Oleh Rijal Mumazziq Z, Rektor INAIFAS Kencong Jember
RumahBaca.id – Semalam (16/12), saya mendampingi para santri Lirboyo diskusi tentang media sosial sebagai lahan dakwah. Diskusi sejak pukul 21.30 hingga berakhir pada 00.15 WIB.
Saya senang mengunjungi Lirboyo, tempat kakek saya dulu mondok di bawah asuhan KH. Abdul Karim, walaupun tidak lama. Ketika sudah mendampingi masyarakat, Mbahkung saya menggunakan Hizb Nashr untuk membubarkan warung remang-remang. Tidak ada kekerasan, hanya lelaku ruhaniah. Tapi amalan tersebut efeknya dahsyat. “Warung pangku” itu bubar, germonya malah kemudian nyantri ke Mbahkung.
Jadi, semalam, saya hanya menyambungkan kembali ‘alaqah ruhaniah dengan almamater kakek saya. Bukti bahwa sabda Rasulullah, al-arwah junudun mujannadah, benar adanya.
Terkait Lirboyo, saya punya pengalaman menarik. Kalau tidak salah, saat itu tahun 2006, saya bersama Ustadz Fathul Qodier (Aswaja Center PWNU Jatim) berjualan buku di gawe besar di Lirboyo. Ketua panitianya Mas Emha Nabil Haroen, ketua Pagar Nusa sekarang.
Saat itu, tidak jauh dari lapak saya, ada beberapa kawan komunitas Salafi yang juga jualan buku, produk herbal, dan VCD. Karena jualan buku non-keilmuan pesantren, jualannya tidak selaris kami, tentunya, tapi mereka pede dan bersemangat.
Agar banyak pengunjung, dua mahasiswa ITS ini kemudian memutar VCD serial jihad. Tayangan pengeboman bunuh diri dan pertempuran di Chechnya (Commander Khattab dan Syamil Basayev dll), Iraq (Abu Mushab Azzarqawi), dan Afganistan (Usamah bin Laden, Ayman Azzawahiri, dan Mullah Omar). Beberapa video perjuangan intifadah di Palestina, juga ditayangkan. Para santri berkerumun, menonton dengan asyik serta bersorak sorai tatkala truk berisi bom meledak dan memporak-porandakan musuh, ketika bidikan sniper membabat kepala musuh, maupun tatkala adegan pertempuran direkam secara langsung.
Apakah setelah tayangan kekerasan bernama jihad ini para santri Lirboyo tertarik memborong VCD tersebut? Tidak. Apakah dari para penonton santri ini kemudian ada yang tertarik berjihad di luar negeri? Tidak. Mereka menonton, bersorak, buyar, lalu kembali asyik masyuk dengan kajian keilmuan di kamar masing-masing. Mereka kembali lagi menonton video tersebut setelah menyelesaikan ngaji sorogan (tutorial), maupun bandongan (seminar) kepada gurunya masing-masing. Hal ini terus berulang.
Para santri ini tidak terpengaruh dengan indoktrinasi terselubung yang dijajakan sahabat saya yang—dari diskusi dengan mereka–bersimpati kepada al-Qaidah. Mereka menonton aksi heroik, sesekali ikut bertakbir, tapi tidak terpancing.
Selepas itu, mereka kembali ke kehidupan sehari-hari. Ya ngaji, wirid, dan ini yang paling penting….. bercanda. Guyon. Saling berbagi humor. Cerita lucu. Joke memang efektif melepas penat, mengurai stres, dan menjadi sarana menjalin keakraban. Humor itu manusiawi. Maka, ketika propagandis teroris menjalankan misinya, yang dimatikan pertama kali adalah unsur humornya. Sensitivitas humor ini dibunuh, diganti doktrin teror. Maka, monster baru pun lahir.
Lantas, mengapa jarang dijumpai alumni pesantren salaf yang berafiliasi ke Aswaja Annahdliyyah ala NU yang terpancing dengan video-video “jihad” tersebut?
Pertama, kurikulum di pesantren. Para santri ini juga mempelajari kajian fiqh siyasah dan fiqh jihad, misalnya, setelah melalui kajian fikih thaharah, fikih ibadah, fikih muamalah dan fikih munakahat.
Sebatas pengetahuan saya, dalam kurikulum di pesantren, bab jihad dikaji dengan tetap menyertakan konteks. Ibarat jurus pamungkas, kajian jihad dikaji dengan menyertakan fadhilah dan ‘illat (legal ratio) tindakan tersebut. Misalnya, ketika mengkaji peristiwa Perang Badar dan berbagai ekspedisi militer Rasulullah, Perang Salib, jihadnya para pahlawan nasional, hingga Resolusi Jihad 1945, maka para ulama pesantren menyertakan pula alasan-alasan rasional yang menyertainya. Ibarat dokter, mereka bisa menjelaskan jenis penyakit, pola penanganannya, dosis obatnya serta kondisi fisik pasien.
Para ulama pesantren tetap membahas jihad dan fadhilahnya dengan berbagai tinjauan. Sebab, kalau muatan keilmuan ini tidak dibahas alias dihilangkan, dikhawatirkan para santri malah belajar kepada figur yang tidak tepat. Kalau sudah salah berguru, bisa berbahaya.
Di beberapa negara timur tengah, kabarnya, ada negara yang demi stabilitas nasional tidak memperbolehkan kajian mengenai jihad. Dampaknya, generasi muda yang bersemangat malah belajar topik ini secara diam-diam dan dari figur yang “keras” dan ekstrem. Akhirnya, bibit-bibit pemberontak tumbuh atas nama jihad.
Kedua, di banyak pesantren NU, mereka diajari untuk mencintai tanah airnya. Mereka menganggap apabila Nusantara/Indonesia adalah Ibu Pertiwi yang harus dijaga. Mereka menilai apabila Indonesia adalah sebuah rumah yang dicintai dalam suka-duka dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Ini berbeda dengan beberapa kajian di kelompok lain yang melihat Indonesia bukan sebagai Ibu Pertiwi, melainkan sebagai Bumi Jihad maupun Darul Harb. Anggapan ini berpotensi meledakkan kesadaran untuk melakukan tindakan kekerasan atas nama jihad fi Sabilillah.
Ketiga, koneksi antar jejaring para ulama. Sebelum memutuskan apakah sudah saatnya berjihad fi Sabilillah, biasanya para ulama melakukan istikharah dan musyawarah terlebih dahulu. Kalau sudah ada “isyarat langit” dan syarat jihad terpenuhi, maka komando jihad bisa dilaksanakan serentak. Hal ini, misalnya, terbukti dalam Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang berdampak pada peristiwa 10 November 1945 hingga Palagan Ambarawa di Semarang. Dengan demikian, jejaring para ulama bukan hanya berkorelasi di bidang keilmuan saja, melainkan juga pada aspek perjuangan keislaman dan kebangsaan. Apabila para ulama yang tergabung dalam jejaring ini bilang A, maka santri pun akan mengiyakan.
Saya kira, tiga hal di atas itulah yang menjadi alasan mengapa ketika disodori video jihad di daerah konflik, para santri tidak lantas tergerak bersemangat berangkat ke “Medan Jihad”. Mereka memilih melakukan jihad ilmiah melalui ngaji, ngaji, dan ngaji.
Dari sini saya teringat apa yang dikatakan oleh KH. A. Wahid Hasyim ketika mendesak Jepang agar membentuk Hizbullah. Pada awalnya, ketika Dai Nippon terdesak di palagan Pasifik, mereka berniat menambah stok pasukan pertahanan selain PETA. Jepang melirik pesantren, sebab stok pemuda di situ banyak dan sewaktu-waktu bisa dikirim ke Medan tempur di luar Indonesia atas nama “jihad”.
Melihat hal ini Kiai Wahid Hasyim menolak. Alasannya, daripada mereka bikin repot tentara Jepang profesional di medan tempur di kawasan Pasifik–karena santri ini minim pengalaman–lebih baik mereka dilatih untuk menjaga rumahnya. Mereka akan bersemangat dan siap mati jika dilatih mempertahankan rumah dan wilayahnya. “Rumah” inilah yang secara tersirat disebut Kiai Wahid sebagai Indonesia yang bakal merdeka.
Dengan demikian, santri adalah “sel tidur” Mujahidin paling potensial. Hari ini, mereka bergerak dalam diam dalam ruang kajian ilmiah. Namun, mereka akan pasang badan mempertahankan rumah bernama Indonesia. Sebab, mereka dididik untuk mencintai Islam dan tanah airnya.
Wallahu A’lam Bisshawab