Oleh Dr. Zaprulkhan, M.Si, Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam IAIN Bangka Belitung
Bagi seorang yang telah menjadi sang pengikat makna, telah menjadi seorang penulis, maka hasil puncak itu adalah kualitas produktivitas karya yang tak pernah berkesudahan. Hernowo membuka rahasianya ke hadapan kita semua:
“Sahabat, saya ingin buka rahasia saya di sini bahwa hampir semua buku yang saya tulis merupakan hasil konkret dari kegiatan saya menerapkan konsep “mengikat makna”. Buku-buku saya adalah buah dari kegiatan membaca yang kemudian hasil-hasil dari membaca itu saya tuliskan. Saya akan mengalami kesulitan menulis jika saya tidak mengawalinya dengan menuliskan materi-materi buku yang saya baca. Dalam bahasa lain, saya akan lebih mudah menulis apabila sebelum menulis saya mengawalinya dengan membaca. Saya juga mengalami sebuah kehampaan atau menjalani kegiatan yang sia-sia apabila usai membaca, saya kemudian tidak mencoba memaksakan diri saya untuk menuliskan hasil-hasil kegiatan membaca saya. Ketika membaca, saya memang mendapatkan pengetahuan baru, wawasan baru, dan sesuatu yang sama sekali belum pernah saya ketahui. Namun, hal-hal baru yang saya peroleh ketika membaca itu akan musnah ditelan waktu jika tidak saya tuliskan atau ikat”.
Hernowo
Dari paparan tentang konsep Mengikat Makna di atas, saya menemukan keunikan Hernowo yang lain yakni kepiawaiannya dalam menggabungkan antara pendekatan metodologis dengan pendekatan psikologis dalam menggulirkan konsep mambaca dan menulisnya. Hernowo begitu fasih merangkai kedua pendekatan tersebut dalam satu tarikan nafas spirit literasi; Antara pendekatan metodologis dengan pendekatan psikologis tak terpisahkan satu dengan yang lain. Tatkala Hernowo menguraikan konsep-konsep literasi yang bersifat metodologis, di dalamnya kita juga merasakan sentuhan yang bersifat psikologis: menyuntikan dorongan semangat, motivasi, dan gairah kepada kita tentang menulis. Dan ketika memaparkan konsep-konsep yang bersifat psikologis, di tengah-tengahnya kita juga menemukan hal-hal yang bersifat teknis-metodologis: menayangkan secara langsung contoh-contoh praktis kepada kita mengenai konsep-konsep menulis.
Lagi-lagi dalam hal ini, kita mesti mengakui keistimewaan konsep-konsep literasi yang disuguhkan oleh Hernowo.
Setelah melihat konsep-konsep literasi yang digulirkan Hernowo, mari kita menengok kembali sekilas tentang sosok Hernowo itu sendiri. Izinkan saya memotret figur Hernowo berdasarkan pembacaan dan pengalaman saya sendiri yang sangat personal dan subjektif. Dalam pandangan saya, Hernowo adalah orang yang sangat murah hati, ikhlas dalam menyampaikan ilmu literasi, sekaligus benar-benar menjadi role model atau living example, yakni benar-benar menjadi teladan hidup dari semua yang diucapkan dan dituliskannya.
Pengalaman pertama, pada tahun 2013 saya membaca buku Remy Sylado yang berjudul Jadi Penulis? Siapa Takut! Saya terinspirasi dengan bahasanya yang renyah dan sangat mengalir, sehingga mudah sekali dipahami. Saya ingin mengadakan bedah buku Remy Sylado itu. Tiba-tiba saya teringat Pak Hernowo, tapi budget-nya sangat tipis. Saya memberanikan diri untuk sms dengan terus terang:
“Pak Her, saya mau mengadakan bedah buku, Jadi Penulis?Siapa Takut! karya Remy Sylado untuk mahasiswa. Saya ingin mengundang Pak Her untuk menguraikan isi buku tersebut kepada mahasiswa secara inspiratif dan transformatif. Tapi, mohon maaf sebelumnya Pak Her, walaupun semua transportasi dan akomodasi bisa saya tanggung, tapi untuk honor Pak Her amat terbatas; maaf honornya tidak memenuhi standard, Pak Her”
Apa jawab beliau?
“Wah, saya senang sekali diberi kesempatan berbagi lagi dengan mahasiswa STAIN Bangka. Tidak usah memikirkan honor Pak Zap; Diberi kesempatan untuk berbagai sedikit wawasan kepada mahasiswa saja sudah membuat saya bahagia; sudah membuat saya puas. Tentukan jadwalnya kapan, biar saya bisa menyesuaikan jadwal saya. Terima kasih”.
Membaca jawaban itu, saya terharu. Ada keikhlasan dan kerendahan hati dalam jawaban itu. Akhirnya bedah buku pun jadi dilaksanakan dengan sangat hidup dan menarik oleh Hernowo sebagai pembedah utama.
Pengalaman kedua, setelah menyimak berbagai tulisan Hernowo tentang menulis secara bebas dan mengalir dari buku Natalie Goldberg, Alirkan Jati Dirimu, Peter Elbow, Writing Without Teachers, dan James Pennebaker, Ketika Diam Bukan Emas, yang sudah diterjemahkan oleh penerbit MCL, Indonesia Publishing, dan Mizan, saya memburu ketiga buku tersebut ke berbagai toko buku. Tapi saya tidak mendapatkan juga. Saya memberanikan diri lagi menghubungi Pak Hernowo. Saya bilang kepada beliau bahwa saya sudah mencari ketiga buku tersebut ke berbagai toko buku, sampai beberapa toko buku wilayah Jogja tapi tidak mendapatkannya juga. Lalu saya meminta kepada beliau lewat sms: ”Maaf sebelumnya Pak Her, bisakah saya minta dikirimkan fotokopi-nya kalau ada. Nanti saya ganti semua ongkos fotokopi dan ongkos kirimnya”.
“Baik, Pak Zap. Nanti saya fotokopi-kan dan dalam waktu beberapa hari ke depan, insya’Allah saya kirim segera bukunya. Gak usah diganti fotokopi dan ongkirnya. Biar saya tanggung semuanya. Saya sangat senang mendengar Pak Zap mau membaca buku Goldberg, Peter Elbow, dan Pennebaker itu”, Jawab sms beliau.
Dan benar, beberapa hari kemudian tiga buku itu sampai ke tangan saya. Lagi-lagi saya amat terharu dengan kemurahan hatinya. Beliau sudah menjadi orang hebat dan besar, tapi masih begitu peduli dengan saya yang bukan siapa-siapa.
Pengalaman ketiga, kalau tidak salah ingat, pada awal tahun 2016 Pak Hernowo diundang memotivasi tentang kegiatan literasi kepada para siswa/i pada salah satu SMAN di Pangkalpinang, Bangka. Sehari sebelum tiba di Pangkalpinang, beliau menghubungi saya lewat WhatsApp:
“Pak Zap, besok saya akan memberi materi tentang menulis di SMAN 1 Pangkalpinang Bangka. Esok harinya, saya pulang ke Bandung sore hari jam 15.00 WIB. Bisakah paginya saya berbagi dengan sebagian mahasiswa Pak Zap? Jangan memikirkan honor, pokoknya semuanya gratis. Saya sangat bahagia ketika bisa membagikan sedikit ilmu yang saya miliki. Kan sayang Pak Zap, kalau pagi sampai siang itu kosong kegiatan saya”.
Saya tersentak kaget dengan isi WA itu! Saya berpikir bagaimana caranya supaya bisa mengumpulkan sedikit mahasiswa, entah cuma 100 atau 50 orang. Tapi karena berbagai kegiatan dan waktunya agak mepet, saya tidak bisa mengumpulkan mahasiswa saya. Dengan berat hati, saya balas WA beliau dengan memohon maaf sebesar-besarnya karena tidak memungkinkan kondisinya untuk mengadakan seminar dengan mahasiswa saya.
“Wah, sayang sekali ya Pak Zap? Padahal saya nganggur. Ya udah, semoga lain waktu kita bisa bertemu dan saling berbagi lagi. Terima kasih, salam untuk kawan-kawan semua”, respons beliau.
Lagi-lagi saya tersentak dan terharu menyimak jawaban tersebut. Bayangkan, ketika ada waktu kosong, beliau bukan menggunakannya untuk jalan-jalan ke beberapa pantai yang amat indah di Bangka misalnya. Tapi beliau justru memikirkan bagaimana caranya agar dapat membagikan ilmunya kepada orang lain, walaupun tanpa honor sekalipun; walaupun tanpa dibayar sedikitpun. Saya terharu dengan semangat berbagi konsep literasi dan keikhlasannya.
Selanjutnya, saya melihat sosok Hernowo sebagai living example, teladan yang benar-benar hidup dari semua konsep literasi yang diajarkannya, baik melalui ucapan maupun tulisan-tulisannya yang begitu indah di berbagai karyanya. Ketika beliau mengajarkan agar kita mencintai ilmu pengetahuan, beliau menjadi orang pertama yang menjadi contoh sebagai orang yang begitu mencintai ilmu pengetahuan. Sewaktu beliau menuturkan kepada kita agar rajin membaca, beliaulah orang pertama yang amat rakus membaca berbagai macam genre buku, baik agama, psikologi, sosial-politik, budaya, motivasi, pengembangan diri, pemikiran, tafsir, maupun buku-buku yang berhubungan dengan literasi itu sendiri.
Ketika mengajarkan tentang berbagai konsep-konsep menulis dari para penulis kondang dunia, beliau menampilkan diri secara langsung dengan menulis setiap hari dan menghasilkan puluhan buku-buku inspiratif-transformatif. Dan tatkala menyarankan kita semua untuk rajin belajar, beliaulah orang yang tidak pernah melewati hari-harinya tanpa belajar; tanpa membaca dan menulis; tanpa mengikat makna. Bahkan diujung penghabisan nafasnya, beliau masih tetap belajar. Sungguh beliau adalah seorang pembelajar abadi.
Mungkin itu yang menjelaskan mengapa materi-materi literasi yang beliau ucapkan dan tuliskan sampai dan diterima oleh masyarakat luas. Meminjam konsep Syekh Amin Al-Kurdi dalam karya sufistiknya, Tanwirul Qulub: ‘al-kalam idza khoroja minal qolbi waqooa fil qolbi; waidza khoroja minal lisan kaana hadduhul aadzan”, “Kalimat atau konsep apabila keluar dari lubuk hati, maka ia akan sampai ke dalam hati orang-orang yang menyimaknya; Tapi bila konsep itu hanya keluar dari lisan semata, maka ia hanya akan sampai pada telinga orang-orang yang menyimaknya, tidak bisa memberi pengaruh dan pembawa perubahan”. Sebab beliau berbicara berdasarkan pengalamannya langsung dan mengalir dari ruang kalbunya. Sebab, Hernowo telah mewakafkan dirinya dalam dunia literasi untuk masyarakat Indonesia.
Rahasia tersebut juga dapat menjelaskan judul tulisan yang saya buat ini yakni, Hernowo: Penggerak Literasi Bangsa. Setelah melakukan pengamatan secara umum, saya menemukan jejak pengaruh seorang Hernowo ternyata cukup luas dan besar bagi masyarakat Indonesia. Pengaruh Hernowo dalam dunia literasi bukan cuma dalam konteks wilayah pulau Jawa, tapi juga sampai ke wilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, bahkan mungkin sampai ke Irian Jaya.
Saya melihat jejak pengaruh inspiratif Hernowo dalam dunia membaca dan tulis-menulis bukan hanya mewarnai masyarakat umum, tapi juga mampu menginspirasi para cerdik cendekia, para guru, dan dosen. Hernowo bukan saja menggerakkan para akademisi level sarjana (Strata Satu) dan Magister dalam dunia literasi, tapi juga meniupkan inspirasi bagi para Doktor bahkan sebagian profesor. Dan seluruh konsep-konsep Hernowo yang berhubungan dengan konsep literasi tidak hanya menyentuh sebagian cendekiawan yang berada di Perguruan-perguruan Tinggi Umum dan Swasta, tapi juga menyentuh sebagian kalangan intelektual yang berada di Perguruan-perguruan Tinggi Islam dan Negeri, seperti UIN, IAIN, dan STAIN.
Dalam tataran tertentu, Hernowo telah memberi kontribusi bagi munculnya penulis-penulis prolifik dalam berbagai genre; baik fiksi seperti novel dan cerpen misalnya, maupun non-fiksi, yakni dalam bidang keagamaan, pemikiran, sosial, budaya, politik, pendidikan atau ranah literasi itu sendiri. Bahkan dengan spirit literasi yang diinisiasi oleh Hernowo, ternyata mampu menginspirasi cukup banyak bermunculan gerakan literasi yang dimotori oleh anak-anak muda yang kreatif dalam menulis baik dari kalangan masyarakat umum, maupun kalangan kaum terpelajar, baik yang digerakkan oleh para guru di sekolah-sekolah mereka, maupun oleh kaum cendekiawan, intelektual, dan dosen di kampus-kampus yang tersebar di seluruh Indonesia. Karena itulah, tidak berlebihan jika tulisan ini bertajuk, Hernowo: Penggerak Literasi Bangsa; Penggerak Literasi Masyarakat Indonesia.
Akhirnya, selamat jalan Pak Her. Insyaallah namamu abadi, karena engkau telah menyemaikan, menorehkan, dan menyalakan aksara kehidupan ke dalam jiwa-jiwa kami. Semoga Tuhan menyambut dirimu dengan “senyum kebanggaan”, sebab salah satu masterpiece-Nya telah benar-benar mampu mengaktualisasikan potensi yang telah Dia titipkan dalam sebuah ranah paling mulia dan agung, yang menjadi titah sakral pertama-Nya kepada umat Islam dan seluruh umat manusia yakni perintah iqro’, Amin. Tamat.
Untuk melihat bagian sebelumnya, klik di sini.