Laduni.ID, Jakarta – Bila anda menanyakan pertanyaan ini pada pembaca buku yang hanya mengenal fikih sebatas kulit-kulitnya, seperti buku-buku pengantar studi islam misalnya, maka kemungkinan besar akan dijawab, ya, fikih perlu berubah bahkan perubahan itu adalah sebuah keniscayaan yang harus dilakukan.
Namun bila anda menanyakan pertanyaan yang sama pada orang yang betul-betul menggeluti fikih dan paham kaidah serta ushulnya, maka jawabannya adalah, tidak, fikih tidak perlu berubah dan memang tidak boleh diubah.
Yang harus berubah sebagai keniscayaan pergantian masa dan tempat bukanlah fikih, tapi putusan fatwa terhadap kasus spesifik. Fikihnya tetap seperti sedia kala, namun di ranah fatwa harus selalu dikontekstualisasi. Apa beda keduanya? Begini contohnya:
Fikih mengatakan bahwa hukum makan babi dalam keadaan normal adalah haram. Ini sampai kiamat tidak akan berubah. Yang berubah adalah ketika ada orang yang kelaparan di tengah hutan menelepon seorang mufti apakah boleh dia memakan babi karena tidak ada makanan lain saat itu baginya? Sang Mufti akan menjawab boleh, apabila diketahui bahwa unsur darurat terpenuhi. Di lain waktu Sang Mufti akan menjawab tidak boleh apabila dia merasa unsur darurat sudah tidak terpenuhi.
Demikian pula misalnya ada temuan sains yang menurut kajian para ahli dianggap berbahaya, maka para fukaha akan mengeluarkan hukum haram pada temuan tersebut. Akan tetapi ketika seiring masa ditemukan solusi untuk menghilangkan efek bahayanya sedangkan di sisi lain temuan itu diperlukan, maka hukum haram itu harus direvisi dengan fatwa tidak haram. Meski terlihat keputusannya berubah, namun aturan fikih bahwa kemudaratan wajib dihilangkan tidaklah berubah dan tidak boleh diubah.
Perubahan putusan hukum sesuai konteks dan kondisi seperti ini dalam istilah yang dikenal para fukaha disebut sebagai taghayyur al-ahkam. Adapun istilah perubahan fikih atau taghayyur al-Fiqh sama sekali tidak dikenal dan tidak pernah digunakan sebab nilai-nilai fikih sudah paten. Yang musti berubah hanyalah sisi implementasinya dalam menyesuaikan dengan realita spesifik, dan ini bukan ranah fikih tetapi ranah fatwa.
Semoga bermanfaat
Oleh: Kiai Abdul Wahab Ahmad
Editor: Daniel Simatupang