Kepunyaan
Allah-lah segala sesuatu yang ada di seluruh langit, dan segala sesuatu yang
ada di bumi. Dan sungguh telah Kami pesankan kepada mereka yang telah menerima
Kitab Suci sebelum kamu serta padamu juga, hendaknya kamu semua bertaqwa kepada
Allah. Jika kamu ingkar, maka (ketahuilah) sesungguhnya kepunyaan Allah-lah
segala sesuatu yang ada di seluruh langit dan segala sesuatu yang ada di bumi.
Allah itu Maha Kaya lagi Maha Terpuji (QS. al-Nisa’: 131)
Taqwa sebagai Kesadaran Ketuhanan
Dari kutipan ayat di atas didapati penegasan bahwa pesan itu sama
untuk para pengikut Nabi Muhammad saw (orang-orang Muslim) dan mereka yang
menerima kitab suci sebelumnya, yaitu pesan taqwa kepada Allah. Sebagai penegasan terhadap
identitas tersebut, al-Qur’an memuat 245 kali kata taqwa dengan segala
derivasinya. Taqwa memiliki
barometer yang telah ditentukan Allah secara jelas sesuai dengan kadar
kemampuan manusia, yang dengannya manusia terklasifikasikan menjadi orang-orang
yang beruntung dan orang-orang yang merugi (al-Faaizuun
wa al-Khaasiruun).
“Taqwa” biasa dijelaskan sebagai sikap “takut
kepada Allah” atau “sikap menjaga diri dari perbuatan jahat” atau “sikap patuh
memenuhi segala kewajiban serta menjauhi larangan Allah”. “Takut kepada Allah”
mencakup segi positif “taqwa”;
sedangkan “sikap menjaga diri dari perbuatan jahat” menggambarkan satu segi
saja dari keseluruhan makna “taqwa”.
Dan “sikap patuh memenuhi segala kewajiban serta menjauhi larangan Allah”
terdengar terlampau legalistik. Taqwa juga menjangkau aspek yang sangat
luas meliputi Iman, Islam dan Ihsan yang berulang kali disebutkan dalam
al-Qur’an dengan beragam derivasi. Oleh sebab itu, pemahaman yang mendalam
terhadap makna taqwa menjadi
sangat urgen mengingat bahwa ia hadir sebagai tema global yang telah mengundang
banyak penafsiran.
Muhammad
Asad dalam The
Message of The Qur’an, menerjemahkan “taqwa” sebagai God-consiousness,
“kesadaran ketuhanan”, yang dalam Kitab Suci diisyaratkan sebagai
tujuan diutusnya para Nabi dan Rasul, yaitu kesadaran Tuhan Maha Hadir (omnipresent)
dan kesediaan menyesuaikan keberadaan diri seseorang di bawah cahaya kesadaran
itu (QS. al-Baqarah:115; al Hadid:4).
Kesediaan menyesuaikan
keberadaan diri seseorang di bawah cahaya kesadaran akan kehadiran Tuhan dalam
hidup itu berarti kesediaan menjalani hidup dengan standar akhlaq yang
setinggi-tingginya, yaitu amal saleh, tindakan-tindakan bermoral atau
berperikemanusiaan. Dalam semangat kesadaran akan adanya Tuhan Yang Maha Hadir
dan Maha Tahu itu, hidup berakhlaq bukan lagi masalah kesediaan, tapi
keharusan. Karena pesan itu tidak lain adalah kelanjutan wajar tabiat alami
manusia. Pesan itu pada prinsipnya sama untuk sekalian umat manusia dari segala
zaman dan tempat. Pesan itu universal sifatnya, baik secara temporal (untuk
segala zaman) maupun secara spatial (untuk segala tempat). Itu sebabnya
terdapat kesatuan esensial semua pesan Tuhan, khususnya pesan yang disampaikan
kepada umat manusia lewat agama-agama “samawi” (“berasal dari langit,” yaitu mempunyai
kitab suci yang diwahyukan Tuhan kepada seorang Nabi atau Rasul).
Tauhid dan Implikasi Sosial
Paham
Tauhid atau Ketuhanan Yang Maha Esa adalah inti ajaran al-Qur’an. Kita
diperintahkan untuk tunduk (islam)
kepada Tuhan yang Maha Esa itu. Dan ajaran inti ini telah disampaikan Nabi
kepada ummat manusia tanpa perbedaan. Dengan kata-kata lain, ajaran al-Qur’an adalah
universal. Segi-segi yang mendukung universalitas al-Qur’an, yaitu, Pertama,
seruan al-Qur’an tertuju kepada seluruh ummat manusia, tanpa memperdulikan
keturunan, ras dan lingkungan budayanya. Kedua, fakta bahwa al-Qur’an
menyeru semata-mata kepada akal manusia dan, karenanya, tidak merumuskan
dogma yang bisa diterima atas dasar kepercayaan buta semata; dan akhirnya,
fakta bahwa al-Qur’an tetap seluruhnya tak berubah dalam kata-katanya sejak ia
diturunkan empat belas abad yang lalu dan akan selamanya demikian keadaannya,
karena ia dicatat sedemikian luas, sesuai dengan janji ilahi, “Dan
Kami–(Tuhan)–lah yang pasti menjaganya” (Q. Al-Hijr:
9). Berdasarkan tiga faktor ini maka al-Qur’an merupakan tahap akhir wahyu
Tuhan, dan Nabi Muhammad adalah penutup segala Nabi.
Menyelami lebih dalam makna tauhid merupakan langkah awal yang harus dilakukan guna
menemukan korelasi maupun konsekuensi tauhid dalam
kehidupan sosial. Sungguh naïf apabila ajaran tauhid
tidak disandingkan dengan kehidupan sosial. Masyarakat luas sebagai sasaran
dakwah, serta lingkungan tempat tinggal, merupakan lahan menyebarkan kebaikan.
Dalam Islam iman tidaklah berarti apa-apa, bila
tetangga dan saudara seiman masih merengek karena kelaparan. Bahkan dikatakan
sungguh sebuah ironi ketika makanan yang kita masak tercium baunya oleh
tetangga namun kita tidak membagikanya juga.
Manusia-tauhid dan umat-tawhid memikul kewajiban untuk
memerintahkan manusia menegakkan suatu tatanan sosial yang adil dan etis.
Banyak ayat al-Quran yang mengutuk ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan, dan
menyuruh manusia untuk menegakkan suatu tatanan sosial adil dan etis. Islam
dengan spirit kemanusiaannya merupakan pondasi dalam bergerak; dan tauhid adalah orientasinya. Diri sendiri beserta keluarga
sebagai unit terkecil dari masyarakat merupakan bagian yang paling ideal dalam mengejawantahkan
nilai-nilai ketauhidan. Mari berlomba-lomba menjalani kehidupan yang bertawhid dalam kehidupan sehari-hari dengan menebar kebajikan ke
sesama. []
Oleh: Ustadz Asep Saepullah, anggota Komisi Pengkajian dan Penelitian, MUI dan Dosen
IIQ Jakarta.
https://www.arrahmah.co.id/2021/04/pesan-taqwa-dan-implikasi-sosial-tauhid.html