Isu Jalur Rempah Nusantara, Hendak Ditarik Sepanjang Apa

Suatu sore pada November 2018, setahun sebelum pandemi Covid-19. Deretan warung dan kedai di satu ruas jalan di Pulau Naira, tak jauh dari Sekolah Tinggi Hatta-Sjahrir, cukup ramai disinggahi wisatawan Nusantara dan mancanegara yang ingin membeli manisan pala, jus pala, sirup pala, kulit kayu manis, kayu manis bubuk, dan panekuk kayu manis.

Melihat pemandangan itu, saya sedikit optimistis akan potensi pariwisata Kepulauan Banda ke depan. Bukan hanya sebagai tujuan wisata alam dengan keindahan laut, gunung, dan bentengnya, namun juga wisata budaya secara luas, sehingga kedigdayaan serta kemasyhuran rempah Banda pada abad ke-17 dapat bergaung lagi ke penjuru dunia. Harapannya, nostalgia itu tidak sekadar romantisasi sejarah.   

Wisata saya ke Kepulauan Banda dengan menyambangi beberapa pulau yakni Naira, Lonthor/Lonthoir, Run, Ay, Sjahrir, Rozengain (diganti menjadi Pulau Hatta pada tahun 1954), dan Nailaka, selain untuk melongok sedikit jejak jalur rempah, juga untuk berziarah ke rumah pengasingan Bung Hatta, setelah sebelumnya ke rumah pengasingan Bung Karno di Ende.

Betul, bahwa sejarah yang ditulis dalam buku akan terbaca makin dahsyat jika dilengkapi dengan pandangan mata dan pengalaman rasa ketika menyusuri tempat-tempat bersejarah itu,  datang ke lokasi, apalagi sekaligus melakukan penelitian etnografi mendalam.

Whatsapp Image 2021 08 31 At 2.35.56 Am
Rumah Pengasingan Bung Hatta

Kemasyhuran rempah Banda, kita tahu, sudah diketahui dunia. Sejarah mencatatnya, lengkap dengan aneka drama dan tragedi menyesakkan dalam perebutan “harta karun” rempah oleh bangsa-bangsa Eropa.  Merampas, itulah yang sebenarnya dilakukan bangsa-bangsa Eropa setelah tiba, beruntun berdatangan, di Nusantara pada abad ke-16.

Portugis menaklukkan Malaka pada Juli 1511, kemudian Antonio d’Abreau melakukan ekspedisi menuju Maluku pada November 1511, seperti ditulis L.Y. Andaya dalam The World of Maluku : Eastern Indonesia in the Early Modern Period (1993).

Pada 1599 Armada Belanda I yang dipimpin oleh Van Hemskerk tiba di pelabuhan Orantata, Banda Besar, disusul armada Inggris pada 1601 yang datang ke  Banda untuk membawa pala dan fuli ke pasar Eropa.

Pada tahun 1602, rombongan armada Belanda yang kedua datang dipimpin oleh J.P. Coen. Tome Pires, pengembara dari Portugis yang teliti mencatat keadaan di Nusantara mencatat bahwa Coen menawan 44 orang kaya dari Pulau Lonthoir, mengikat kedua tangan mereka erat-erat, lalu memasukkan ke kerangkeng bambu.

Coen bahkan memutilasi tangan, kaki, dan kepala mereka. Pembantaian itu terjadi pada April 1621 (Suma Oriental Karya Tome Pires: Perjalanan Dari Laut Merah Ke Cina & Buku Francisco Rodrigues, diedit oleh Armando Cortesao, 2018).

Pesona pala juga terekam dalam buku Nathaniel’s Nutmeg (1999), karya Giles Milton yang sudah diterjemahkan menjadi Pulau Run: Magnet Rempah-rempah Nusantara yang Ditukar dengan Manhattan (2015). Judul itu merujuk pada nama Kapten (kapal) Swan, Nathaniel Courthope, yang mendarat di Pulau Run pada 23 Desember 1616.

Ia mencium aroma itu, aroma pala, yang pada abad ke-17 adalah kemewahan yang paling diidamkan orang Eropa. Run adalah magnet, pulau terkaya di Hindia Timur yang diperebutkan setidaknya oleh Belanda dan Inggris.

“Pulau itu sudah tercium sebelum terlihat. Dari jarak sepuluh mil lebih ke laut, suatu aroma menggelayut di udara,” tulis Milton, menggambarkan betapa Sang Kapten tidak membutuhkan kompas atau astrolabe untuk mengetahui bahwa kapalnya telah (hampir) menyentuh daratan.

Pala Pulau Run
Pohon Pala di Pulau Run

Pulau Run, yang saya saksikan biru air lautnya pada 2018 itu, akhirnya tidak hanya menjadi rebutan, namun juga menimbulkan keributan.

Baca juga:  Guru Majid dan Tukang Cukur

Setelah peristiwa berdarah itu, lahirlah Perjanjian Breda, kesepakatan antara Inggris dan Belanda terkait penyerahan Manhattan kepada Inggris, dan sebagai kompensasinya Inggris menyerahkan Pulau Run kepada Belanda  pada tanggal 31 Juli 1667. Perjanjian itu mengakhiri perang Anglo-Belanda kedua.

Itu baru pala, yang tumbuh subur di Maluku, lalu menyebar ke Ternate dan Tidore. Masih ada jenis rempah lain, lada, yang merajai lahan di Bangka dan menyebar ke Riau, Bengkulu, Lampung, hingga Banten.

Lagi-lagi kita menemukannya lewat catatan Tome Pires dalam Summa Oriental (1513-1515) “… lada Banten lebih baik daripada Cochin (India), (produksinya) lebih dari 1000 bahar setiap tahun. Lada panjang dan asam melimpah, cukup dimuat seribu kapal. Pelabuhan lada antara lain, Banten, Pontang, dan Cikande.

Berdasarkan catatan Ghau Ju-Kua, lada dari Jawa telah menjadi komoditi pada abad ke-12. Sebelumnya pada abad ke-10 dan abad ke-11, Kerajaan Chola melakukan ekspansi wilayah ke Jawa dan Bali untuk menguasai pusat perdagangan rempah, seperti dikutip dari Rempah, Jalur rempah, dan Dinamika Masyarakat Nusantara tulisan Djoko Marihandono dan B Kanumoyoso (2016).

Fuli
Fuli sedang dijemur oleh warga di Pulau Lonthor

Kedigdayaan Rempah Nusantara

Rempah terus diburu dari waktu ke waktu. Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara (2011) menyebut, rempah adalah komoditi yang sangat diminati oleh para pedagang, terutama bangsa Eropa dan Cina.

Tidak dapat dipungkiri, memang, karena hampir seluruh bagian buah pala bernilai ekonomi. Isinya diolah menjadi manisan atau sirup. Biji pala dibalut oleh “bunga” yang disebut fuli, indah berkilau merah saat buahnya matang dan siap dibelah.

Fuli adalah bagian termahal. Biji pala berwarna hitam mengkilap setelah dijemur lazim dimanfaatkan sebagai bumbu makanan yang khas dan sedap.

Tak heran biji pala kerap disebut dengan mutiara hitam. Biji pala dan fuli juga dapat diolah untuk bahan farmasi, kosmetik, dan bahkan campuran parfum.

Di Bali, rempah-rempah tidak hanya digunakan untuk  bumbu makanan dan pengobatan, namun juga untuk sesaji dalam berbagai ritual yang lazimnya diimbuhi dengan bebungaan dan dedaunan seperti pandan.

Orang Bali membagi rempah menjadi tiga, pertama rempah berupa biji/buah atau bunga, misalnya cengkih, pala, lada hitam, lada putih), kapulaga, pinang, asam, kelembak, bidara, dan kemiri.

Kedua, rempah berupa umbi atau akar seperti jahe, kencur, lengkuas, lempuyang, kayu manis, kunir, dan adas.

Ketiga, rempah dari kulit, batang, akar, dan daun, seperti cendana, gaharu, ganja, jamur, sereh, kayu manis, deringo, dan kecubung.

Whatsapp Image 2021 08 31 At 2.38.52 Am (1)
Seorang Turis di Pulau Naira

Di Aceh, kita akan menjumpai betapa oen ranup atau daun sirih menempati posisi yang spesial dalam ritual, selain untuk pengobatan.

Sirih merupakan “tumbuhan adat” yang dipakai untuk ritus-ritus atau upacara-upacara adat seperti upacara pernikahan pada etnis Melayu di Sumatera Timur dan berbagai upacara adat etnis Batak.

Bagi masyarakat Aceh,   tutur Mufida Afreni B. Bara dari Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Aceh, ranup mempunyai fungsi penting dalam perayaan  seperti pernikahan, lamaran, turun tanah, dan perayaan maulid Nabi.

Ranup menjadi sebagai simbol pembuka silaturrahmi antara dua belah pihak yang dipertemukan oleh adat dan agama. Oleh karena itu, ranup memiliki peran penting dalam relasi sosial masyarakat.

Baca juga:  Analisis Jaringan Media Sosial dalam Polemik “Kamus Sejarah”

Hampir semua suku di Indonesia menggunakan rempah-rempah untuk sesaji dalam ritual atau upacara adat.

Berbagai selametan di masyarakat tradisional Jawa seperti memulai bertani, memanen hasil bumi, atau selametan yang berhubungan dengan daur hidup, juga menggunakan beberapa jenis rempah seperti kunyit, bawang merah, dan cengkih.

Sebut saja tradisi keagamaan “asyura” pada tanggal 10 Muharam atau 10 hari setelah tahun baru Islam, yang memakai bubur suro sebagai sarana bersosialisasi dalam selamatan.

Beberapa  bumbu yang dibutuhkan adalah merica/lada, ketumbar, bawang putih, bawang merah, jahe, daun salam, serai, kemiri, dan garam. Ini berbeda dengan bumbu kebanyakan bubur.

Semua ritual atau upacara adat dan keagamaan selalu bersifat komunal jika melibatkan makanan dan atau sesaji yang didalamnya mengandung rempah-rempah.

Makan bersama warga satu kampung atau satu desa biasanya menjadi puncak acara selametan. Bisa dikatakan, mereka bersatu dalam rempah. Rempah menjadi media bersosialisasi dalam komunitas.

Mungkin terdengar berlebihan, namun saya menjadi teringat  sastrawan Pramoedya Ananta Toer tentang pengalaman Agus Salim, Duta Besar Indonesia pertama untuk Inggris Raya yang dijuluki The Grand Old Man, sewaktu menghadiri resepsi diplomatik di London lebih dari 60 tahun lalu.

Agus Salim waktu itu mengisap kretek, dan baunya membuat tamu-tamu undangan menengok. Bukan terganggu, namun tertarik.

Pram menuliskannya dalam pengantar buku Kretek, The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes karya Mark Hanusz (2011, cetakan ketiga),

”….. Seorang lelaki bertanya, mewakili pertanyaan banyak orang, “Apa yang Anda isap, Pak?” “Ini, Tuan, adalah alasan bagi Barat untuk menaklukkan dunia,” jawab Salim. Agus Salim tengah mengisap kretek, sigaret dari Indonesia yang berisi berisi tembakau rajangan dan cengkih, yang selama berabad-abad menjadi satu komoditas yang paling dicari selain rempah-rempah”.

Agus Salim tidak hanya bersosialisasi, tapi juga bernegosiasi dan berdiplomasi.

Jalur Rempah Menuju Muara

Selama sepuluh hari mengelilingi Kepulauan Banda: naik kapal, menyewa ojek, jalan kaki, berenang, bermain pasir pantai, snorkeling, dan utamanya mengunjungi banyak situs bersejarah serta kebun-kebun pala, saya merasa masih kurang waktu.

Akan tetapi, muncul perasaan lega menyaksikan artefak-artefak arkeologis hasil peninggalan masa lalu yang masih bertahan.  Benteng Belgica, Hollandia, Istana Mini, dan Gereja Hollandische Kerk masih gagah berdiri.

Rumah pengasingan Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Dr Cipto Mangunkusumo juga terawat baik. Museum Des Alwi mengisahkan hal-hal lain yang menutup rasa penasaran.

Pala Kering
Pala sedang dijemur/dikeringkan

Berdasarkan data dari Ditjen Kebudayaan Kemdikbudristek, terdapat 24 situs arkeolgi di Pulau Banda Naira, dan tujuh di antaranya telah ditetapkan menjadi cagar budaya.

Di Pulau Lonthor, ditemukan 11 situs arkeologi. Terdapat pula Masjid Besar Adat Nagri Salamon, masjid kuno yang tidak lagi tampah kuno setelah direnovasi.

Masjid itu pertama kali dibangun pada tanggal 23 Februari 1557 oleh Imam Abdurrahman bin Bara, generasi ketiga dari keturunan Imam Bara yang menjadi imam pertama di masjid tertua Kepulauan Banda.

Masjid itu terakhir direnovasi dan diresmikan pada tanggal 15 April 2012 oleh Raja Nagri Salamon, Taha Harun.

Apakah denyut kencang kehidupan yang (semoga) menyejahterakan warga di Banda itu akan langgeng? Pandemi Covid-19 tentu sangat berpengaruh.

Tidak ada wisatawan berkunjung, tidak ada rombongan pesepeda yang datang. Meski demikian, program jalur rempah pemerintah musti terus digarap, setelah mengupayakannya selama sedikitnya tujuh tahun terakhir.

Baca juga:  Kota Tus, Kampung Halaman Imam Ghazali

Selama ini, gagasan besar mengenai revitalisasi jalur rempah telah diturunkan menjadi beragam kegiatan, mulai kajian lapangan, seminar, hingga festival.

Satu film dokumenter arahan Jay Subiakto diproduksi pada tahun 2017 dengan judul “Banda: The Dark Forgotten Trail”.  Setelah semua itu, program berikutnya bisa difokuskan pada satu titik: menuju UNESCO.

Museum Des Alwi
Museum Des Alwi

Kepulauan Banda niscaya telah menjadi sumber inspirasi banyak orang di berbagai sektor, praktisi kecantikan hingga seniman kontemporer, yang pada akhirnya mampu meningkatkan kesadaran masyarakat akan rempah Banda.

Rob Swartbol, Duta Besar Kerajaan Belanda untuk Indonesia pada 2017 di Galeri Nasional mengatakan bahwa Banda adalah bagian penting dari pemerintah Belanda, dan momentum penting bagi hubungan Indonesia-Belanda di masa kini dan yang akan datang.

Ia mengatakan hal itu dalam konteks membangun diplomasi budaya sambil “mengenang” Perjanjian Breda lebih dari 350 tahun lalu.

Diplomasi budaya, nostalgia, dan romantisme sejarah lawas belumlah cukup. Semuanya itu, kerja-kerja dengan dana besar selama ini, harus mampu menjadi poin penting untuk pengusulan “jalur rempah masuk ke dalam daftar warisan dunia tak benda di UNESCO”. Jika itu yang memang kita inginkan.

Begitu banyak kajian sudah dilakukan, banyak buku sudah diterbitkan, tinggal penyusunan dokumen.

Selain pengusulan WBTb, Kepulauan Banda dengan segala kekayaan antropologis dan arkeologisnya juga dapat diusulkan sebagai kota warisan budaya dunia atau mendapatkan nilai universal luar biasa (outstanding universal value) sesuai Konvensi Perlindungan Warisan Dunia Alam dan Budaya Tahun 1972 (Convention Concerning the Protection of the World Cultural and Natural Heritage).

Whatsapp Image 2021 08 31 At 2.38.52 Am
Gunung Api Banda, terakhir meletus tahun 1988         

Mari belajar dari Kawasan Kota Tua Jakarta, yang pada tahun 2015 begitu menggebu-gebu didandani.

Waktu itu Kawasan Kota Tua diputuskan menjadi situs pertama dari sembilan unggulan cagar budaya (termasuk Kepulauan Banda) yang diusulkan masuk tentative list warisan dunia UNESCO.

Bahkan Sawahlunto yang siap dengan dokumen lengkap harus mundur demi Kota Tua Jakarta.

Namun, persoalan penataan Kawasan Kota Tua Jakarta jauh lebih kompleks karena melibatkan banyak orang yang berkepentingan, belum termasuk kondisi lingkungan yang sudah telanjur ruwet.

Sosialisasi dengan beragam festival tidaklah cukup. Selain itu, Pedoman Operasional untuk Implementasi Konvensi Warisan Dunia UNESCO nomor 62-76 menyebutkan, situs-situs warisan budaya harus berada dalam daftar tunggu dulu.

Bahkan Candi Borobudur membutuhkan waktu 11 tahun sejak diusulkan tahun 1972 hingga ditetapkan pada 1983.

Kepulauan Banda dan jalur rempah saat ini lebih siap setelah beberapa tahun program pengembangan berjalan.

Untuk pengusulan WBTb, mari belajar dari pantun, yang  sudah ditorehkan ke dalam daftar warisan tak benda Indonesia dan Malaysia pada 2020.

Salah satu strateginya adalah joint nomination dengan negara lain, karena peluang jauh lebih besar. Itu bisa dilakukan jika memang muara bermacam narasi dan aksi terkait jalur rempah memang hendak dibawa ke UNESCO.

Jika tidak, mau diapakan lagi proyek jalur rempah itu? Apakah ingin mencontoh apa yang dilakukan terhadap jalur sutra? Bukankah hal itu membutuhkan strategi dan komitmen lintas sektoral lintas kementerian bahkan kerjasama regional secara lebih luas lagi?

Tahun 2024 tidak lama lagi. Jagat politik Tanah-Air dapat berubah arah, kebijakan berganti. Jangan sampai upaya bertahun-tahun terbuang percuma.

https://alif.id/read/susi-ivvaty/isu-jalur-rempah-nusantara-hendak-ditarik-sepanjang-apa-b242348p/