Membaca Nisan Makam Kuno (2): Ngijing Mengingat Leluhur

Terkait dengan tanaman yang tumbuh menyertai sebuah nisan atau makam di sebuah wilayah pasarean sepertinya bukan hal yang sepele, hal ini bukan urusan mendramatisir dan sebagainya, tetapi sebuah pesan dan keilmuan yang dapat dibaca dan digali.

Seperti lumut, kupu-kupu, kunang-kunang, macan atau bahkan lebah tentu memiliki makna. Berangkat dari hal kecil saja. Mengapa saya dapat menyimpulkan demikian, sebab pernah mendengar ketika kita ziaroh ke leluhur kita atau ke makam manapun kalau ada rumput liar katakanlah dan beranjak ingin mencabutnya jangan sampai melupakan dan kalau bisa dibiasakan membaca asma Gusti, entah tasbih, tahmid, dan kalimah thoyyibah lainnya akan lebih baik lagi dengan ditambah bersholawat sebisanya.

Dengan lambaran bacaan tasbih sampai sholawat menyelingi jari-jari mencabut rumput yang tumbuh diantara makam adalah sebagai pengganti dan selingan ketika rumput itu tercabut maka harapan selanjutnya atas tumbuhnya rumput yang baru di kemudian hari selalu bersholawat kepada Kanjeng nabi, dan selalu merapal dan berdzikir kepada Gusti Allah tentunya.

Sebagaimana nisan pada makam adalah tanda atau pathok yang menunjukkan bukti sejarah dari masa ke masa untuk anak cucu. Makam dan nisan adalah pengingat bagi mereka yang hidup.

Lantas bagaimana strategi agar kuburan tidak hilang atau rata dengan tanah? Tempo dulu, sebelum mengenal nisan untuk menandai kuburan supaya tidak hilang, sekaligus membubuhkan nama jenazah bersangkutan. Agar kuburan tidak ditumpuk oleh orang lain maupun lenyap di kemudian hari, cukup diberi penanda batu hitam sederhana atau kijing.

Baca juga:  Kisah Al-Farra’ Menjawab Persoalan Fikih dengan Ilmu Bahasa

Bahkan sampai ada istilah kalau mau pasang kijing, ngijing, ada yang menyebutnya nyandi. Ngijing berasal dari kata kijing (nisan), sedangka ngijing berarti pemasangan kijing (nisan). Tradisi ngijing pada upacara Selamatan Nyewu merupakan tradisi turun temurun yang diwariskan leluhur yang dilaksanakan di pemakaman setempat. Nyewu adalah memperingati seribu hari atas meninggalnya sahibul makam.

Pemasangan stupa kijing dimulai dari stupa kepala dengan di sertai kalimat doa, inti dari doa tersebut berisi tentang permohonan keselamatan almarhum di akhirat dan mohon akan bimbingannya di akhirat kelak. Selanjutnya, stupa kaki di pasang, maka lengkaplah proses pelaksanaan tradisi ngijing pada upacara selamatan nyewu. Sebelumnya pun diadakan umbul dungo merapal dan melangitkan doa, atau khataman Al-Qur’an, tahlilan serta yasinan. Ini adalah bentuk dari kemampuan adaptasi kultural yang dimiliki oleh masyarakat setempat untuk mempertahankan nilai-nilai luhur yang melekat dalam ritualitas kebudayaan masyarakat Jawa.

Leluhur kita memandang kuburan bukan sekadar gundukan tanah dan tempat menimbun orang mati. Apabila kuburan dianggap sepele, tidak mungkin para cendekiawan Jawa masa lampau meneteskan sinonim kuburan lebih dari lima, antara lain kramatan, makaman, hastana, stana, pasarean, dan jaratan.

Pada dasarnya kuburan komplit dengan nisan maupun kijing bukan sekadar penanda identitas dan status sosial orang yang dikubur, tapi juga bentuk penghormatan manusia yang hidup kepada mereka yang telah meninggal. Ritual nyadran, memebrsihkan makam  bukanlah ajang hura-hura atau berbau klenik, namun mengingatkan akan kematian dan memposisikan kuburan sebagai bukti sejarah. kuburan dan batu nisan mampu meronce tali sejarah keluarga agar tidak terhapus dalam ingatan generasi sesudahnya.

Baca juga:  Alexander, Hidup di Antara Anak Panah

Kalau pun ada pandangan bahwa nisan atau kijing yang menyerupai bagian bangunan candi adalah situs multiconponent, dimana garis besarnya adalah situs yang dimanfaatkan sepanjang waktu meskipun aspek dimensi waktu budaya sudah berubah.

Misalnya pada jaman pra-hindu sudah difungsikan, tempat tersebut dimanfaatkan lagi di masa berikutnya. Situs masa klasik dimanfaatkan lagi ketika masa Islam. Perubahan waktu dan fungsi akan menyebabkan perubahan bentuk.

Pandangan seperti kutipan diatas ya monggo, dan boleh saja tetapi yang perlu menjadi pengingat dalam diri bahwa setiap desa atau dusun, memiliki makamnya, maupun punden sendiri, dengan struktur, susunan, bentuk nisan yang khas. Dimana terkadang terletak di belakang masjid, atau di pinggir desa atau pula di tengah desa, entah dimana pun letaknya.

Pada dasarnya makam sebenarnya ada di hati. Makam lah yang menautkan dan menjadi benang yang terkait para perantau dengan desanya. Ia mungkin tak menengok tanah ladang atau sawah atau rumah yang terjual. Tetapi tetap akan ke makam leluhurnya yang bersemayam. Wallahu a’lam bisshowab. Linnabi lahul fatihah..

https://alif.id/read/mukhamad-khusni-mutoyyib/membaca-nisan-makam-kuno-2-ngijing-mengingat-leluhur-b241068p/