Oleh Nurani Soyomukti, Komisioner KPU Kabupaten Trenggalek
“Kenapa kok rakyat tidak bisa mencalonkan sendiri calonnya, tapi hanya disuguhi calon yang diusung oleh partai politik?”— beberapa kali saya mendapatkan pertanyaan seperti itu. Bagi saya pertanyaan itu akan membawa kembali pada diskusi yang bertema “Demokrasi Substansial” dan “Demokrasi Prosedural”?
Mungkinkah demokrasi tanpa ada prosedurnya? Mungkinkan demokrasi tanpa ada “blangkrah-blangkrah” administrasinya? Sedangkan ini adalah negara hukum, yang untuk menilai sesuatu butuh bukti dan jejak administrasi, serta butuh prosedur untuk menunjukkan sebuah keabsahan dari suatu eksistensi.
Apakah mereka yang kemudian (ditetapkan) menjadi calon adalah sembarang orang atau kelompok begitu saja? Kalau tidak diseleksi dalam suatu kualifikasi dan prosedur dan dibingkai dalam administrasi, ya bagaimana jadinya? Misal, semua orang bisa mencalonkan dan tiap kelompok bisa menjadi alat politik yang berkontestasi begitu?
Apa tidak ruwet? Misalnya tiap orang ingin wajahnya dipampang di surat suara? Atau tiap kelompok ingin juga hal yang sama? Bukankah ini kaitannya dengan suat-surat suara, kertas-kertas, kegiatan-kegiatan, dan segala tetek-mbengek administrasi yang dilegalkan oleh negara? Kan tetap saja pakai prosedur, dan prosedur ini harus diatur!!! Lalu bagaimana jika demokrasi dilaksanakan tanpa aturan dan prosedur?
Lalu ada ungkapan, “Ya okelah prosedural, tapi prosesnya mbok memudahkan, demokratis, dan tidak memberatkan bagi yang ingin mencalonkan!”
Oke, disepakati dulu ya. Prosedur dan teknis itu dasarnya aturan ya. Aturan yang membuat siapa. Baiklah, sekarang perjuangan menguubah aturan bagaimana? Itu ada mekanisme dan prosedur tersendiri. Kebetulan kami (baca: KPU) adalah pelaksana, bukan pembuat aturan. Aturan dasarnya undang-undang, tak boleh melenceng dari itu. Kami tak punya tugas dan wewenang untuk merubah undang-undang.
“Kok semuanya kembalinya ke prosedur lagi sich!”, masih ada komentar begitu.
Ya bagaimana lagi, kalau tidak ada aturan dan prosedur, orang akan berbuat seenaknya. Nah, kalau aturannya yang perlu diperbaiki, bisa kok. Ya memang namanya mau merubah sesuatu—memperjuangkan sesuatu itu—butuh membangun kekuatan, butuh pikiran cerdas, tidak grusah-grusuh, tidak bisa sendiri. Ya mengorganisirlah kekuatan, agar opini yang dipercaya dan diyakini lebih baik bisa terwujud. Lalu menekan pembuat undang-undang, atau bikin judicial review kalau memang merasa ada pasal-pasal yang dianggap salah dan nggak benar.
Memang harus diakui, proses menuju pencalonan itu berat. Mendirikan partai juga berat. Bahkan kemudian, dalam upaya mencalonkan calon wakil dan mecalonkan diri sebagai calon wakil dalam Pemilihan, baik Partai Politik, DPD, hingga calon perseorangan Kepala Daerah harus melampaui prosedur yang sama-sama berat. Partai politik memang langsung mencari calon-calon yang akan disuguhkan sebagai wakil rakyatnya begitu ia sudah menjadi peserta Pemilu.
Sedangkan calon perseorangan mesti melalui prosedur mengirimkan sekian ribu bukti dukungan (misal salinan e-KTP). Bukan berarti calon perseorangan lebih berat daripada parpol. Sebab, perlu diingat bahwa sebelum menjadi peserta Pemilu, untuk lolos jadi peserta itu Parpol ini juga melakukan hal yang sama ketika daftar sebagai partai peserta Pemilu. Bahkan sebelum ia berdiri sebagai partai yang sah di Kementerian Hukum dan HAM, ia juga harus melalui prosedur yang tidak mudah.
Jadi, pertanyaan tentang kenapa calon “wakil rakyat” yang disuguhkan ke kita, bukan kita yang mencalonkan, apalagi marah karena yang mencalonkan kok partai dan bukan kita (wakil partai atau wakil kita), sudah terjawab di sini dan sebelumnya. Intinya mereka punya hak karena mereka telah melampaui sekian prosedur dan tahapan sebagamana hal itu harus dilakukan dengan memenuhi persyaratan-persyaratan.
Jadi jika mereka yang diberi hak untuk mencalonkan, misalnya kita merujuk pada partai-partai sebagai pengusung calon, ya karena memang mereka inilah yang dianggap sebagai organisasi peserta Pemilu. Tidak bisakah jika tidak seperti itu? Ya, sekali lagi, bisa asalkan sistemnya diubah. Caranya mengubah dasarnya (Undang-Undangnya, atau mungkin undang-undang dasarnya?)
Tetapi untuk mengubah undang-undang, yang mampu, lagi-lagi adalah yang ada di Senayan. Jadi, pilihannya kita menjadi “wakil rakyat” dan memiliki “wakil rakyat” yang jumlahnya banyak agar bisa membahas dan memenangkannya di DPR RI. Atau kalau tidak, bisa lewat wadah, misal LSM yang punya kajian akademik dan tuntutan untuk mempengaruhi agar perubahan sistem bisa dilakukan, termasuk dengan cara menuntut dengan pengerahan massa.
Tapi jika masalahnya tidak puas dengan sistem seperti itu, yaitu merasa tidak ada wakil atau calon wakil yang bisa mewakili, termasuk yang dari partai politik dan perseorangan, ya setidaknya ada beberapa cara. Pertama, dengan asumsi bahwa kita bisa melakukan tekanan atau mempengaruhi kekuasaan (baik legeslatif maupun eksekutif) dengan cara lain, maka kita tetap bisa berbicara sendiri atau berbicara bersama-sama agar tuntutan kita tercapai.
Kedua, bisa saja kita “ngambek” atau tak peduli dengan politik, tak peduli dengan Pemilu, karena mengecewakan. Lalu Golput. Tapi saya tetap melihat sikap ini tak ada gunanya, juga tak layak diajarkan pula pada siapa pun. Saya bilang begini bukan karena saya dibayar untuk mengajak orang memilih.. Hehehe… tapi karena melihat sikap seperti itu memang tak ada gunanya. Eh, maksudnya ada gunanya sich… tapi mungkin untuk diri sendiri.
Menganggap bahwa Pemilu tak ada gunanya atau tak ada pengaruhnya dengan nasib kamu, mungkin karena ada atau tidak Pemilu kamu juga tetap bisa jualan di pasar, tetap bisa kerja, tetap bisa makan dan hidup bahagia, juga bisa saja. Seberapapun perolehan suaranya tetap sah. Tapi itu mungkin soal nasibmu sendiri.
Sedangkan bagi kami yang berharap bahwa momentum politik bisa kita jadikan untuk berpartisipasi aktif untuk mencalonkan pemimpin dan wakil rakyat yang baik yang bisa diajak bicara (karena memang mereka harus diajak bicara) dan tempat kita menyampaikan tuntutan dan aspirasi, baik aspirasi terkait nasib material (ekonomi) atau aspirasi ideologis, Pemilu tetap merupakan suatu hal yang harus ada dan penting.
Memang ada orang yang sudah merasa mandiri secara ekonomi, yang merasa nasibnya tak akan berpengaruh apa-apa dengan ada atau tidaknya pemilu, lalu mereka merasa tak ada pula yang akan mewakili aspirasinya—atau bahkan orang yang tak punya aspirasi untuk disampaikan, atau merasa bisa menyampaikan aspirasi tanpa pengaruh ada tidaknya Pemilu—dan kemudian tidak memilih (Golput).
Tapi bagi yang ikut Pemilu, tentu saja merasa ada harapan dalam Pemilu ini. Harapan rendah dan terjeleknya adalah memilih agar dapat “amlop” dan ini sebagai budaya yang buruk dalam Pemilu yang harus terus diperangi. Ada juga yang memang merasa Pemilu sebagai sarana untuk mencari Pemimpin dan “wakil” yang bisa memperjuangkan aspirasi mereka.
Ada pula yang menjadi orang yang ingin partisipasi penuh, baik dalam Pemilu maupun di luar Pemilu. Pemilu dianggap sebagai sarana dan kesempatan untuk menaikkan orang-orang baik. Lalu setelah Pemilu mereka juga akan mengawal orang-orang yang sudah duduk di kursi kekuasaan, di mana kekuasaan ini harus ditata sedemikian rupa.
Orang yang melihat bahwa Pemilu tiap lima tahun sekali sebagai kesempatan untuk memperbaiki keadaan ini akan ikut berbangga jika mereka terlibat untuk meningkatkan kualitas Pemilu. Mereka mengajari orang untuk bersikap optimis terhadap segala situasi dan keadaan, percaya pada potensi-potensi bahwa orang tetap bisa didorong untuk menjadi baik. Bukan orang-orang sok suci yang merasa jijik ketika berinteraksi dengan kekuasaan dan orang-orang yang punya akses pada kekuasaan atau yang malah mengatur kekuasaan itu sendiri.
Orang-orang sok suci ini bisa jadi menilai bahwa setiap upaya untuk mendekat pada kekuasaan dan sumber-sumber potensial untuk bisa berperan adalah bentuk kegiatan “menjilat”. Mereka tak akan peduli pada bentuk komunikasi apapun, pokok setiap ada upaya orang berubungan dengan kekuasaan akan mereka cap sebagai orang menjijikkan karena selalu dicap “penjilat”.
Lalu apa yang bisa dihasilkan orang sok susi sejenis ini? Salah satunya adalah bahwa mereka tak akan terus curiga pada bentuk kekuasaan, mereka hanya menjaga jarak untuk pura-pura mengritik agar kelihatan citranya sebagai orang yang menjaga diri dari orang-orang yang dianggapnya sudah kotor. Tapi bisa jadi orang semacam ini juga hanya memainkan citra diri untuk mencari hiburan diri bahwa dirinya yang paling suci.
Orang yang merasa paling suci merasa tak bisa diwakili oleh orang yang sudah dicapnya kotor. Merasa tidak mau bekerjasama dengan orang-orang yang dianggap kotor. Tidak mau bertemu, atau mungkin mau bertemu tapi secara diam-diam karena terlanjur malu kalau ketahuan berhubungan dengan orang yang terlanjur dianggapnya kotor.
Dalam konsepsi perubahan dan idealisme untuk mengubah keadaan. Watak semacam itu tak pernah bisa diandalkan sama sekali. Dalam sebuah komunitas gerakan, watak seperti itu kadang juga membawa problem. Karena kadang ia bukan hanya merasa jijik dengan kekuasaan, tapi juga merasa jijik dengan teman-teman di komunitasnya. Ia akan menyerang semua orang yang dianggapnya tidak cocok.
Dan sikap seperti ini, dari sisi psikologis memang menghasilkan pergulatan batin dan pertarungan dalam diri. Yang kalau lepas kendali bisa menimbulkan perilaku “nggilani” tanpa ia sadari. Perilaku sok suci semacam ini kadang juga “terasing” dari lingkungan sendiri. Semakin perasaan sok suci diungkapkan dengan cara menganggap semua yang ada di sekitarnya sebagai hal menjijikkan, biasanya yang muncul adalah sikap reaktif, yang justru menyulitkan untuk mencari teman dan pikiran yang kian aneh justru membuatnya tersingkir dari pergaulan.
Sementara itu rumus membuat perubahan adalah mencari teman dan kawan sebanyak-banyaknya untuk menerima ide dan visi-misi perubahan, memperbesar gerak dan membangun kekuatan massa. Dalam rumus itu, oknum-oknum sok suci yang tidak luwes, yang tampak berpikir dan berperilaku tampak aneh, justru akan menghambat upaya membangun kekuatan itu sendiri.
Padahal, menjawab kebuntuan politik perwakilan itu adalah menciptakan dinamika kesadaran massa yang maju dan terwadahi dalam sebuah kepentingan bersama yang membuatnya berlawanan dengan kepentingan elitis di mana orang-orang yang diharap mewakili dan memperjuangkan aspirasi tak menjalankan fungsinya. Fungsi perwakilan yang macet seharusnya bisa dijawab dengan keberadaan wadah masyarakat sipil yang punya kekuatan besar. Tapi sayangnya juga terhambat dengan petualangan persona yang ingin menyangga hidup-matinya eksistensi diri egoistis yang terungkap dengan keanehan-keanehan ucap dan perilaku.***