Orang-orang mudah terbujuk untuk meramaikan lini masa saat pengakuan terhadap kebudayaan di mata internasional menggema. Hari demi hari kita disajikan narasi demi narasi yang terkadang penuh klise dari mereka tiba-tiba membanggakan kebudayaan Indonesia. Itu perlu, namun tak boleh berlebihan. Barangkali gamelan tak luput dari itu setelah pada sidang sesi ke-16 Intergovernmental Comitte for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage UNESCO di Paris, Perancis pada 15 Desember 2021 menetapkan gamelan sebagai salah satu Warisan Budaya Tak Benda (WBTB).
Kabar berlalu di beberapa media pemberitaan. Kita menyimak Harian Solopos edisi 17 Desember 2021 memberitakan itu. Sebuah liputan berjudul Jalan Panjang Gamelan Jadi Warisan Dunia dilengkapi infografis alur waktu yang berjalan. Kita mengesahkan bersama gamelan adalah sejarah panjang. Para pembaca diajak lebih mendalam urusan gamelan, agar tak selesai pada pendakuan semata. Kita iseng mengutip sebuah bagian berita itu: “Berdasarkan informasi yang dihimpun Espos, maestro gamelan mendiang Rahayu Supanggah telah mengusulkan gamelan sebagai WBTB Indonesia pada 2014 silam.”
Rasa penasaran muncul di tengah kabar-kabar di berbagai jenis media mudah berlalu begitu saja. Algoritma dalam teknologi digital terkadang memaksa orang untuk tunduk akan apa yang menjadi minat banyak orang, sesuatu sedang populer, dan hal-ihwal yang ramai dibahas. Dunia saat ini memiliki kecenderungan mengabaikan hal penting dan menyeriusi hal yang kurang dan tidak penting. Kita menemukan sebuah buku berjudul Hayatan Gamelan: Kedalaman Lagu, Teori dan Perspektif. Buku ditulis oleh Sumarsam, diterbitkan STSI Press pada tahun 2002, lembaga penerbitan di STSI Surakarta yang kemudian menjadi ISI Surakarta.
Di buku tersebut Rahayu Supanggah memberikan sebuah pengantar. Pembaca diajak untuk masuk ke dalam buku dengan pintu gerbang pengetahuan lewat singgungannya dengan penulis, pengalaman, dan sederet kisah lainnya. Kita menemukan pengakuan itu dalam sebuah kalimat: ”Sebab, hal ini merupakan sebuah amanah, sebuah kewajiban yang sekaligus juga kehormatan bagi saya untuk menghantarkan dan mengakrabkan kembali senior saya dengan lingkungan di STSI Surakarta maupun dengan masyarakat (akademik) karawitan di Indonesia.”
Sejarah dan filosofi keberadaan gamelan menjadi perhatian beberapa orang. Di kesempatan lain, kita menemukan sebuah buku berjudul Gamelan Jawa: Awal Mula, Makna dan Masa Depannya (Karya Unipress, 1984) karya Bambang Yudoyono. Melalui buku, penulis ingin mengajak orang-orang untuk memahami asal-usul, kesejarahan, filosofi, hingga makna keberadaan gamelan bagi kehidupan. Bahkan, ia juga menuliskan keresahan dan kekhawatiran akan masa depan gamelan saat gejolak zaman menghampiri, seperti halnya orang-orang lebih membanggakan budaya lain dan melupakan budaya sendiri. Kesenian dan kebudayaan sejak dari dulu memang harus bertaruh dengan arus perubahan dan perkembangan zaman.
Penjelasan itu misalnya ia tuliskan dalam paragraf berikut: “Dengan melihat dilema yang dihadapi oleh gamelan Jawa, sudah sepantasnya apabila kita merasa cemas dan prihatin. Betapa tidak! Haruskah kekayaan seni-budaya yang bernilai tinggi itu lenyap begitu saja ditelan bangsa asing? Dan haruskah kita nanti pada akhirnya belajar gamelan di negeri asing? Jika hal ini benar-benar terjadi, maka mungkin nenek moyang kita akan menangis dan mengutuk bila mengetahuinya.”
Kekhawatiran bernada tersirat akan ajakan untuk bersama-sama memiliki sebuah kesadaran dalam merawat dan menjaga tradisi turun-temurun. Seni dan budaya bukan terletak pada narasi heroisme dalam bentuk penghargaan dan sejenisnya. Namun, melainkan dari itu sebagi sebuah jalan panjang dalam menyongsong peradaban dengan hadirnya transformasi ilmu pengetahuan secara turun-temurun. Tiap orang memiliki tugas mengemban warisan seni dan budaya kapan saja dan di mana saja.
Oleh sebab itu, hendaknya ada hal lain yang perlu dipikirkan lanjut atas penetapan gamelan sebagai warisan itu. Itu tak lain berkaitan dengan relasi yang muncul dari banyak pihak, katakanlah perhatian negara akan komitmen urusan seni dan budaya, sarana pendidikan untuk transformasi ilmu pengetahuan, hingga nasib bagi para pelaku seni dan budaya yang dengan lama memberikan energi dan waktunya untuk tetap menjadikan itu gamelan ada dan dikenal oleh banyak orang. Kerja berat terus menanti.
Ini berkaitan dengan jatidiri dan martabat. Teringat sebuah esai Mahbub Djunaidi dalam rubrik Asal Usul Harian Kompas, 13 September 1987. Esainya berjudul Gamelan yang banyak menyoroti tulisan dari Dawam Rahardjo. Perihal gamelan, bagi Mahbub tak lain adalah sebagai sebuah dimensi lain. Penggambarannya ia tulis: “Satu dimensi yang menyangkut martabat dan kedalaman manusia itu sendiri, yang tidak mungkin dibeli di toko-toko swalayan. Bila kreasi mati dan orang hanya hidup di dalam sebuah koor, maka segala sesuatu menjadi tidak menarik lagi.”
Maka, untuk mewujudkan hidup terus menarik, sebagai manusia di abad ke-XXI tidak boleh gembradag atau kagetan dalam memaknai sesuatu pengakuan di mata internasional. Sebab, terkadang hal itu membuat kita luput terhadap banyak hal. Kita terus perlu meneguhkan jatidiri dan martabat bersama sebagai warga negara Indonesia. Salah satunya adalah dengan mencintai kesenian dan kebudayaan tidak sebatas pada lisan saja, namun melainkan dari itu diwujudkan dalam bentuk sikap, laku, dan kepribadian.