Melindungi Perempuan (2): Menciptakan Ruang Aman bagi Perempuan dengan Mengubah Cara Pandang

Baru-baru ini ketika saya scroll instagram, secara tidak sengaja saya menemukan akun komunitas peduli perempuan yang kontennya memuat kisah-kisah pengalaman perempuan yang beragam, baik pengalamannya sebagai makhluk fisik maupun pengalamannya sebagai makhluk sosial. Ketika itu, saya membaca kisah seorang perempuan bercadar yang mengalami pelecehan seksual oleh dosennya. Dalam benak saya ketika itu, “Kok bisa?”

Dalil-dalil bahwa perempuan adalah sumber fitnah, tubuhnya mengundang maksiat sehingga harus ditutupi rapat-rapat, dan harus tinggal di rumah sebagai alasan ketidakamanan perempuan, menjadi terbantahkan dengan adanya kisah ini. Faktanya, banyak kasus pelecehan dan kekerasan seksual terjadi di rumah dan dilakukan oleh orang-orang terdekat. Oleh suami, ayah, paman dan yang lainnya yang katanya adalah ruang paling aman bagi perempuan. Jika seperti ini, lantas dimanakah ruang aman perempuan?

Sebenarnya, kasus-kasus seperti ini dimana perempuan menjadi korban kekerasan seksual sudah direkam dengan jelas dalam Al-Qur’an. Ini tidak hanya terjadi di masyarakat Arab, tetapi juga di belahan dunia lain. Situasinya kurang lebih sama, perempuan dijadikan objek dalam sistem sosial.

Karena perempuan diposisikan sebagai objek, maka dia diperlakukan sebagai benda dan hak milik. Karena itu dia tidak mempunyai hak-hak atas dirinya sendiri, bahkan ketika itu perempuan  diwariskan dari milik ayahnya, kemudian menjadi milik suaminya. Ketika suaminya meninggal menjadi milik anak atau kerabat suami laki-laki.

Kepemilikan ini berimplikasi pada eksploitasi pada perempuan, dan Al-Qur’an dengan jelas merekam itu semua. Bagaimana bayi perempuan dikubur hidup-hidup, pemerkosaan dan kekerasan seksual oleh kerabat sendiri dan masih banyak lagi.

Baca juga:  Riwayat Jiang Qing, Perempuan Paling Dibenci di China 

Karena pada waktu itu perempuan dipandang sebagai objek, maka nilainya hanya sebatas sejauh mana dia bermanfaat sebagai alat seks dan mesin reproduksi. Semakin dia cantik dan menarik secara seksual, maka semakin bernilai. Sebaliknya, karena laki-laki dipandang sebagai subjek maka nilainya adalah sejauhmana dia memiliki power baik dari segi fisik maupun segi finansial.

Cara pandang jahiliyah seperti inilah yang ingin dirubah oleh Islam. Ketika Al-Qur’an menegaskan bahwa perempuan adalah manusia seperti dalam yang tertuang dalam surah Al-Hujurat ayat 13: “Wahai manusia, sungguh kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudia kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bernegara dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulian antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.”

Ini menegaskan bahwa Al-Qur’an sedang merubah cara pandang jahiliyah pada masa itu.

Karena perempuan adalah manusia, maka seharusnya juga diperlakukan sebagai manusia. Sebagaimana laki-laki, perempuan juga mempunyai hak-hak dan kewajiban yang sama sebagai manusia. Kemaslahatan dalam kehidupan harus sama-sama diwujudkan dan dinikmati bersama oleh mereka.

Maka ketika membahas tentang isu-isu perempuan, ayat inilah yang seharusnya dijadikan landasan berfikir. Bahwa laki-laki dan perempuan adalah manusia yang setara dan mereka sama-sama hamba Allah yang sama-sama tidak boleh menghamba kepada selain Allah.

Dari kisah perempuan bercadar yang saya ceritakan di atas, kita bisa melihat bahwa cara pandang jahiliyah masih dimiliki oleh sebagian besar masyarakat dalam sistem patriarki. Bagaimana tidak, ternyata standar pakaian yang sudah sangat tertutup pun, tidak menjamin perempuan terbebas dari pelecehan seksual. Ini bukti bahwa perempuan masih dipandang sebagai makhluk fisik dan makhluk seksual oleh sebagian laki-laki.

Baca juga:  Energi Nur Rofiah Mendakwahkan Keadilan Gender Islam

Maka mari kita ubah cara pandang kita menjadi cara pandang yang qur’ani dan berkeadilan. Salah satu etika dalam pergaulan Islam adalah Ghadul bashor atau menundukkan pandangan. Menundukkan pandangan disini jangan diartikan secara tekstual. Tidak harus berarti menundukkan mata setiap melihat lawan jenis, tetapi yang paling penting adalah mengontrol cara pandang kita terhadap lawan jenis. Jangan hanya melihat lawan jenis itu sebagai makhluk fisik apalagi hanya sebagai makhluk seksual.

Cara pandang yang seperti ini yang mengakibatkan hubungan laki-laki dan perempuan hanya sebatas pejantan dan betina. Jadi, walaupun fisik sudah ditutupi dari atas sampai bawah sekalipun, jika cara pandangnya tidak berubah ya tidak ada gunanya. Masih akan terjadi pelecehan seksual di manapun dan siapapun, seperti kisah perempuan bercadar tadi.

Berbeda halnya jika kita bisa merubah cara pandang kita tentang relasi perempuan dan laki-laki. Berangkat dari surah Al-Hujurat ayat 13,  bahwa perempuan dan laki-laki setara. Sama-sama mendudukkan diri sebagai makhluk intelektual yang berakal dan makhluk spiritual yang dikaruniai hati nurani. Jika pergaulannya didasarkan pada cara pandang ini, maka pergaulan mereka akan mencerdaskan kedua belah pihak. Bagaimana mereka dapat bersinergi menciptakan kemaslahatan dan mencegah kemungkaran.

Jadi di manakah ruang aman bagi perempuan?

Baca juga:  Mencari Wajah Perempuan Arab Saudi

Ruang aman itu akan tercipta jika kita semua baik laki-laki maupun perempuan bisa merubah cara pandang kita tentang konsep keadilan. Menjadikan surat Al-Hujurat ayat 13 sebagai landasan berfikir tentang relasi perempuan dan laki-laki. Implikasinya bisa kemana-mana. Mulai dari ranah privat, dari urusan ranjang, relasi suami istri, sampai ke ranah publik, organisasi, lingkungan sosial bahkan peraturan negara.

Selama 23 tahun Al-Qur’an diturunkan, selama itu pula Al-Qur’an merekam perjalanan Islam merubah tatanan sosial yang tidak adil menjadi tatanan sosial yang adil bagi seluruh umat, termasuk bagi perempuan. Maka sangat jelas bahwa misi utama Islam adalah menjadi rahmat bagi alam semesta, termasuk bagi perempuan.

Maka coba kita renungkan, cara pandang kita saat ini sudah mencerminkan Islam yang adil atau belum? Jika cara pandang kita masih menjadikan perempuan sebagai objek, maka berarti kita masih jalan di tempat, tidak bergeser dari cara pandang jahiliyah. Jika cara kita sudah memandang perempuan sebagai subjek, tetapi masih sebagai subjek sekunder maka kita masih berada di titik antara adil dan tidak adil. Tapi jika kita memandang perempuan sebagai subjek penuh sebagai manusia, maka selamat insya Allah keadilan hakiki yang menjadi misi Islam akan benar-benar kita raih.

https://alif.id/read/tmr/menciptakan-ruang-aman-bagi-perempuan-dengan-mengubah-cara-pandang-b241605p/