Jalaluddin Rumi: Mengeluhkan Ciptaan Berarti Mengeluhkan Pencipta

Marah, kesal, dan tidak terima. Itulah biasanya yang dialami seseorang ketika dihina dan dijelek-jelekkan oleh orang lain. Bahkan pada kondisi tertu, seorang akan mengeluhkan orang yang selalu menjelek-jelaknnya. Kebiasaan ini sangat negatif dalam ajaran tasawuf. Mengapa demikian?

Syekh Syamsuddin At-Tabriz  mengatakan, “Mengeluh pada cinptaan berarti mengeluh pada pencipta”. Dauh Syekh Syamsuddin ini dikutip oleh Maulana Jalaluddin Rumi dalam Fihi Ma Fihi-nya.

Jika seorang tidak terima atau bahkan mengeluhkan orang yang menghinanya, sejatinya dia mengeluh dan tidak terima pada dzat yang menciptakan orang orang tersebut. Sebab, pada hakikatnya hinaan itu tidak akan terjadi kecuali atas kuasa Tuhan.

Masih dalam kitab yang sama, Rumi juga mengutip berkataan Syekh Syamsuddin, “Permusuhan dan amarah bagimu laksana api yang menakutkan. Ketika kamu melihat keburukan, kamu akan melompat dari api; padankanlah agar ia kembali sirna di tempatnya semual. Jika kamu semakin mengobarkan dengan pemantik jawaban dan ungkapan bahtahan, maka keluhan itu akan menemukan jalan dan akan datang berulang kali setelah tiada, dan akan semakin sulit dipadamkan.”

Setidaknya ada dua pesan yang bisa diambil dari dauh Syekh Syamsuddin ini. Pertama, Merupakan suatu hal yang logis jika seorang marah ketika dihina atu diejek. Namun amarah tersebut hendaknya harus dihentikan sesegera mungkin, bagaikan memadamkan api agar kembali sejuk. Kedua, Hinaan atau ejekan orang lain tidak perlu dilawan dan dibalas. Sebab, hal itu bukan malah membuat orang tearsebut berhenti menghina. Justru dengan itu dia akan terus menghina. Karena nanti dia akan beranggapan hinaanya berhasil dan akan terus diulang kembali.

Baca juga:  Ngaji Tasawuf di Belanda: dari Sayid Utsman hingga Snouck Hurgronje

Oleh karena itu, Jalaluddin Rumi menyebutkan ada dua cara agar seorang bisa menundukkan musuh yang seperti itu.

Pertama, dengan mengatahui bahwa musuh yang sebanarnya adalah pikirannya yang hina, bukan daging maupun kilitnya.

أن عدوك ليس لحمه وجلده، إنه فكرته الرديئة؛ عندما تدفع عنك بكثير من الشكر ستدفع عنه لا محالة أيضا.

Bahwa yang  menjadi musuhmu bukanlah daging dan kulitnya, melaikan pikirannya yang hina. Saat pikirannya dicegah dengan banyak bersyukur, ia pasti akan tercegah.

Dengan pengetahuan sepeti ini, seorang tidak akan menafikan tabiat bahwa manusia adalah Hamba Kebaikan. Dan, dengan tidak membalas, orang yang mengejek tersebut akan menganggap bahwa ejekannya tidak membuahkan hasil. Seperti anak-anak, ketika mereka mengejek salah satu temannya dan temannya membalas dengan ejekan pula, maka mereka akan lebih bersemangat, sambil berkata dalam hati, “Hore, ejekan kita telah berhasil”. Tapi ketika temannya tidak terpengaruh oleh ejekannya. Maka tentu mereka akan kehilangan minatnya untuk mengejek lagi.

Kedua, dengan menampakkan sifat pemaaf. Ketika sifat pemaaf muncul dari dalam diri seorang yang dihina, maka musuhnya akan tahu bahwa tuduhannya adalah kebohongan dan pandangan dirinya terhadapnya akan keliru.

الطريقة الثانية : أنه عندما تظهر فيك صفة العفو  هذا يعلم أن ذمه كذب، وأنه نظر نظرا أعوج؛ لم يرك وقف ما أنت عليه. ويغدو معلوما أيضا أن المذموم هو لا أنت. ولا حجة أكثر إلحاقا بالعدو كذبه من أن يغدو كذبه ظاهرا باديا للعيان. وهكذا فإنك بمدحه وشكره إنما تقدم له السم؛ فبينما هو يظهر نقصانك إذا أنت أظهرت كمالك؛ لأنك محبوب الحق

Baca juga:  Kantuk yang Tak Berujung Lelap: Liminalitas Dalam Kebudayaan Jawa Tradisional

Cara kedua adalah, ketika sifat pemaaf muncul dalam dirimu, musuhmu akan tau bahwa tuduhannya adalah bohong dan pandagan dirinya terhadapmu keliru karena ia tidak melohat dirimu yang sebenarnya. Dari bisa diketahui yang hina bukanlah kamu, melainkan dirinya.

Rumi juga menyebutkan bahwa tidak dibutuhkan banyak alasan bagi seseorang untuk mengejar musuhnya jika kebohongan yang dibuat oleh sang musuh telah nyata dan tampak dalam pandangan mata. Tak perlu membalas jika ada orang yang seperti itu. Bahkan, kata Rumi, Ketika seseorang memuji dan bertima kasih pada musuhnya/atau orang yang menghinanya, sejatinya seorang tersebut sedangan meracuni musuhnya itu.

Selain itu, kata Rumi, ketika ada orang menampakkan kekurangan kita kemudian kita bersabar bahkan berterima kasih, maka secara tidak langsung kita telah menampakkan kesempurnaan kita. Sebab, dari itu seorang akan masuk olongan yang dicintai oleh Allah. Golongan yang dimaksud adalah golongan para pemaaf yang disebutkan dalam Al-Qur’an Surah Ali ‘Imron ayat 134:

{وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ} [آل عمران: 134]

Dan orang-orang yang memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Ali ‘Imron:134)

Dari penjelasan Rumi ini kita bisa belajar bahwa tak perlu kita membalas orang yang menghina dan yang menjelek-jelekan kita. Cukuplah kita balas dengan kesabaran dan rasa terimakasih kepadanya. Karena dengan itu, orang tersebut dengan sendirinya.

Baca juga:  Warisan Tasawuf Buya Hamka

Terakhir, salah satu puisi Rumi mengatakan:

إنتف لحامهم برفق برغم أنهم أقوياء# ودق رقابهم بقوة برغم أنهم طوال وضخام

Meski mereka kuat, cabutlah bulu-bulu jenggot mereka dengan kuat.

Pukullah budak-budak mereka dengan kuat, meskipun postur mereka tinggi dan gemuk

https://alif.id/read/bus/jalaluddin-rumi-mengeluhkan-ciptaan-berarti-mengeluhkan-pencipta-b241645p/