Oleh Masyhari, Pembina UKM Sahabat Literasi IAI Cirebon, Founder Griya Baca Alima, Direktur rumahbaca.id
RumahBaca.id – Pemerintah pusat melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah menabuh gong Gerakan Literasi Sekolah (GLS) sejak beberapa tahun silam. Bahkan, secara teknis Kemendikbud melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dirjen Dikdasmen) telah menerbitkan Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah pada bulan Oktober 2018.
Dalam buku desain induk tersebut dijelaskan detail tentang GLS hingga dalam tataran teknisnya. Buku tersebut terbagi dalam 5 bab, dimulai dari bab 1 berisi pendahuluan yang memuat latar belakang, landasan filosofi dan hukum, tujuan, dan sasaran, dan ditutup dengan bab 5. Bab 2 berisi konsep dasar GLS yang mengulas tentang apa itu literasi, GLS, komponen literasi dan ihwal literasi di sekolah.
Sedangkan bab 3 berisi pelaksanaan literasi di sekolah. Dalam bagian ini, dijelaskan detail tentang rancangan program literasi sekolah, peran pemangku kepentingan, pelaksanaan GLS, strategi, peningkatan kapasitas, dan target pencapaian. Bab 3 berisi penjelasan tentang monitor dan evalusi. Dalam tahap ini dijelaskan pelaksanaan monitor dan evaluasi di tingkat pusat (Kemendikbud), Dinas Pendidikan Provinsi, Satuan Pendidikan, dan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.
Dengan demikian, bisa kita katakan bahwa pemerintah dalam hal ini khususnya Kemendikbud sangat peduli dan telah menyadari urgensi literasi bagi kemajuan bangsa. Bahkan, tidak hanya kedua Kementerian tersebut, kebanyakan Kementerian yang ada telah melakukan berbagai kampanye literasi. Ini tampak dari sebaran iklan dan kegiatan yang dilakukan di media, tidak hanya cetak, tapi juga digital. Hampir setiap hari ada kegiatan webinar yang dilakukan oleh Kementerian, sebut saja misalnya Kementerian Kominfo dengan kegiatan webinar bertajuk literasi digital digelar dengan bekerjasama dengan pemerintah daerah, Ormas, lembaga pendidikan, para aktivis, para relawan, dan lain sebagainya.
Itu artinya, kampanye literasi sudah dilakukan secara masif, tidak hanya melibatkan pemerintah pusat, tapi juga elemen masyarakat di bawah. Sehingga, tinggal bagaimana kita sebagai masyarakat grassroot mau mengakses informasi dan kegiatan itu. Toh, semua konten bisa diakses secara bebas menggunakan smartphone, baik di platform berbasis website maupun aplikasi YouTube.
Kendatipun demikian, ternyata tidak sedikit yang gagal paham dengan GLS. Ada sekolah yang menerapkan GLS dengan kegiatan BTQ (Baca & Tulis Quran) setiap hari. Padahal, GLS tidaklah cukup dengan itu.
Memang, BTQ bisa menjadi bagian dari literasi, karena bagian dari literasi adalah membaca dan menulis. BTQ merupakan keharusan bagi sebuah sekolah yang berbasis agama Islam. Tapi bagi sekolah umum negeri (SDN, SMPN dan SMAN) bila menafsirkan GLS dengan sebatas BTQ tidak tepat. BTQ boleh saja dilakukan, tapi itu tidak bisa menggugurkan kewajiban GLS.
Dalam BTQ di tingkat sekolah dasar tentunya kebanyakan baru dalam tahap bisa membaca dan menulis huruf al-Quran yang berbahasa Arab, belum sampai dalam pemahaman. Sedangkan GLS harus juga berorientasi para pemahaman terhadap bacaan.
Gerakan Literasi Sekolah digiatkan pemerintah pusat karena melihat rendahnya tingkat literasi masyarakat Indonesia. Hal ini misalnya, berdasarkan hasil riset Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2018 yang menunjukkan bahwa skor PISA Indonesia masih menempati papan bawah. Bisa dikatakan bahwa Indonesia mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya. Dikutip dari Zenius.net, skor untuk Membaca 371, Matematika 379, dan Sains 396. Skor ini mengalami penurunan dibanding tes di tahun 2015 dengan skor Membaca 397, Matematika 386, dan Sains dengan skor 403.
Dari semua skor itu, Membaca memiliki penurunan skor terendah, dan bahkan di bawah skor di tahun 2012 yaitu 396. Tahun 2018, peringkat Indonesia untuk kategori Membaca ada di 75 dari 80 negara, atau urutan 6 dari bawah. Jika dibandingkan dengan sesama Asia Tenggara, Indonesia ada di bawah Thailand dan Singapura.
Dalam beberapa rilis menyebutkan bahwa tingkat literasi membaca anak-anak kita sangat rendah. Dari tingkatan literasi membaca yang ada yaitu (1) membaca, (2) memahami bacaan, (3) menceritakan kembali isi bacaan dengan lisan atau tulisan, dan (4) menganalisis bacaan dan mengkritisinya, kebanyakan baru dalam tahap yang pertama, yaitu bisa membaca. Dan mirisnya, di beberapa daerah, masih ditemukan siswa SD kelas 6 dan bahkan SMP di Indonesia yang belum bisa membaca.
Tidak jarang anak yang hanya bisa membaca, namun tidak memahami apa yang dibacaannya. Maka alih-alih ia akan suka membaca, toh ia tidak menikmati apa yang dibacanya. Bagaimana bisa menikmati bacaan, kalau ia tidak memahami isi bacaan.
Di beberapa daerah, seleksi masuk SD/MI melalui tes baca tulis. Sehingga, banyak orang tua yang menyekolahkan anak mereka di TK atau bahkan playgroup yang mengajarkan anak baca tulis. Tujuannya, agar mereka bisa diterima masuk SD tertentu. Padahal, masa PAUD adalah masa bermain dan bersosialisasi. Sedangkan kemampuan membaca bukanlah keharusan bagi mereka. Maka, guru dan atau orang tuanyalah yang harus membacakan buku yang ada.
Alhasil, mungkin (ke)banyak(an) anak-anak sekolah kita, mulai dari SD hingga PT, yang bisa membaca, tapi mereka tidak gemar membaca, apa lagi menulis.
Di beberapa SDN, saya temukan ruang perpustakaan “terpaksa” disulap menjadi ruang kelas, karena keterbatasan gedung, tapi murid banyak. Temuan ini ternyata diperkuat dengan kisah yang dituturkan oleh salah seorang pegawai di Dinas Perpustakaan dan Arsip Kabupaten Cirebon, bahwa sulapan begitu tidak hanya satu-dua kasus saja, tapi banyak.
Lebih parah dari itu, ternyata kita temukan di (ke)banyak(an) Sekolah, mulai dari SD hingga SMA menggunakan LKS yang didominasi dengan tugas-tugas mengerjakan soal. Jadi, siswa-siswi atau (dalam istilah terbaru) peserta didik kita tidak banyak diajarkan materi berupa bahan bacaan, menulis dan praktik bereksperimen, tapi diajarkan bagaimana cara menjawab soal ujian.
Maka janga heran, jika mereka tidak suka membaca dan menulis. Karena memang mereka tidak diajar suka baca buku, apa lagi menulis, tapi mereka diajarkan bisa mengerjakan soal di LKS, dengan harapan bisa mengeejakan soal ujian. Mungkin, dianggap bahwa dengan bisa menjawab soal, akan memudahkannya mencari solusi atas problematika kehidupan. Lucunya, tidak semua jawaban soal bisa ditemukan di buku LKS. Artinya, untuk bisa menjawab soal harus membuka internet dan searching di Google.
Lantas, siapakah yang bikin LKS? Ternyata pabrik. Penulisnya pun tidak jelas kualifikasinya. Dan kacaunya, ini merata.
Selanjutnya, coba sesekali Anda tanyakan kepada para murid: Buku apa yang paling berkesan dan menarik bagi mereka? Buku pelajaran, LKS ataukah buku cerita? Semoga bukan games di gadget mereka. Wallahu a’lam.
Cirebon, 18 Desember 2021