Politik, Moral dan Kekuasaan

Laduni.ID, Jakarta – Pilpres sudah berlalu, priode kedua pun diteruskan dengan optimisme untuk Indonesia maju. Gembira pesta kemenangan membahana di seluruh penjuru. Karena Presiden kita ini adalah representasi rakyat biasa yang bisa berkuasa, dan beliau menjadi orang nomor Wahid di negeri ini.

Gigih dan bercucuran keringat untuk dukung pak Jokowi naik untuk priode keduanya. Meski sekedar keringat, meski sekedar peluh, meski sekedar otot, sekalipun tak berbalas manis itu semua diberikan pengorbanannya atas sebuah kemenangan. Begitulah kiranya sebagai relawan, rela melawan, rela lapar, rela berjibaku, rela berdebat, rela dan rela.

Menurut Niccolo Machiavelli dalam bukunya II Principe, politik dan moral adalah dua bidang yang tidak memiliki hubungan sama sekali, yang diperhitungkan hanyalah kesuksesan, sehingga tidak ada perhatian pada moral di dalam urusan politik. Baginya hanya satu kaidah etika politik, yang baik adalah apa saja yang memperkuat kekuasaan raja.

Jika pun kekuasaan kuat ditopang dengan semua elemen rakyat, tentunya kawan dan lawan termasuk dalam posisi elemen tersebut. Hal yang wajar demi kuatnya posisi kekuasaan, rasa hati dan pandangan moral terkesampingkan, sebelum kekuasaan betul sudah kuat. Negeri demokrasi jauh lebih menghargai keutamaan moralitas dibanding dengan absolutisme monarki, atau proletarianisme absolut. Tapi untuk standar baku di negeri kita, demokrasi berkadilan yang menjunjung moralitas mestinya jadi pijakan, apapun itu isme-isme yang jadi pilihan.

Maurice Duverger (1917-2014), seorang sosiolog politik dari Prancis menyinggung soal di atas, relasi kuasa dan elemen pendukung, bahwa setiap tegaknya kekuasaan ada kelompok penekan. Mereka merupakan sekelompok manusia yang berbentuk lembaga kemasyarakatan dengan aktivitas atau kegiatannya memberikan tekanan kepada pihak penguasa (pemerintah), agar keinginannya dapat diakomodasi oleh pemegang kekuasaan.

Atau, dapat juga didefinisikan sebagai, association of individual or organisations that on the basis of one or more shared concerns, attempt to influence public policy in its favour usually by lobbying members of the government (sekumpulan individu dan atau organisasi yang memiliki dasar dari satu atau lebih kepentingan bersama yang berupaya untuk mempengaruhi pandangan umum, menurut kepentingannya dengan anggota pelobi di dalam pemerintahan).

Perbedaan kelompok penekan dengan kelompok kepentingan adalah pada cara dan sasaran dalam mencapai tujuan. Kelompok kepentingan mementingkan bagaimana mereka memfokuskan diri pada suatu isu atau kepentingan untuk mencapai tujuan dalam jangka waktu yang lebih lama, sedangkan kelompok penekan lebih bersifat sementara.

Nasib kekuasaan priode kedua ini, adalah ketika kelompok penekan ambil bagian dalam hierarki kekuasaan, dan dalam kekuasaan hilir. Mereka pendukung dan penyokong kekuasaan yang tidak diberi tempat oleh kekuasaan akan memposisikan sebagai penonton yang baik, tapi juga akan mengeroposkan soko kekuatan sipil. Itu artinya kekuasan priode kedua ini adalah kekuasaan yang dibelit “setan merah”, waspadalah.

Tigaraksa, 26 Desember 2021

Oleh: Hamdan Suhaemi, Wakil Ketua PW GP Ansor Banten dan Ketua PW Rijalul Ansor Banten


Editor: Daniel Simatupang

https://www.laduni.id/post/read/73898/politik-moral-dan-kekuasaan.html