Oleh Dr Handrawan Nadesul
Sejak SMA dulu saya suka menulis karena menulis menyenangkan. Waktu mahasiswa saya membaca, ketika itu tahun 75-an, kemampuan menulis kita tidak sebagus sepantarannya di negara maju. Prancis khususnya. Menulis bukan saja pelajaran wajib di sekolah, melainkan sudah menjadi tradisi. Boleh jadi budaya menulis.
Bidang apapun yang digeluti, menulis syarat wajib dikuasai. Ada perbedaan bercakap-cakap dengan menulis. Bercakap-cakap bisa lebih mengalir, karena ekspresi bisa lebih spontan, dan improvisasi, sejak kecil sudah terbiasa bercakap-cakap, bercerita, mengadu, melaporkan, bercengkerama. Tidak demikian dengan menulis.
Ada beberapa teman yang takut menulis. Bahkan mereka yang terpelajar, karena takut salah. Makin ada ketakutan salah, makin sukar memulai untuk menulis. Bahkan sedemikian gamang memilih kata-kata awal, yang niatnya ingin formal, karena menulis dianggap resmi, ini menjadi kesukaran tersendiri. Kalaupun berhasil menulis, penulisannya menjadi kaku, karena terlalu tertib memilih kata, dan menyusunnya. Pengakuan pengasuh rubrik opini Kompas ketika itu, misalnya, mengeluhkan kaum sarjana, bahkan profesor, menulis opini untuk media massa, dibacanya kaku, formal, nyaris seperti menulis skripsi.
Belakangan format dan gaya menulis ilmiah, maupun non ilmiah, tidak harus sekaku dulu lagi. Ada nuansa sastra di dalamnya. Lebih enak dibaca.
Itu maka jurnalisme Majalah Tempo misalnya, memprakarsai, jurnalisme enak dibaca dan perlu. Penulisan berita yang dengan berbahasa sastra, yang tidak selalu tertib gramatika seakan berpihak pada licentia poetika, yang penting tertangkap maknanya.
Menulis dan menulis jelas ada dua. Yang formal untuk kenegaraan, ilmiah, dan menulis untuk berita, dan tulisan nonfiksi. Sekarang saya mengamati, semakin ada kecenderungan menulis yang enak dibaca.
Menulis lebih dari sekadar berbicara, karena dalam menulis perlu bersistematika menuangkan isi pikiran. Tulisan bukan perkata teknis menulis semata, terlebih ada nuansa, ada rasa, ada kembang-kembang di balik makna yang hendak ditulis.
Orang yang terbiasa menulis melatih otaknya untuk senantiasa tertib dalam bersistematika pikirannya. Demikian pula ketika mereka berbicara akan lebih sistematis, lebih runut, mengalir dan tidak melocat loncat isi pikirannya, melainkan deras mengalir.
Jadi ajakan sahabat Kurniawan Junaedhie dan Bu Guru Julis Utami mengundang siapa saja untuk ikut bergabung menulis dalam buku dengan tema tertentu, upaya yang mulia, saya kira. Masyarakat siapa pun dia, terdidik, sarjana, apa pun bidangnya, eloknya berlatih menulis.
Bagi yang masih awal, dan belum terbiasa menulis, kegiatan menulis baru sebatas teknis menulis, belum bicara isi. Biarlah lebih terampil menulis, menata paragraf, memilih kosakata, menematkan tanda baca, dan setelah teknik ini dikuasai secara benar dan baik, baru mulai mengasah isi.
Menulis menjadi bagus, menjadi indah apabila penulisnya juga banyak membaca. Perbendaharaan untuk mengisi tulisan, selain materi pokok, perlu kembang, perlu nuansa. Semua itu menyehatkan kerja otak, selain kita lebih mampu bersistematis dalam berpikir, dan menyampaikan isi pikiran, yang runut, dan sampai pada pembacanya.
Salam literasi.