Catatan Tentang Majelis Al-Khidmah: Ajaran Kiai Asrori Supaya Jama’ahnya Betah Berdzikir

Sering dan tak jarang kita saksikan di dalam pelaksanaan majelis-majelis Al-Khidmah, para jamaah yang hadir disuguhi dan dimuliakan sedemikian rupa. Mulai menyiapkan tempat dengan segala kenyamanannya. Jika dilaksanaan outdoor, maka panitia telah menyiapkan tendanya. Hidangannya, dekorasi panggungnya, sound system terbaiknya, pengisi acaranya, bahkan hingga parkiran kendaraannya.

Kiai Ahmad Asrori secara resmi mendeklarasikan berdirinya Al-Khidmah pada 25 Desember 2005 silam sebagai perahu besar yang mengajak para jamaahnya untuk memperbanyak berdzikir. Jauh sebelum tujuan itu adalah Kiai Asrori membuat suasana bagaimana jamaah supaya nyaman disaat duduk berlama-lama.

Setelah mau duduk bersama, baru para jamaah diajak untuk merasa sama-sama memiliki majelis Al-Khidmah. Bersatu padu dengan jamaah yang lainnya, sehingga merasa seperti halnya saudara. Tua muda tanpa membedakan usia memiliki tujuan untuk sama-sama mensukseskan pelaksanaan kegiatan Al-Khidmah.

Jika sudah merasa memiliki rasa yang sama, maka akan ada keinginan untuk kembali bersama hadir di majelis selanjutnya. Dengan terlebih dahulu dibentuk rasa cinta, sesseorang akan tergugah untuk bisa militan dalam memperjuangkannya. Tanpa disertai cinta, ibadah adalah aktivitas melelahkan yang tidak banyak orang suka. Tanpa cinta, musik adalah kebisingan-kebisingan belaka.

“Maka: gugah, dorong dan bangkitkan hati para jamaah, para pecinta serta para simpatisan dan masyarakat, lebih-lebih para penerus, generasi muda kita, untuk merasa saling memiliki, menyayangi dan menaungi dan melindungi Jamaah Al Khidmah ini, dengan cara didik, ajar, tuntun, dan bimbing dengan penuh kasih sayang, kearifan, kebijakan, kesabaran dan ketekunan yang mendalam, diiringi dengan: ajak bersama-sama dan posisikan serta dudukkan pada posisi dan kedudukan yang sesuai dengan ilmu, tenaga, keahlian dan kemampuan mereka, secara lahir dan batin” tutur Kiai Asrori dalam majelis pendeklarasian berdirinya Al-Khidmah pada 25 Desember 2005.

Baca juga:  Mengenal Sufisme Yahudi dan Persentuhannya dengan Para Sufi Islam

“Witing trisno jalaran soko kulino”. Jarang ada orang yang benar-benar cinta hanya dalam pandangan pertama. Butuh waktu lama untuk menumbuhsemaikan bibit-bibit cinta.

Seorang anak akan sulit merasa cinta kalau dia pernah atau bahkan sering mendapatkan pengalaman yang dibencinya. Ketika masjid hanya diformalitaskan untuk ibadah saja, sementara anak-anak kecil dianggap pengganggu yang wajib menyingkirkannya, maka jangan harap mereka mau mencintainya. Dalam memori mereka yang terlihat adalah masjid sebagai ruang darurat ramah anak. Tempat-tempat lain yang menawarkan kebahagiaan untuk mereka. Yang memberikan tempat dan pengalaman terbaik untuk mereka.

Dalam hal ini Kiai Asrori kembali membuka langkah mengajak cinta. Mendidik dan menuntun para santri untuk mencintai masjidnya. Dalam sehari, dominasi ruang kegiatan keseharian santri Al-Fithrah adalah terjadi dalam tiga kesempatan, yaitu kamar, masjid dan sekolah. Masjid menjadi tempat ketiga yang paling banyak dikunjungi setelah kamar dan sekolah tempat belajarnya.

Program pengembangan di Al-Fithrah terdiri atas tiga aspek, yakni pendidikan, kewadzifahan, dan syiar. Dari ketiganya, dua di antaranya adalah mempergunakan ruang masjid. Sholat lima waktu wajib dilaksanakan di masjid disertai dengan dzikir dan munajat sebelum ataupun sesudahnya. Demikian juga kegiatan majelis Ahad awal dan Ahad kedua yang juga mempergunakan masjid sebagai tempat penyelenggaraannya.

Baca juga:  Al-Hallaj, Sang Martir yang Selalu Menginspirasi (1/2)

Masjid selalu identik dengan tempat ibadah, tempat suci yang terbebas dari segala macam noda dan dosa. Sebab memang padatnya kegiatan di Al-Fithrah, maka di masjid itu pun juga, para santri menikmati tidurnya.

Bisa jadi mereka terpaksa. Tapi hal itu terjadi berbulan bulan, bahkan hingga bertahun tahun lamanya. Hingga membekas dalam pikiran dan hati mereka. Setiap harinya mendengar bacaan burdah, maulid, manaqib dan dzikir dzikir lainnya, maka itu yang mengkarakter pada diri santri semuanya.

Mungkin mereka tidak suka berdzikir, setidaknya mereka ikut turut larut dalam dzikir. Andai katapun mereka tidak ikut dzikir, setidaknya mereka turut berkumpul bersama orang yang berdikir. Dengan berkumpul secara terus menerus, lama kelamaan akan timbul perasaan nyaman. Terlebih, Al-Khidmah menawarkan penghargaan yang tinggi terhadap semua jamaah yang hadir di majelisnya.

Perjalanan demi perjalanan semacam inilah yang secara pelan diajarkan oleh Rasulullah kepada shabat Handzolah. Handzolah yang semasa hidupnya merasa memunafiki dirinya, sebab ketika bersama Rasulullah Saw mampu terpaut hatinya kepada Allah Swt, seakan mampu menyaksikan surga dan neraka, namun begitu berkumpul bersama keluarga semua itu hilang seketika. “Senantiasalah hadir dalam majelis-majelis dzikir semacam ini” nasehat Rasulullah Saw.

Pelan tapi pasti, mereka yang memiliki intensitas tinggi hadir dalam majelis-majelis dzikir akan lebih baik. Ibarat disiram air sejuk terus menerus, maka sekotor bagaimanapun suatu barang, maka akan menjadi bersih juga. Dalam hal Al-Khidmah, Kiai Asrori tidak hanya menuntut, melainkan juga menuntun.

Baca juga:  Syariat Tanpa Hakikat adalah Kosong

Beliau membimbing, mengarahkan dan mengajarkan secara langsung tentang bagaimana menjamu dengan baik tamu yang hadir. Dihadirkan rasa kebahagiaan pada hati tetamunya. Pelayanannya atau khidmahnya. Mendahulukan reward dari pada memberikan punishman. Diajak mencintai dulu, untuk kemudian mengikuti kegiatan majelis dzikir Al-Khidmah. Kalau sudah cinta, seseorang akan siap mengorbankan apapun demi yang dicintainya. Selamat ulang tahun Al-Khidmah.

https://alif.id/read/zes/catatan-tentang-majelis-al-khidmah-ajaran-kiai-asrori-supaya-jamaahnya-betah-berdzikir-b241368p/