Laduni.ID, Jakarta – Waktu saya masih nyantri di pondok Bata-Bata Pamekasan, Madura, saat kegiatan musyawarah bersama atau Bahtsul Masail (BM) sering kali bahkan hampir semuanya para musyawirin menggunakan kata “kami” dari pada “saya” ketika menyampaikan pendapatnya, kecuali saya sendiri.
Hal itu sudah lumrah sekali terucap dan menjadi pertanyaan bagi saya. Kenapa mengucapkan “kami” kenapa bukan “saya”? Padahal yang berbicara sendiri-sendiri. Berikut pendapat tiga ulama’ terkait masalah ini.
1. Menurut guru saya, al-Maghfurlahû, RKH. Thohir Zain, waktu itu kami musyawarah di ndalem beliau (mushalla) dan di pantau langsung. Beliau tidak setuju dengan pengucapan kata “kami”, beliau menegur kami dan menyarankan agar mengucapkan kata “saya” karena yang bicara hanya satu orang bukan banyak orang.
2. Menurut Prof. Dr. M. Quraish Syihab, lebih baik menggunakan kata “kami”, Karena ilmu yang kita dapat itu dari guru-guru kita. Jadi mengucapkan “kami” seakan mengikut sertakan guru-guru kita.
3. Menurut KH. Bahauddin Nur Salim Rembang (Gus Baha’), lebih baik menggunakan kata “saya”, karena khawatir di dalam menyampaikan ilmu ternyata kita salah. Jadi tidak ada pengikut sertaan pada guru-guru kita sehingga tidak jelek adab bahkan fitnah.
Saya pribadi lebih sepakat untuk menggunakan kata “saya”. Karena selain alasan yang pertama dan ketiga, saya rasa tidak perlu mengikut sertakan guru-guru kita dengan menggunakan kata “kami” sebagaimana pendapat yang kedua. Karena semua orang pasti tahu bahwa ilmu yang kita dapat pasti dari guru-guru kita.
Justru menjadi bahaya kalau kita menggunakan kata “kami” dengan alasan mengikut sertakan guru-guru kita, ternyata apa yang kita sampaikan adalah salah. Dan kesalahan itu tidak bisa kita nisbatkan juga terhadap guru-guru kita, (meskipun tidak mustahil tapi sangat kecil kemungkinan). Besar kemungkinan memang kita yang salah, salah paham atau memang tidak mengerti saat guru-guru kita (dulu) menjelaskan.
Terkait kata “kami” dalam al-Qur’an, itu ada dua faidah. Pertama Li al-Kastrah yang mempunyai arti banyak. Kedua Li al-Ta’dzîm yang mempunyai arti mengagungkan. Namun yang dimaksud kata “kami” dalam al-Qur’an adalah faidah yang kedua. Karena untuk faidah yang pertama akan terjadi interpretasi yang kemudian dibantah dengan ayat-ayat lain seperti surat al-Ikhlash.
Maka dari itu, seorang mutakallim bisa menggunakan kata “kami” dengan maksud al-Ta’dzîm Linafsihi (mengagungkan dirinya) jika mutakallim tersebut derajatnya tinggi. Seperti para waliyullah, ulama dan lain sebagainya.
Dari tulisan ini saya ingin mengenang jasa-jasa guru saya al-Maghfurlahu, Morabbi Ruhi RKH. Thohir Zain (pengasuh Pondok Pesantren Bata-Bata) yang kepundut (wafat) di usia yang masih muda. Ada dua dawuh di antara sekian banyak dawuh beliau yang sangat saya sukai.
Pertama, “Penderitaan, kemiskinan mungkin adalah beban bagi pendidikan. Tapi penderitaan, kemiskinan bukan alasan untuk tidak berpendidikan.”
Kedua, “Kebodohan adalah sebuah kesalahan. Sebuah hal yang memalukan. Tapi kepandaian dan kepintaran yang hanya menjadi pajangan dan pembiaran terhadap kezaliman adalah sebuah pengkhianatan. Dua-duanya adalah penghancur peradaban.”
Sebagai bentuk kecil dari kebesaran cinta saya kepada beliau, dulu saya berencana akan membukukan dawuh-dawuh inspiratif beliau. Kurang lebih sudah 30% saya menyusunnya, akhirnya saya batalkan sementara setelah banyak minta pendapat kepada para senior M2KD termasuk pengurus pondok. Semoga suatu saat rencana itu bisa terkabul.
Allah Yarham Ya Morabbi Wa Ruhi.
Oleh: Gus Ahmad Mo’afi Jazuli
Editor: Daniel Simatupang
https://www.laduni.id/post/read/73992/adab-memilih-bahasa-dalam-menyampaikan-ilmu.html