Membumikan Fikih Ekologi

Hingga saat ini, Indonesia masih terus menghadapi fenomena alam yang membawa kita menuju krisis lingkungan. Berbagai macam bencana yang terjadi, telah sepatutnya mendapatkan perhatian lebih dari manusia guna menumbuhkan jiwa kontemplatif antara manusia dan alam. Segala bentuk anomal telah memberikan impres yang buruk akan bahayanya perubahan iklim di negeri ini.

Curah hujan yang tak menentu, kemarau yang berkepanjangan, dan peristiwa lainnya, seharusnya cukup menyadarkan manusia akan bahayanya kerusakan lingkungan. Tentunya segala kerusakan alam ini tidak terjadi secara fatalistik. Melainkan bentuk kecerobohan manusia dalam memandang alam –antroposentrisme- sebagai objek eksploitasi semata.

Sejalan dengan ini, al-Qur’an mendiskripsikan bahwa kerusakan alam yang terjadi, tidak lain adalah dampak dari ulah tangan manusia itu sendiri (Ar-Rum : 41).

Hemat saya, intervensi ajaran agama harus kembali digalakkan dalam konteks ekologi. Upaya ini dapat dilakukan dengan memperkenalkan kembali kepada masyarakat tentang konsep fikih ekologi.

Konsepsi Fikih Ekologi

Kehadiran fikih bertujuan memandu tindak-tanduk manusia yang berkembang di tengah realitas masyarakat. Dengan rangkaian hukum yang dinamis, fikih selalu hadir untuk menjawab fenomena yang muncul sesuai dengan kemajuan peradaban.

Para ulama fikih tidak merumuskan konsep pelestarian lingkungan secara tegas dan rinci. Hal ini dapat kita lihat dari kitab-kitab ulama klasik yang tidak membakukan konsep kelestarian lingkungan hidup secara formal, melainkan sebatas nilai instrinsik. misalnya konservasi air dalam bab thaharah (bersuci).

Baca juga:  Muhammad Abed al-Jabiri dan Kritik Nalar Arab-Islam

Kendati demikian, Islam tidak absen dalam membahas isu-isu lingkungan. hal ini dapat dilihat dalam universalitas ajaran Islam (al-Qur’an dan Hadis).

KH. Ali Yafie seorang ulama fikih kontemporer berusaha merintis pemahaman fikih yang ramah lingkungan (baca: Fiqh Lingkungan). Pendekatan ini muncul untuk merespon perilaku ekploitasi manusia yang meraup sumber daya alam secara tidak wajar, sehingga meninggalkan jejak-jejak kerusakan terhadap keseimbangan ekosistem.

Fikih ekologi merupakan terobosan (istilah) baru dalam menjawab problematika lingkungan serta lahirnya konsep lingkungan. konsep tersebut dipadukan dengan nilai-nilai keagamaan yang bermaksud menjadikan lingkungan sebagai bahan kajian material berdasarkan sudut pandang agama.

Syekh Dr. Yusuf al-Qaradawi cendikiawan muslim dari mesir, menambahkan pembahasan konservasi lingkungan (khifzu al-Bi’ah) untuk menjadi bagian dari maqasid as-syariah. Menurutnya fikih ekologi merupakan tuntutan untuk melindungi kelima tujuan syariat, yaitu menjaga jiwa, agama, akal, harta dan nasab..

Dasar konsep fikih ekologi ini sangat berkaitan erat dengan ajaran  Islam. Salah satu yang paling fundamental. Bahwa Islam diturunkan sebagai Rahmatan lil alamin, tentunya rahmat ajaran Islam tidak hanya terbatas pada aspek teologi semata, namun menyangkut aspek sosial, humanisme dan lingkungan.

Berangkat dari kaidah fikih “kemudharatan harus dihilangkan”, kiranya kaidah ini dapat menjadi generator awal bagi masyarakat, untuk dapat menepis segala perilaku yang bertendensi menciptakan kerusakan lingkungan. Secara teknis dapat merujuk pada Undang-undang Pelindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) no 32 tahun 2009.

Baca juga:  Pesan Kesalehan Kardus

Secara historis, nabi telah menumbuhkan nilai spritualisasi ekologi sejak 14 abad silam. Misalnya, nabi melarang para sahabat untuk menebang pohon –bahkan dalam kondisi perang, tidak membuang sampah, hingga larangan membuang air seni di bawah pohon berbuah. Hanya saja pembahasan tersebut tidak terlalu ditekankan oleh ulama terdahulu, dikarenakan kerusakan lingkungan tidak separah yang di alami manusia modern saat ini.

Membangun Kesadaran Spiritual

Manusia dengan pengetahuannya telah sampai pada apa yang dicanangkan oleh Francis bacon “Knowladge is power”. Apakah kekuasaan itu merupakan berkat atau malapektaka bagi umat manusia. semua itu terletak pada siapa yang menggenggam kekuasaan tersebut.

Ilmu pengetahuan yang besar ini mengharuskan seorang ilmuwan yang mempunyai landasan moral yang kuat {baca: Hakikat Ilmu). Jika tidak demikian, maka kerusakan lingkungan akan berdampak pada perubahan iklim yang signifikan.

Agama hadir untuk mengisi ruang hampa tersebut. Berperan mengawal ilmu pengetahuan untuk tetap berorientasi pada kemaslahatan manusia. Langkah pertama, menanamkan pemahaman yang mendalam melalui aspek keagamaan tentang pentingnya perawatan lingkungan. Sebab agama mengangkut apa yang dikutip oleh Ulil Abshar dari teolog Lutheran Paul Tilich tentang “The Ultimate Concern” (baca: Saintifik Religius).

Muhammad Natsir mengartikannya sebagai suatu problem kepentingan yang mutlak, yang berarti jika seseorang membicarakan soal agamanya maka ia tidak dapat tawar menawar. Jika pemahaman mengenai fikih ekologi ini bisa ditanamkan kepada masyarakat, maka akan menjadi sebuah doktrin agama yang memberikan dampak positif terhadap ekosistem dan pelestarian lingkungan (ecotheology).

Baca juga:  Bocah Bersenandung “Maju”

Perhelatan ini membutuhkan para cendikiawan, kyai, serta para ulama untuk membentuk moral masyarakat dalam menumbuhkan prinsip kasih sayang dan kepedulian terhadap alam. Dengan cara menghadirkan nilai asketisme di tengah realitas gaya hidup saintisme. Sehingga kehadiran agama akan tampak secara nyata dalam bentuk pencegahan terhadap perilaku-perilaku yang dapat memperkosa alam (eksploitasi).

Kedua, afirmasi pemerintah untuk mengayomi masyarakat dalam memberikan edukasi dan Punishment harus terus digalakkan. hal ini dilakukan sebagai bentuk ikhtiar pemerintah dalam menepis segala kerusakan lingkungan.

Di samping itu, “kebijakan Pemerintah harus beriringan dengan kemaslahatan masyarakat”. Artinya, jika suatu proyek pembangunan dikhawatirkan dapat memberikan mudharat yang besar terhadap keseimbangan ekosistem, maka keputusan untuk tidak melanjutkan pembangunan pada daerah tersebut adalah kebijakan yang sepatutnya diambil. Keputusan ini memiliki peran penting untuk menyatukan relasi pemerintah dan masyarakat dalam membangun kehidupan yang ramah lingkungan.

Sebagai Penutup, Keselamatan lingkungan ini menjadi tanggung jawab setiap induvidu untuk menjaga anugrah yang telah dilimpahkan Tuhan kepada manusia. Khususnya, umat muslim –duta Rahmatan lil Alamain- diharapkan menjadi inisiator dalam menjaga keutuhan alam dengan terus mengembangkan pembicaraan seputar fikih ekologi ini. Wallahu A’lam.

https://alif.id/read/az/membumikan-fikih-ekologi-b241942p/