Sejarah Dakwah Melalui Wayang

Laduni.ID, Jakarta – Kepercayaan di Nusantara pada saat kurang lebih 1500 tahun sebelum Masehi adalah suatu kepercayaan Animisme yang meyakini orang meninggal rohnya masih tetap hidup dan dapat memberikan pertolongan kepada manusia yang masih hidup, sebutan roh-roh itu adalah Hyang atau Dahyang (Senawangi, 1999)

Untuk mempermudah pemujaannya, maka dahyang diwujudkan dalam bentuk patung atau gambar. Kesakralan patung dan gambar dalam acara pemujaan itu dilengkapi dengan mantra dan sesaji dengan maksud agar roh baik ikut membantu dan yang jahat tidak mengganggu.

Kemudian ada istilah “Wayang Batu” dari Haryoguritno (1992,3) untuk menyebut relief-relief yang ada di Candi yang merupakan urutan cerita wayang sebelum berwujud wayang kulit seperti yang kita ketahui saat ini.

Termuat dalam serat Centhini, pada masa awal kerajaan Majapahit di tanah Jawa (1293-1528 M) wayang digambar pada kertas Jawi. Kemudian pada tahun 1380 M wayang berubah menjadi wayang Beber, dikreasikan oleh putra Majapahit bernama Raden Sungging Prabangkara.

Wayang beber digambar pada suatu kertas yang ujung-ujungnya dijapit oleh kayu, wayang dibuat adegan per adegan mirip film Anime masa kini.

Karena kurang dinamis dan lambat, para wali sepakat untuk mengadakan pembaharuan wayang yang lebih dinamis dan perubahan bentuk gambar menjadi wayang yang bisa berdiri sendiri (Soelarto 1974,95).

Saat kerajaan Islam Demak berdiri, para pujangga Muslim dan para Wali tidak menghilangkan wayang, mereka memanfaatkan wayang sebagai sarana dakwah Islamiyah.

Terbukti dengan notula peninggalan Sunan Bonang yang tersimpan di salah satu ruangan khusus di Mushalla Astana Tuban, yang menjadi catatan hasil rapat para wali di serambi masjid Ampel Denta guna menjawab usulan Syaikh Maulana Ishak yang mengusulkan agar semua budaya yang bukan dari Islam agar dihapus dengan tegas.

Musyawarah para wali dalam notula itu memutuskan:

“Ngenani anane somawana kiprah mekare tsaqafah hindu ing kawasan Nusa Jawa salaladane, kewajibane para Wali arep alaku tut wuri angiseni, darapon supaya sanak-sanak hindu malah legawa manjing Islam”

Mengenai adanya perkembangan kesenian Hindu di tanah Jawa, para wali berkewajiban untuk mengisinya dengan ajaran Islam supaya masyarakat Hindu ikhlas masuk agama Islam.

Salah satunya Sunan Kalijaga yang mempunyai nama kecil Raden Said adalah salah satu wali songo penyebar agama islam di tanah Jawa. Beliau sangat dekat dengan muslim di tanah Jawa karena kemampuannya memasukkan pengaruh Islam ke dalam tradisi Jawa.

Dalam menyebarkan agama islam Sunan Kalijaga mengawali dakwahya di desa Kalijaga, Cirebon. Ia mengislamkan penduduk sekitar termasuk Indramayu dan Pamanukan dengan menggunakan cara-cara pendekatan melalui sarana kesenian dan kebudayaan serta kearifan lokal.

Berbagai media dakwah yang digunakan, yaitu gamelan, gendhing, tembang, wayang, grebeg, suluk, tata kota, selamatan, kenduri, dan upacara tradisional. Tidak hanya itu, Sunan Kalijaga kerap memakai nama samaran, seperti “Ki Dalang” karena kemampuan beliau dalam mengajarkan Islam kepada masyarakat melalui pertunjukan kebudayaan dan kesenian.

Sunan Kalijaga berperan penting dalam membentuk karakter islam di jawa, bahkan Nusantara yang lentur, toleransi, berkearifan lokal yang menjadikan masyarakat harmonis, produktif, dan mencerminkan wajah islam yang kultural, moderat, lentur, dan menyerap ekspresi budaya lokal.


Source: Ustad Muhammad Faizar
Editor: Nasirudin Latif

https://www.laduni.id/post/read/74384/sejarah-dakwah-melalui-wayang.html