Digitalisasi Dakwah dan Belajar dari Ceramah Ustazah Oki

Era digital mengajak kita untuk beradaptasi dengan teknologi. Segala aktivitas kita telah “terdigitalisasi” oleh keadaan, khususnya karena pandemi Covid-19 yang kini muncul peranakan-peranakannya. Misalnya kita tengok transformasi sistem pendidikan di berbagai jenjang di Indonesia, yang selama ini pandemi menggunakan perangkat-perangkat maupun media sosial untuk melakukan pembelajaran secara online. Selain sistem pembelajaran online, ada perkara terdigitalisasinya suatu aktivitas, yaitu mengenai dakwah agama, khususnya Islam.

Dakwah digital atau digitalisasi dakwah merupakan fenomena yang sering kita jumpai dalam berbagai platform media sosial. Jelas bahwa hal ini merupakan dampak dari pandemi Covid-19. Memang, di satu ujung pandemi ini mendesak kita untuk selalu berinovasi ditengah wabah dan di ujung lain kita agak kehilangan makna dan rasa yang sesungguhnya dari suatu kegiatan spiritual dalam beragama, misalnya pengajian, sholawatan, haul yang diselenggarakan secara online yang biasanya dihelat di platform Youtube.

Namun hal di atas harus kita sikapi sebagai sebuah pembaharuan dalam bidang dakwah agama, apalagi kata pemikir dan penggagas itu kita ini berada di era Revolusi Industri 4.0. Sedari itu, kita harus bisa membiasakan diri untuk melakukan hal-hal yang sebelumnya kita kerjakan secara langsung menuju aktivitas secara online sebagai sebuah pembaruan Islam ataupun transformasi digital dan pengintegrasian diri terhadap teknologi terkini, khususnya dalam hal dakwah.

Kaitannya dengan pembiasaan diri dengan dakwah digital yang menjadi trend spritualitas Islam, agama Islam mengajarkan umatnya untuk menerima hal-hal maupun inovasi-inovasi baru yang berkaitan dengan digitalisasi dakwah dan kemajuan teknologi yang muthakir dengan tidak meninggal tradisi-tradisi Islam maupun budaya. “Al-muhafadhatu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah.” Begitulah kaidah fikih yang menuntun kita untuk menerima pembaruan-pembaruan teknologi modern yang dalam hal ini adalah digitalisasi dakwah  dengan tidak meninggalkan tradisi-tradisi spiritualitas Islam dan esensi dari dakwah itu sendiri.

Baca juga:  Pemetik Puisi (21): Salam Disingkat

Pembaruan yang meliputi dakwah digital ini juga mempunyai jalan terjal yang dialami pelakunya atas respon dan kesalahpahaman dari masyarakat digital juga. Kita ambil kasus yang sedang booming saat ini, yaitu polemik ceramah Oki Setiana Dewi. Ceramah yang sempat menjadi trending topic itu, ditengarai bahwa pemeran Anna Althafunnisa dalam film Ketika Cinta Bertasbih (2010) menganggap bahwa KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) merupakan sebuah aib atau rahasia yang tidak perlu diceritakan dan dilaporkan di satu kutub dan di kutub lain KDRT merupakan sebuah tindak pidana.

Mengenai hal di atas, dimulailah gerbang dialektika yang terjadi dikolom-kolom media yang menarik perhatian seluruh kalangan yang dalam perkara ini ada dua kutub, yaitu pihak yang membenarkan ceramah tersebut dan pihak yang mempertentangkan ceramah perempuan yang sewaktu kuliah di Universitas Indonesia aktif di Lembaga Dakwah Kampus (LDK).

Ada pendapat yang ingin saya himpun disini, pertama dari Alimatul Qibtiyah, Komisioner Komnas Perempuan. Sebagaimana yang diungkapkan dalam wawancaranya via Zoom bersama CNN Indonesia (4/2/2022). “Kalau kita pahami ceramah Ustazah Oki itu secara tekstual apa adanya, kita memahami tiga hal, yaitu tidak ada masalah ketika suami memukul istri, istri tidak boleh menceritakan atau melaporkan kekerasan yang dialaminya, dan bilamana seorang istri menceritakan kekerasan yang dialaminya, maka istri tersebut dianggap lebay atau hiperbolis.” Kata Bu Alimatul. Selain itu, ia juga menuturkan bahwa kasus kekerasan perempuan yang paling tinggi adalah kasus KDRT. Dari pernyataan Bu Alimatul tadi, ada sebuah kritik yang dilontarkan kepada Ustazah Oki. Bahwa KDRT yang apapun alasannya merupakan sebuah tindak pidana yang harus dilaporkan kepada pihak berwanang agar sang istri mendapat keadilan.

Baca juga:  Tentang “Kerata Basa”: setelah “Pasa” lalu “Bada” dan “Kupatan”

Yang namanya kritik pasti muncul sebuah pembelaan. Pembelaan ini dilontarkan oleh Ustaz Derry Sulaiman sebagaimana saya kutip dari Suara.com (8/2/2022), “bahwa Ustazah Oki bukan membela KDRT yang dilakukan laki-laki jahat itu. Beliau sedang bercerita tentang wanita solehah yang sangat mulia akhlaknya meskipun suaminya kayak Firaun jahatnya, tapi perempuan itu tetap menutupi kejahatan suaminya,” ucap mantan vokalis Betrayer yang merupakan band metal. Selain itu, komentar-komentar berupa support digemakan oleh jamaah-jamaah Ustazah Oki bahwa ceramah tersebut tidak sepenuhnya salah dan menganggap KDRT bukan merupakan aib.

Beranjak dari dua kutub di atas, kita tahu bahwa publik terbelah yang perihal ini dapat kita jumpai di Twitter yang begitu ganasnya komentar-komentar yang dilontarkan dari kedua kutub yang telah terbelah. Menyikapi perkara ini, beberapa pihak mengirimkan saran bagi Ustazah Oki dihimpun dari Kompas.com (5/2/2022), Prof. Ahmad Zainul Hamdi, Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya. “Cermah Ustazah Oki adalah fenomena sosial yang terdapat plus dan minusnya. Plusnya adalah dakwah Islam itu kian semarak, minusnya adalah kapasitas atau kualitas keilmuannya minim. Maka, apa yang dikatakan itu tidak mencerminkan ajaran agama,” pandangannya.

Lantas Hamdi menyebut dalam sudut pandang keilmuannya, Oki Setiana Dewi lebih layak disebut sebagai tilmidzah atau murid sebelum bertransformasi sebagai Ustazah. Jadi, publik khususnya umat Islam Indonesia harus memilih pendakwah yang memumpuni dari kualitas keilmuan, khususnya diskursus Islam.

Baca juga:  Kebingungan Sekulerisme Menghadapi Islam Politik (Habib Rizieq Shihab)

Kiranya kita sering menjumpai pendakwah-pendakwah yang tidak mempunyai latar belakang ilmu keislaman atau tidak pernah menuntut ilmu di pondok pesantren. Ini pun menjadi sebuah problematika yang kaitannya dengan pemahaman umat Islam mengenai dakwah yang disampaikan, sehingga terjadilah kesalahpahaman seperti kasus Ustazah Oki ini,

Perkara ini saya rasa harus segera kita akhiri dan perlunya sebuah rekonsiliasi karena umat Islam juga mempunyai agenda-agenda visioner yang perlu siapkan untuk mempersiapkan umat Islam, khususnya di Indonesia di masa mendatang. Selain itu, kasus ini mengajarkan kita untuk tidak setengah-setengah dalam menerka suatu perkara, jadi kita harus melihat dan memahami secara menyeluruh hal-hal viral di media, khususnya mengenai ceramah-ceramah agama yang begitu riskan terjadi sebuah kesalahpahaman yang mengkristal menjadi konflik internal umat Islam sendiri.

https://alif.id/read/fanam/digitalisasi-dakwah-dan-belajar-dari-ceramah-ustazah-oki-b242014p/