Dalam teori sosiologi yang digagas Piere Bourdieu dikenal adanya berbagai jenis kapital. Menurut Bourdieu, kapital tidak hanya ekonomi yang bersifat material, tetapi juga ada kapital sosial, kapital kultural dan kapital simbolik. Berbagai jenis kapital ini tidak datang begitu saja dan diperoleh secara mudah tetapi merupakan akumulasi sejarah dan penguasaan pada ranah tertentu sebagai hasil dari kerja keras (Bourdieu, 1986; 243). Konsep kapital yang digagas Bourdieu ini menarik untuk dijadikan pijakan pemikiran dalam mencermati kemandirian ekonomi pesantren.
Penggunaan teori Bourdieu ini menarik karena dalam pandangan Bourdieu, analisis sosial adalah upaya untuk menyingkap dan menyingkirkan ketiadakadilan di masyarakat yang selalu ditutupi oleh pihak-pihak tertentu sehingga menjadi seolah-olah tidak ada. Untuk mewujudkan upaya tersebut, maka analisis sosial selalu bertujuan untuk membongkar struktur-struktur dominasi ekonomi atau simbolik yang ada di masyarakat (Reza A.A. Wattimena, 2012). Menurut saya, gagasan Bourdieu ini relevan dengan situasi pesantren dan kondisi sosial politik Indonesia saat ini sehingga tepat dijadikan sebagai alat analisis.
Dalam konsepsi Bourdieu, kapital sosial adalah kapital yang dimiliki pelaku (individu atau kelompok) dalam hubungannya dengan pihak lain yang memiliki kuasa (Bourdieu, 1993 dalam Haryatmoko, 2003). Kapital sosial ini berbentuk kumpulan sejumlah sumber daya, baik aktual maupun potensial yang terhubung dengan kepemilikan jaringan atau relasi, yang sedikit banyak telah terinstitusionalisasi dalam pemahaman dan pengakuan bersama. Kapital sosial sangat tergantung pada luasnya jaringan koneksi yang dapat dimobilisasi secara efektif. Dari sini Turner membuat definisi sederhana bahwa, “kapital sosial adalah posisi atau relasi dalam suatu kelompok serta jaringan-jaringan sosial” (Turner, 1997; 512).
Kapital kultural adalah “nilai-nilai yang bisa dipertukarkan, yang merupakan akumulasi bentuk kultur yang berkembang dalam dunia sosial”. Turner mendefinisikan kapital kultural dalam bentuk “keterampilan informal yang bersifat interpersonal, adat kebiasaan, kelakuan, gaya bertutur (bahasa), tingkat pendidikan, cita rasa dan gaya hidup” (Turner, 1997; 512). Kapital ini biasanya didapat dari –setidaknya- lingkungan keluarga, institusi pendidikan dan pengakuan secara sosial.
Kapital simbolik adalah berbagai prediket yang dilekatkan pada diri indovidu maupun kelimpok yanag dapat meningkatkan nilai tawar dan nilai tukar di hadapan kelompok lain. Kapital simbolik ini mengacu pada prestise, ketenaran, kehormatan yang berhasil diakumulasikan oleh aktor yang dibangun di atas dialektika pengetahuan (connaisence) dan pengertian (reconnaissence) (Bourdieu: 1993).
Menurut Turner, kapital simbolik sangat terkait dengan cara penggunaan simbol-simbol untuk melegitimasi atau mengabsahkan posisi individu atau kelompok di berbagai level dan pada konfigurasi dari tiga bentuk kapital sebelumnya (ekonomi, sosial dan kultural) (Turner, 1997; 512). Kapital simbolik pada hakikatnya menjadi kerangka yang membayang-bayangi bentuk kapital lainnya. Sebagaimana kapital kultural dan sosial, untuk memperoleh kapital simbolik ini juga perlu proses sosial, karena sangat tergantung pada aspek pengakuan masyarakat luas berdasarkan status, prestise, kualitas spesifik, kemampauan dan aset yang dimiliki.
Kapital ekonomi adalah suatu kapital yang berbentuk barang-barang produksi seperti uang dan beberapa obyek material yang bisa digunakan untuk menghasilkan barang dan jasa (Bourdieu dalam Turner, 1997; 512). Dalam dunia modern kapital ekonomi ini dianggap yang paling penting karena memiliki derajat rasionalitas (terutama rasionalitas instrumental) yang paling tinggi. Bourdieu juga tidak mengingkari bahwa kapital jenis ini merupakan bentuk rasionalitas yang tertinggi dibanding kapital lainnya. Sebab dia memiliki nilai nominal tertentu, punya eksistensi yang independen.
Pada era kolonial dan era awal kemerdekaan, pesantren dapat mengakumulasikan keempat kapital tersebut. Sistem ekonomi ganda (dual economic) yang berlaku pada masa kolonial membuat pesantren dapat mempertahankan kapital ekonomi meskipun menghadapi tekanan politik dari pemerintah kolonia. Hal ini terjadi karena sistem ekonomi ganda memberikan peluang pada ekonomi tradisional dan agraris yang dimiliki pesantren tetap hidup. Kondisi ini berlangsung hingga era Orde Baru lahir.
Pada era Orde Baru berlaku kebijakan yang menggerus ekonomi pesantren, yaitu diterapkannya sistem ekonomi kapitalis liberal yang bertumpu pada sektor industri manufaktur yang menggerus ekonomi tradisional-agraris dan proses marginalisasi pesantren. Kedua kebijakan ini menutup akses eknomi pesantren hampir secara total. Di era Orde Baru hampir seluruh akses ekonomi, terutama yang strategis dan menguntungkan (roovitable) diberikan pada kelompok pengusaha modern yang dianggap profesional dengan dukungan para birokrat dan teknokrat. Karena pesantren dianggap sebagai kelompok tradisional, dipandang tidak sesuai (compatible) dengan budaya ekonomi modern, maka pesantren tidak diberi akses di bidang ekonomi.
Akibat dua kebijakan ini kapital ekonomi pesantren nyaris habis. Kalaupun masih tersisa hanya pada level subsisten dan tidak dapat dijadikan topangan untuk mengelola pesantren. Memasuki era reformasi pesantren kehilangan hampir seluruh kapital ekonomi, yang tersisa tinggal tiga kapital; sosial, kultural dan simbolik. Artinya dalam kontekskekinian, kemandirian ekonomi pesantren akan sangat tergantung pada kemampuan mengembangkan, menggali dan mengelola ketiga kapital tersebut agar dapat dikonversi secara maksimal menjadi kapital ekonomi.
Era reformasi yang menerapkan sistem politik bebas dan terbuka, merupakan kesempatan baik bagi pesantren untuk melakukan konversi ketiga kapital tersebut menjadi kapital ekonomi. Kompetisi yang bebas dan terbuka di ranah politik telah meningkatkan nilai tukar kapaital sosial, kultural dan simbolik. Demikian juga pada ranah ekonomi, proses pembangunan sektor industri yang berjalan secara masif dan perebutan pangsa pasar suatu produk yang kompetitif memerlukan dukungan kapital sosial, kultural dan simbolik. Di sini terjadi “apresiasi” yaitu peningkatan nilai tukar ketiga kapital yang dimiliki pesantren terhadap kapital ekonomi, sehingga pesantren dapat melakukan “revaluasi” yaitu meningkatkan nilai atas kapital yang dimiliki. Situasi ini merupakan peluang bagi pesantren untuk membangun kemandirian ekonomi dengan memanfaatkan ketiga kapital yang dimiliki.
Namun demikian, satu hal yang perlu diingat adalah, tuntutan peningkatan sklil managerial dan penguasaan budaya enterpreneur yang profesional di kalangan pesantren. Tanpa penguasaan dua hal ini, proses konversi ketiga kapital tersebut akan memiliki risiko negatif terhadap pesantren. Pertama, proses konversi kapital tidak dapat berjalan secara effektif. Alih-alih membuat kebijakan “apresiasi” dan “revaluasi” yang terjadi juatru “depresiasi” dan “devaluasi” yang dapat menimbulkan “inflasi” atas ketiga kapital yang dimiliki oleh pesantren.
Fenomena ini sudah mulai tampak nyata di kalangan pesantren. Banyak kapital sosial, kultural dan simbolik pesantren yang dikonversi dengan nilai yang sangat murah karena hanya untuk memenuhi kepentingan individu atau sekedar menopang gaya hidup dari beberapa orang dari kalangan pesantren atau para calo yang memiliki hubungan dekat dengan pesantren. Yang oleh Zastrouw disebut dengan kelas ongkang-ongkang, (Zastrouw, 2009)
Risiko negatif kedua dari proses konversi kapital yang tidak dibarengi dengan kemampuan skill managerial dan budaya enterpreneur yang profesional adalah terjadinya demoralisasi pesantren, khususnya para kyai. Fenomena ini juga mulai terlihat. Beberapa kyai dan pesantren kehilangan previlise dan kepercayaan (trust) karena preses konversi kapital yang tidak dibarengi dengan kemampuan skill managerial yang profesional.
Selian peningkatan skill managerial yang profesional, hal lain yang perlu dilakukan agar pesantren dapat melakukan konversi kapital secara efektif dan membawa dampak nyata untuk kemandirian ekonomi pesantren adalah pengembangkan (bukan mengubah) habitus pesantren. Artinya, membentuk habitus baru untuk menambah habitus pesantren yang sudah ada, yaitu habitus enterpreneur. Hal ini dapat dilakukan dengan mentransformasikan dan mengaktualisasikan niai-nilai pesantren agar sesuai dengan budaya dan nilai-nilai enterprenur.
Melalui cara ini pesantren tidak saja dapat mewujudkan kemandirian ekonomi. Tetapi jaga dapat kembali mengakumulasikan keempat kapital yang pernah dimiliki. Dengan demikian pesantren tidak saja mandiri secara ekonomi, tetapi juga secara sosial, politik dan kultural.
Pilihan Redaksi
https://alif.id/read/ngatawi/kemandirian-ekonomi-pesantren-dalam-teori-kapital-b241652p/