Warisan berharga itu, adalah tradisi (tradition). Islam, sebagai agama Rahmatan Lil ‘Alamin memberikan pencerahan untuk semesta alam, yang dalam hal ini adalah mengadakan tradisi sebagai wujud rasa syukur kepada Allah atas segala nikmat-Nya, maka tradisi selalu berjalan beriringan dengan agama-agama di Indonesia, tidak terkecuali Islam. Namun, ada segelintir orang maupun kelompok yang ingin memisah bergandengannya ajaran Islam dengan nilai-nilai tradisi.
Seperti yang ketahui bersama, kita dibuat gempar dengan adanya video yang menunjukkan seorang pria menendang sebuah sesajen di sebuah lokasi meletusnya Gunung Semeru. Dengan laku “membela Allah,” laki-laki yang disinyalir berasal kelompok Islam fundamentalisme tersebut, merusaka dan membuang sesajen sembari mengumandang “Allahuakbar.” Menurutnya, sesajen ini lah yang telah mendatangkan murka Allah sehingga meletuslah Gunung Semeru beberapa waktu lalu.
Padahal, sesajen yang ditendang seorang “pria aneh” tersebut adalah sesajen untuk memperingati empat puluh hari meletusnya Gunung Semeru. Menghimpun dari NU Online (10/1/2022), dalam memperingati empat puluh hari pasca meletusnya Gunung Semeru, warga Prononjiwo Lumajang membaca doa tolak balak, Yassin, dan doa lain sesuai dengan arahan salah satu Kiyai setempat. Pagi harinya, warga tersebut memasang sesajen yang dalam bahasa Madura adalah patek’an.
Setelah kita membaca kejadian di atas, kita semua tahu dan paham bagaimana kondisi keberagamaan di Indonesia saat ini. Masih hinggapnya penyakit yang bernama kelompok fundamentalisme Islam di Indonesia, merupakan sebuah alamat menuju rusaknya peradaban-peradaban luhur yang di dalamnya.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Prof. Dr. K.H. Said Aqil Siradj yang dalam berbagai acara seminar maupun pengajian yang saya himpun dari Youtube, Kiyai Said menjelaskan bahwa hancurnya sebuah bangsa maupun negara disebabkan oleh rusaknya peradaban-peredaban dan tradisi yang disebabkan oleh hadirnya kelompok-kelompok fundamentalisme yang mengatasnamakan Islam. Misalnya, perusakan situs-situs arkeologi, makam para ulama-ulama di Timur Tengah oleh kelompok fundamentalisme Islam, semacam ISIS, dan lain-lain.
Tentunya, kita tidak ingin seperti apa yang telah dikemukakan di atas terjadi di Indonesia. Kelompok fundamentalisme Islam yang hinggap di Indonesia harus segara kita sembuhkan dengan mencegah dan membearantasnya sampai ke akar-akarnya. Memang, kelompok tersebut adalah penyakit yang merugikan bangsa Indonesia.
Maka sedari itu, sudah jelas kiranya bahwa laki-laki yang membuang dan merusak sesajen di lokasi meletusnya Gunung Semeru mengidap penyakit karena ia miskin akan khazanah ke-Islaman klasik dan pemahaman akan tradisi. Hal ini dikarenakan, kelompok fundamentalisme Islam tidak memberikan ruang kepada akal sehingga terbentuklah pemahaman terhadap nash bersifat normatif dan literatif.
Senada apa yang di ungkapkan Fazlur Rahman, bahwa kemunculan kelompok fundamentalisme di negeri-negara Muslim di dunia tidak memberikan alternatif atau tawaran yang baik tentang masa depan Islam. Karena mereka mengidap penyakit yang cukup berbahaya, yaitu mendorong kita kepada pemiskinan intelektual karena pandangan-pandangan literal dan tekstual yang tidak memberikan apresiasi terhadap khazanah ke-Islaman klasik yang kaya dengan pemikiran alternatif (Abdurrahman Wahid, 2011: xxxii).
Tradisi sebagai warisan, wajib kita jaga. Karena hal ini akan berdampak kepada kemajuan peradaban umat Islam Indonesia kini dan nanti. Dalam usaha ini, peran intelektual menjadi basis utama, mengapa demikian? Menjaga tradisi sangatlah erat kaitannya dengan kegiatan ijtihad. Hal ini bisa kita tengok di karya Seyyed Hossein Nasr yang berjudul Intelektual Islam (2009). Para orientalis beranggapan tidak majunya peradaban bangsa Timur-Islam disebabkan oleh tertutupnya pintu ijtihad selama seribu tahun. Meskipun di lain pihak asumsi orientalis tersebut dibantah oleh Nasr dalam karyanya tersebut. Namun realitanya?
Berkaca pada kejadian ditendangnya sesajen di Gunung Semeru yang dilakukan oleh seorang pria dari kelompok fundamentalisme Islam, nampak masih kita rasakan sempitnya ruang akal sebagai lokomotif dalam ber-ijtihad untuk merumuskan solusi dalam menyikapi berbagai masalah-masalam kekinian umat Islam di Indonesia saat ini. Terjadinya masalah keberagamaan dan perselisihan perspektif cara beribadah di internal umat Islam yang sering terjadi di Indonesia, membuat cita-cita kemajuan dan pembaruan pemikiran umat Islam Indonesia semakin sempit untuk terwujud.
Kita secara sadar harus segera mengakhiri perkara di atas mengingat apa yang diungkapkan oleh Cak Nur (Nurcholis Majid), bahwa konflik mengenai hal-hal yang ukhrowi akan membuat kita kehilangan psychological striking force di era modernisasi yang kita tamapaki saat ini. Maka, Cak Nur menawarkan sebuah konsep di mana umat Islam harus memiliki pembaruan pemikirannya melalui idea of progress dan sikap terbuka (Nurcholis Majid, 2013: 252-254). Dalam hemat saya, kita tidak lagi mempermasalahkan hal-hal yang berkenaan dengan tradisi maupun sesajen. Selain itu, kita sepakat apa yang dikemukakan Gus Dur mengenai pribumisasi Islam. Bahwa pribumisasi Islam merupakan sebuah upaya merekonsiliasi Islam dengan budaya lokal, misalnya sesajen agar budaya tersebut tidak hilang (Abdurrahman Wahid, 2011: xxxiv).
Kemajuan bangsa Indonesia, khususnya umat Islam harus berangkat dari tradisi-tradisi lokal yang bijaksana (local wisdom) wajib kita uri-uri bersama. Menjaga nilai-nilai tradisi lama merupakan sebuah ancang-ancang menghadapi modernisasi maupun globalisasi supaya umat Islam Islam tidak kehilangan jati dirinya. Hal ini senada dengan kaidah fikih, yaitu Al-muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah (Memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik). Sekian.
https://alif.id/read/fanam/sesajen-tradisi-dan-harapan-kemajuan-umat-islam-b241763p/