Kontestasi wacana pemikiran Islam di dunia mengalami pasang surut. Sejak kekalahan Islam, dan terbukanya keran demokrasi di dunia, khususnya di Indonesia, terbilang bahwa pemikiran Islam belum lagi berkobar seperti era sebelumnya. Dinamika ini terjadi, kendati pemikir muslim tidak lagi bisa menawarkan konsep, wacana, lompatan paradigma, argumen, atau penemuan-penemuan baru (pemikiran Islam sendiri) untuk kemajuan peradaban Islam dunia. Akhirnya, pemikir muslim tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang berkontribusi besar terhadap wacana dunia.
Buku Ahmet T. Kuru, Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan: Perbandingan Lintas Zaman dan Kawasan di Dunia Muslim (2020) membenarkan itu. Bagi Kuru, tersumbatnya peradaban dunia Islam karena sarjana atau intelektual muslim tidak menghasilkan capaian-capaian besar orisinil yang berpengaruh bagi kehidupan umat beragama di dunia. Selain itu, sarjana dan pemikir muslim tidak berdikari, mereka begitu dekat dan membebek pada kekuasaan. Tidak ada masa Renaisans-intelektual muslim, justru krisis pemikiran dan kegelapan menyempurnakan lintasan kehidupan umat muslim.
Buku Pembaharu Islam Yudian Wahyudi ini ingin menyingkap itu. Secara kritis-apresiatif, Yudian memang tampak memancarkan penyikapan visioner kepada pihak-pihak pemikir, terutama dalam konteks kehidupan pemikiran-keagamaan di Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika ini. Karya-karya Yudian, dengan menggunakan pendekatan kritis-humanis-ketersilangan, dengan metode berpikir pluralis dan humanis, terlihat percaturan diskursus wacana pemikiran Islam agak tersingkap kembali. Paling tidak, Yudian memberi contoh bagaimana menjawab serta memberi solusi pemikiran terhadap kompleksnya masalah-masalah keagamaan (baik di bidang fiqih dan tafsir) dan sengkarutnya peradaban Islam.
Secara jeli, Yudian memberikan respons terhadap kemunduran peradaban Islam. Bagi Yudian, pasang surut peradaban Islam dipengaruhi oleh beberapa faktor. Jika menurut pemikir lain (seperti Syekh Muhammad Syakib Arselan), faktor yang membuat kemunduran Islam karena intelektual Islam bergerak ke arah sufistikisme, tidak lagi mencintai ilmu pengetahuan, hilangnya nilai integrasi bangsa, susutnya jalan ijtihad, hilangnya spiritualisme Islam dan meninggalkan Al-Qur’an dan Hadis.
Berbeda dengan itu, menurut Yudian, ada tiga faktor mendasar yang membuat umat Islam tertinggal dari umat-umat yang lain. Pertama, konflik internal umat Islam dari masa ke masa. Kedua, umat Islam berjarak dengan expremental sciences. Ketiga, kafir ilmiah.
Dari masa ke masa, gambaran Yudian, umat Islam berkecamuk dengan persoalan internalnya. Tingginya kadar perselisihan dan konflik horizontal yang terjadi pada umat Islam menyebabkan keruntuhan kejayaan Islam. Umat Islam tidak lagi bisa berpikir secara bebas, karena yang dipikirkan adalah bagaimana menyelesaikan konflik berdarah-darah di depan matanya. Umat Islam terkungkung di alam dan pikiran mengenai konflik-konflik besar, sehingga meraka hanya sibuk mengatur strategi menjadi menang-kalah. Hal demikian, bagi Yudian, yang memperparah keadaan umat Islam sejak saat itu hingga kini.
Di lain hal, menurut Yudian, ketertinggalan umat Islam akibat dari pilihan sikap dalam melihat dan menerjemahkan kesejarahan Islam yang keliru. Karena demikian, umat Islam sulit bangkit bahkan hingga saat ini. Jawaban-jawaban dan solusi-solusi yang ditawarkan pemikir muslim tidak tepat. Kadang-kadang pemikir muslim memberi tafsir dan solusi yang keliru (halaman 113 dan 183). Diagnosis yang keliru itu, mengakibatkan solusi yang ditawarkan juga tidak memberi efek dan dampak signifikan bagi perkembangan dan kebangkitan peradaban umat Islam. Bagi Yudian, hal demikian itulah indikator yang membuat kita mundur sedang peradaban dunia lain maju.
Melihat problematika umat beragama, intelektual muslim sering memusatkan masalah dan jawaban di nalar fikih. Fikih dijadikan sebagai nalar hukum teologis di satu sisi dan pencari jawaban di sisi lain, sehingga bertolak belakang dengan realitas yang terjadi di tengah masyarakat. Akhirnya, umat Islam meningkat dan menjadi mukmin pada tingkat akidah, tetapi menjadi “kafir ilmiah” pada bidang pengetahuan. Bagi Yudian, fenomena itu tidak pernah menjadikan hukum alam sebagai bagian keimanan dan keislaman, bahkan ditambah dengan membuang atau meninggalkan experimental sciences, sama dengan “kafir ilmiah” yang menolak sunah Tuhan.
Kendati, menurut Yudian, jika umat Islam mampu menguasai ilmu-ilmu alam, seperti matematika, fisika, kimia, astronomi, biologi, kedokteran, kesehatan dan lainnya, sama halnya umat Islam dapat mengelola alam untuk kemakmuran dan kesejahteraannya. Dengan berpikiran tersebut, umat Islam akan memperoleh keselamatan tidak hanya keselamatan teologis, tetapi kesalamatan kosmos dan kosmis. Dalam arti lain, jika metode tersebut dijadikan sebagai suluk umat Islam, maka nilai-nilai luhung rahmatal lil ‘alain Islam akan memancar luas ke pelbagai aspek kehidupan umatnya sendiri sekaligus umat lain: sebuah bangunan cita-cita dalam berbangsa dan bernegara yang menjadi dambaan semua insan di dunia.
Jika melihat apa yang digambarkan Yudian, tentang sebab-sebab kemunduran peradaban Islam, tampak kita (umat Islam) digiring untuk melihat atau memperbaharui cara pandang terhadap agama dan dunia. Bagi Yudian, sebagai muslim, kita harus bisa memberdayakan akal budi untuk memperbaharui cara melihat hukum Islam, pendidikan, tafsir dan usul fikih. Jika hal tersebut bisa dilakukan, maka akan melihat akar masalah yang menyebabkan umat Islam tertinggal sangat jauh dari bangsa-bangsa yang lain.
Menurut Yudian, tertinggalnya umat Islam bukan karena masalah teologis. Melainkan tidak adanya ijtihad baru dari pemikir muslim, serta tidak adanya peran dan kemampuan mengambil langkah-langkah kongkrit untuk kemajuan peradaban. Misalnya memberi beasiswa, memberi kurikulum pendidikan yang berorentasi pada sains, atau mengubah kebijakan yang menolong kalangan bawah. Termasuk mengakui masalah-masalah yang terjadi pada umat beragama.
Lebih dasar dari itu, sekali lagi menurut Yudian, kemunduran peradaban Islam dilihat dari lintasan perjalanannya, baik di dunia dan Indonesia sendiri, adalah karena faktor umat Islam membuang experimental scaiences itu. Umat Islam sering memandang bahwa ilmu yang sangat penting adalah ilmu keagamaan atau yang berhubungan dengan keagamaan seperti kalam, fikih, hadis, tasawuf. Sedang ilmu-ilmu yang lain, dipandang sebagai ilmu dunia yang hanya berurusan dengan masalah dunia semata: ilmu-ilmu tersebut dianggap tidak bisa membawa kepada surga. Sejak alam pikiran timbul seperti itulah, kata Yudian, umat Islam tidak bakal lagi mementingkan ilmu sains dan teknologi: matematika, fisika, kimia, bilogi, digital dan ilmu-ilmu hebat lainnya. Sejak itu pula dunia Islam mundur dan tertinggal jauh.
Sesungguhnya, untuk menakar arus pemikiran dan ketertinggalan dunia Islam tersebut, harus kembali ke potensi diri manusia Islam sendiri. Seperti Ali Syariati, Yudian memberi resep bahwa keterbangunan peradaban Islam, caranya harus dibangun dulu manusianya. Itulah mengapa, kata Yudian, dari nabi Adam a.s hingga kita, Tuhan menjadikannya khalifahnya di muka bumi. Tugas khalifah tidak lain adalah memakmurkan bumi dan membangun peradaban unggul. Tugas khalifah memiliki pemahaman yang benar dan tepat tentang nash-nash dan bagaimana nash-ayat Al-Qur’an tersebut dibumikan dalam kehidupan sehari-harinya. Al-Qur’an harus ditemukan dan dikemukakan kunci dasar dan konsep pokok dengan cara memberi makna baru terhadap konsep-konsep dasar tersebut agar lebih segar, aktual, dinamis, dan menjadikan implementatif.
Secara berani dan jeli, Yudian di dalam karya-karyanya dan forum mengatakan, kebangkitan peradaban Islam bisa terjadi apabila di antara muslim tidak kafir sains dan ilmu pengetahuan, serta tahu konsep kunci umat Islam. Menurut Yudian, kebangkitan Islam bermula dengan membangkitkan hal subtantif Islam, berkenaan dengan diri manusia serta bagaimana mendayagunakan potensi-potensi orisinil yang dimilikinya. Paling tidak, umat Islam tidak salah mengartikan konsep-konsep kunci di dalam kitab sucinya: seperti Islam, takdir, khalifah, khalaf, akhlak, adab, dan mengintegrasikan pendidikan.
Maka itu, Yudian bergerak melihat, serta mencari cara bagaimana umat dan peradaban Islam bangkit, baik dalam ilmu pengetahuan, teknologi, sains, politik, ekonomi, budaya, dan pendidikan secara umum. Yudian dalam mengritik pendidikan di Indonesia tidak sama dengan pendahulu-pendahulunya. Yudian tidak sekadar mengkrtitik dan mencari titik lemah pendidikan seperti pesantren dan pendidikan umum, sehingga membuat orang pesimistis (halaman 210). Melainkan Yudian bergerak bahkan melakukannya sendiri dengan mendirikan pesantren Nawesea sebagai center for the studi of Islam in North America, Western Europe and Southeats Asia. Di pesantren Nawesea, Yudian menawarkan kurikulum apa yang disebut dengan pendidikan Islam intergratif (Zaid dan Azhari, 2019). Pesantren Nawesea adalah wujud konkrit dari integrasi sains dan agama.
Secara visioner, seperti dibentangan dalam buku Pembaharuan Islam ini, menurut Yudian, pendidikan agama harus memainkan kembali peran integratifnya baik pada level nasional maupun internasional. Agar lahir dan tercipta generasi yang mandiri, kreatif, inovatif, dan progresif. Jika generasi itu lahir, maka bukan tidak mungkin perdaban Islam bisa bangkit kembali. Sungguh secara jelas, rahmat Tuhan bakal dirasakan tidak saja buat umat Islam sendiri, tetapi juga penduduk alam semesta ini. Kendati demikian, pemikiran Yudian Wahyudi sudah seharusnya dibumikan, seperti yang ditulis oleh sepuluh orang di dalam buku Pembaharuan Islam Yudian Wahyudi ini. Semoga.
Judul Buku: Pembaharuan Islam Yudian Wahyudi: Komparasi dengan Hasbi Ash Shiddieqy, Hazairin, Nurcholish Madjid, dan Quraish Shihab
Editor: Khoirul Anam dkk.
Penerbit: Suka Press, Yogyakarta
Cetakan I: 2021
Tebal: 224 halaman
ISBN: 978-623-7816-33-1
https://alif.id/read/awi/kemunduran-dan-problematika-umat-beragama-b241271p/