Melindungi Perempuan (4): Waspadai Pelecehan Seksual yang Dinormalisasikan

Di Indonesia, permasalahan moral dari hari ke hari semakin meningkat, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Berbagai kasus moral terus menghiasi layar kaca televisi maupun smartphone. Kasus pelanggaran HAM dan pelecehan seksual semakin membudaya, menjadi permasalahan yang dinormalisasikan masyarakat kita sekarang, bukan sesuatu yang luar biasa dan mengejutkan lagi. Pelecehan seksual bukan hanya sentuhan namun juga catcalling, stalking, paksaan kencan, pertanyaan yang diajukan bersifat pribadi serta pelecehan yang dilakukan di dunia maya seperti komentar negatif, DM yang merendahkan atau bersifat rayuan.

Pelecehan seksual kerap kali dianggap sesuatu hal yang wajar bahkan tak jarang masyarakat berasumsi hal tersebut merupakan bukti keramahtamahan seseorang. Namun pada kenyataannya hal tersebut merupakan bentuk keramahan palsu karena tentu saja dampaknya sangat berpengaruh bagi korban, terutama pada perempuan karena mayoritas penyintas pelecehan seksual adalah perempuan. Perempuan menjadi kehilangan rasa percaya dirinya, dibatasi geraknya, dibungkam suaranya, kehilangan rasa aman dan nyamannya bahkan hal tersebut bisa menimbulkan trauma yang berkepanjangan.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) pada tahun 2021 menyampaikan pada audiens saat mengisi acara pada Webinar Sexual Harassment 101 bahwa, hingga 03 Juni 2021 dari 3.000 lebih kasus kekerasan seksual hanya 2.000 kasus yang dilaporkan. Sehingga dari laporan tersebut bisa diambil kesimpulan bahwa masih banyak orang yang belum peduli dan menganggap wajar terkait adanya tindak pelecehan seksual dan kekerasan seksual di sekitar mereka.

Baca juga:  Inggit Ganarsih, Perempuan di Samping Soekarno

Jika pelecehan seksual masih dianggap wajar dan ketika kasus tersebut naik ke permukaan kerap kali korban mendapat perlakuan victim blaming atau disalahkan karena dianggap berpakaian seksi atau keluar malam, hal tersebut tentu saja tidak dibenarkan karena tidak ada hubungannya dengan tindakan pelecehan seksual tersebut, mengingat kasus pelecehan seksual yang terjadi pada perempuan menunjukan bahwa pelecehan seksual sering terjadi pada perempuan yang berpakaian tertutup dan terjadi di ruang public, yang seharusnya ruang public bisa menjadi ruang aman untuk perempuan namun pada kenyataannya hal tersebut berbanding terbalik dengan yang terjadi dilapangan.

Ambisi-ambisi yang menyudutkan bahkan menjatuhkan perempuan sehingga perempuan tidak leluasa melakukan geraknya bahkan menjadikan perempuan kerap kali bertanya “apakah dirinya berharga” sudah sepatutnya segera dimusnahkan. Perempuan bukan objek seksual atau makhluk lemah yang sesuka hati berhak dilecehkan. Tanpa perempuan tidak akan hadir peradaban kemanusiaan. Tanpa perempuan tidak akan hadir pendidikan yang mencerdaskan, tanpa perempuan tidak akan ada keadilan karena sejatinya keadilan dimulai dari rahim perempuan sejak janin hadir dalam kandungan.

Pelecehan seksual merupakan kasus yang serius sehingga sudah seharusnya hal tersebut tidak dinormalisasikan dan perlu adanya pencegahan, karena menurut permendikbud 30 tahun 2021 hal tersebut juga termasuk pada kekerasan seksual meskipun bersifat verbal. Upaya-upaya untuk mencegah dan mengusut tuntas kasus-kasus moral tersebut harus terus dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat, namun hingga saat ini hasilnya belum maksimal. Diluncurkannya undang-undang yang mengatur persoalan tersebut serta keberadaan lembaga-lembaga negara yang menangani persoalan-persoalan tersebut ternyata belum efektif menghentikan masyarakat Indonesia dari tindak pelanggaran moral tersebut.

Baca juga:  Selir dalam Islam (3): Harem dan Para Perempuan Timur

Upaya alternatif yang bisa dilakukan diantaranya adalah melakukan gerakan besar dan berkelanjutan yang melibatkan semua golongan atau elemen dalam masyarakat, termasuk tokoh agama dan mahasiswa baik yang tergabung dalam organisasi keagamaan, partai-partai politik, organisasi massa, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) maupun lembaga lainnya, untuk mencegah persoalan tersebut tidak semakin meningkat. Mengapa dalam hal ini perlu melibatkan tokoh agama, karena tokoh agama dinilai memiliki posisi strategis untuk menyuarakan dan mendukung pencegahan kekerasan seksual termasuk dalam mendukung pengesahan RUU TPKS.

Selain itu Peran strategis tersebut tidak hanya dalam mengedukasi masyarakat, tetapi juga dalam menangani kasus kekerasan seksual di lingkungan institusi keagamaan. Mengingat kekerasan seksual bisa terjadi dimana saja, termasuk di tempat-tempat atau ruang yang dianggap sakral, seperti pondok pesantren, masjid, gereja dan tempat ibadah lainnya. Bahkan pemuka agama sendiri tidak sedikit yang menjadi pelaku dari kasus kekerasan seksual seperti yang terjadi di Boarding School Kota Bandung yang mana pelakunya adalah Heri Irawan yang memperkosa 12 santri dan 9 diantaranya sampai melahirkan.

https://alif.id/read/siroh/melindungi-perempuan-4-waspadai-pelecehan-seksual-yang-dinormalisasikan-b241613p/