Oleh Pepih Nugraha, Founder PepNews.com
Yuval Noah Harari pernah menyampaikan “21 Pelajaran” yang dihadapi Abad 21 ini, salah satunya disrupsi di bidang profesi pekerjaan, yaitu profesi wartawan atau jurnalis di beragam media.
Jauh sebelumnya, sekitar 10 tahun lalu, tanda-tanda wartawan akan kehilangan pekerjaannya sudah diproklamirkan oleh kantor berita Associated Press (AP) yang bukan sekadar meramalkan, tetapi telah menggunakan cara baru yang lebih efisien dalam membuat berita berbobot.
Apa yang dimaksud cara cara baru yang lebih efisien oleh AP itu? Tidak lain dengan memanfaatkan “big data” di mana semua data-data yang dimiliki oleh kantor berita terbesar di Amerika Serikat bahkan di dunia itu menjadi kekayaan tersendiri, yang dapat diolah sedemikian rupa sehingga dari data itu AP bisa meramalkan apa yang kini sedang dialami atau apa yang akan terjadi.
Ambil contoh yang paling sederhana adalah bencana alam yang punya siklus tersendiri, yang dapat diamati misalnya untuk jenis badai tertentu yang akan menghantam suatu wilayah. Semua itu bisa diramalkan dengan mengolah ratusan yang bahkan ribuan data atas peristiwa sama di masa lalu atas peristiwa-peristiwa badai yang pernah terjadi.
Demikian pula kudeta di sebuah negara sesungguhnya dapat diramalkan berdasarkan siklus pemilihan umum di suatu negara, siklus pergantian kepemimpinan di negara tertentu, juga hubungan satu negara dengan negara lainnya atas kepentingan ekonomi, politik internasional serta kepentingan militer yang menyertainya.
Karena peristiwa sudah dapat diramalkan dan kemudian jurnalisme berkembang kepada apa yang disebut “interpretative journalism” di mana yang dibutuhkan pembaca adalah semacam analisa wartawan atas peristiwa atau fenomena yang terjadi yang bisa diramalkan, maka semua yang berasal dari data yang terolah tersebut menjadi barang berharga.
Saat itu AP belum bicara tentang meruyaknya media sosial yang melahirkan netizen dengan konten-konten kreatif mereka.
Bukan rahasia umum lagi pada saat ini wartawan mendapat tantangan baru dari para “content creator” yang membuat dan mengisi kontennya di berbagai platform media sosial seperti Facebook, YouTube maupun Instagram. Sehingga wajar kalau orang sudah mulai meramalkan salah satu profesi yang akan hilang dimuka bumi ini adalah profesi wartawan.
Saat ini sedang ramai dibicarakan tentang iklan yang dibuat oleh Youtuber Deddy Corbuzier, yang memasang iklan besar-besaran untuk mengajak orang-orang menghadiri podcastnya. Di dalam narasi iklan itu secara jelas Deddy Corbuzier menuliskan pertanyaan provokatif “Masih menonton TV?”
Pertanyaan itu seolah-olah mengejek stasiun televisi dan para wartawan maupun presenter di dalamnya bahwa masyarakat sesungguhnya tidak memerlukan televisi siaran lagi, sebab yang mereka perlukan adalah podcast Deddy Corbuzier tersebut!
Ada “meme” yang tersebar di media sosial yang seperti terlihat main-main, menggambarkan kerja wartawan televisi 10 tahun dengan kerja wartawan televisi yang sama saat ini.
Pada foto pertama terlihat seorang wartawan televisi (kameramen) sedang mengabarikan peristiwa menggunakan helikopter. Tetapi di gambar kedua di bawahnya terdapat gambar atau foto Drone berkamera yang juga sedang merekam peristiwa.
Kedua foto atau gambar yang disatukan atas-bawah itu berbeda kurun waktu 10 tahun, seolah-olah menyatakan secara tegas bahwa pekerjaan meliput pada masa lalu itu mahal dan berat, yang sudah seharusnya ditinggalkan dan diganti dengan pekerjaan yang lebih murah, mudah dan dengan risiko rendah, yaitu menggunakan Drone berkamera tadi.
Kalau pada masa lalu wartawan foto dan kameramen televisi sudah terbiasa meliput peristiwa penting misal kerusuhan) menggunakan helikopter dengan peralatannya yang berat dan sangat mahal itu, sekarang peristiwa yang sama dapat dilakukan netizen dengan Drone yang mereka sewa atau miliki.
Jadi, jangan terlalu kecewa atau marah-marah dengan iklan besar-besaran Deddy Corbuzier itu. Jadikan peristiwa ini momen penting untuk berubah ke arah yang lebih baik. Bukan sebaliknya menghujat kemajuan zaman.
Sumber: PepNews.com