oleh semua umat Islam dari mazhab apapun. Akan tetapi, hanya di kalangan muslim tradisional pengikut al-Ghazali lah ritual ini dipraktekkan dengan cara khusus dan menjadi “cultural marker” atau penanda budaya yang menonjol.
Naaah, yang menarik, dalam perkembangan belakangan, muncul model keberagamaan lain yang berbeda sama sekali. Model ini lahir dalam dua dekade terakhir setelah Indonesia memasuki era kebebasan pasca-reformasi. Model ini saya sebut sebagai “model takbir”. Biasanya jamaah yang mempraktekkan model ini berasal dari kalangan umat Islam tertentu, dengan ciri khas pemahaman keagamaan tertentu pula. Salah satu penanda yang menojol di kalangan jamaah ini ialah: mereka gemar meneriakkan takbir dengan keras, entah dalam pertemuan-pertemuan keagamaan, protes di jalanan, atau aksi menyerang rumah ibadah kelompok lain yang berbeda (misalnya Ahmadiyah). Dalam sejarah umat Islam yang panjang di nusantara, model takbir ini merupakan “inovasi baru” yang muncul belakangan. Kemunculannya jelas tidak bisa dipisahkan dari dinamika dan evolusi umat Islam pasca-reformasi. Salah satu perkembangan penting pasca-reformasi yang menonjol adalah munculnya “gerakan-gerakan Islam baru” yang mengenalkan “model komunikasi” yang berbeda, bahasa yang juga khas: bahasa yang cenderung keras dan agresif. Kelompok-kelompok yang menjadikan ide jihad sebagai fokus dakwah, misalnya, cenderung memakai model takbir ini, ketimbang model salawat.
Karena lekatnya model takbir ini dengan kelompok-kelompok Islam revivalis, atau bahkan jihadis, tak pelak lagi muncul “stereotype” yang buruk mengenai “takbir”, dan ini jelasamat disayangkan. Takbir (yaitu ucapan “Allahu Akbar”, Tuhan Maha Besar) jelas sesuatu yang sakral di mata umat Islam. Ia adalah kalimat yang selalu dibaca sebagai pembuka ritual salat/sembahyang oleh semua umat Islam. Tetapi, oleh karena kerap dipakai oleh kelompok-kelompok tertentu untuk melakukan aksi-aksi intoleran, kalimat takbir itu kemudian memiliki konotasi buruk. Takbir, dalam imajinasi sebagian kalangan, malah justru identik dengan model keberagamaan yang keras dan agresif. Saya menduga bahwa kalangan yang gemar meneriakkan takbir ini bukanlah mereka yang gemar mengkaji ajaran-ajaran al-Ghazali. Mereka adalah kalangan yang cenderung mengikuti visi keislaman yang non-Ghazalian.
Dalam ceramah malam itu, saya menegaskan bahwa secara empiris model keberagamaan berbasis salawat lebih mendatangkan suasana damai dan ketenteraman. Secara empirik, kalangan umat Islam di Indonesia yang paling gigih membela ide-ide toleransi, menghargai hak-hak minoritas untuk mengamalkan keyakinan mereka, dan toleran terhadap kebudayaan lokal, biasanya berasa dari jamaah yang mempraktekkan model salawat.
Contoh sederhana adalah ini. Setiap momen Natal tiba, biasanya barisan Banser ikut menjaga gereja. Tugas pengamanan gereja jelas ada pada polisi. Tetapi kehadiran Banser jelas memiliki “makna simbolik” yang penting — simbol persaudaraan antar-agama, simbol persaudaraan “wathaniyyah” atau kebangsaan. Dan anda tentu tahu, siapa Banser itu. Mereka adalah para pecinta salawat. Mereka juga sekaligus anak-cucu al-Ghazali dalam konteks Indonesia.
Karena itu, saya cenderung mengatakan bahwa salawat, meski dikritik oleh sebagian kalangan Islam sebagai ritual yang mengandung banyak bid’ah, memiliki “daya suwuk” atau kemampuan yang nyaris “magical”. Jika kita melihat pengalaman Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini, jelas sekali bahwa ritual salawat ini telah membawa “berkah kebangsaan” yang luar biasa. Berkat salawat ini lah, saya kira, keragaman di Indonesia dirawat. Sebab, umat yang mengamalkan salawat ini umumnya memiliki sikap keberagamaan yang cenderung lebih toleran, lebih bisa bersahabat dengan kebudayaan lokal yang bertebaran di nusantara.
Sekian.