Oleh Nurani Soyomukti, Komisioner KPU Kabupaten Trenggalek
Kadang saya merasa terlalu aktif bicara dan terlalu banyak menulis, terutama ketika saya lakukan di media sosial, atau mungkin itu hanya perasaan saya saja ya. Tapi memang pernah ada penilaian dari beberapa teman bahwa dinding facebook saya terlalu sering postingannya. Bahkan ada yang bilang juga bahwa saya terlalu sering menulis, apalagi tulisannya panjang-panjang.
“Nulis sakmunu dawane kui, opo gak ngentek-ngenteki wektu?” katanya. Soal ini saya sudah menjawabnya, dan bahkan sudah saya buatkan postingan khusus soal ini yang pernah saya muat di laman facebook ini juga. Intinya, upaya saya membuat tulisan panjang (yang sering melebihi panjangnya artikel/opini di media cetak) tidak membutuhkan waktu lama karena saya menulis biasanya cepat dan semuanya keluar begitu saja. Artinya kebiasaan menulis telah membuat saya terlatih menulis cepat. Dan banyak juga teman-teman lain yang punya kemampuan yang bahkan lebih cepat dibanding kemampuan saya ketika mengisi laman facebook.
Alasan lain, untuk menjawab kekhawatiran bahwa tindakan saya akan mengganggu waktu bekerja di lembaga publik di mana saya mendapatkan uang dari negara, saya juga sudah menjawabnya: Saya kebanyakan menggunakan waktu menulis di luar jam kerja saya. Kalau pas jam kerja, paling ya jam istirahat. Jadi, tak ada alasan bahwa hobi saya menulis dan bicara (misalnya siaran langsung) di media sosial mengganggu pekerjaan saya. Tentu saja, jika yang saya tulis kebetulan tak sedikit dengan isu dan tema yang “deal with” pekerjaan saya, kan sebenarnya malah bagus juga.
Oh ya, satu lagi: soal tulisan yang terlalu panjang yang saya buat, yang kadang menghasilkan komentar bahwa tulisan terlalu panjang akan membuat orang malas baca! Saya juga sudah menyampaikan bahwa tujuan saya menulis memang tak sealu untuk melayani semua teman di facecook, tapi justru mengeluarkan apa yang ada dalam pikiran saya menjadi tulisan. Yang ini juga berguna bukan untuk sarana “sublimasi” atau “rekreasi” saja, tapi kadang tulisan itu berguna untuk “portofolio”.
Misalnya, ketika tulisan itu diminta teman untuk dimuat di medianya, pemuatan itu menguntungkan saya. Karena setidaknya “eksistensi” saya sebagai penulis masih diaggap bertahan. Harus saya akui, dan juga diakui oleh orang lain yang merasakan hal yang sama: Bahwa dimuatnya tulisan-tulisan kita yang menunjukkan kapasitas kita sebagai orang yang punya pandangan dan pendapat, akan memudahkan kita mencapai tujuan kita dan bahkan membuat orang lain membutuhkan pandangan-pandangan kita.
Pengalaman saya menunjukkan bahwa karena saya menulis, saya ditawari mengajar di kampus swasta tanpa saya melamar di lembaga itu. Lalu tulisan-tulisan itu juga memudahkan saya mendaftar untuk posisi (boleh disebut saja pekerjaan) yang saya inginkan. Kebetulan, adanya karya berupa tulisan yang dilampirkan ketika mendaftar hal itu akan menambah poin penilaian. Saya pun lolos terus. Kemudian, dengan banyak tulisan yang tersebar, tanpa pernah minta dan menawarkan, kita juga dimintai bantuan untuk menjadi narasumber ketika ada diskusi yang kebetulan topiknya seputar yang sering kita tulis.
Jadi, dalam hal ini, saya tidak perlu menyembunyikan bahwa keaktifan saya menulis dan bicara lewat media sosial memang ada motivasinya. Tak mungkin orang melakukan sesuatu tanpa motivasi. Motivasi ini ada yang disadari dan ada yang tidak kita sadari. Tentu ada motivasi untuk memengaruhi orang lain dengan pendapat saya juga kadang-kadang. Karena mempengaruhi orang itu boleh, yang tak boleh memaksa sembari lakukan kekerasan.
Upaya untuk mencapai tujuan dengan penggunaan informasi (yang umumnya disebut sebagai komunikasi) adalah cara yang umum dalam kehidupan manusia. Demikian saya sebagai manusia, sepanjang yang saya ingat, juga akan melakukan komunikasi untuk mewujudkan keinginan saya.
Saya, mungkin juga anda dan orang lain juga, ada yang hidup dari masyarakat yang cenderung membuat diri kita diam dan pasrah saja. Tapi tiap manusia pasti punya keinginan, yang kadang tak selamanya bisa dipendam. Ketika keinginan kuat, kita pasti akan berusaha. Kita pasti akan mencoba menyampaikannya, terutama pada orang yang padanya kita bisa mengungkapkannya. Dengan kemampuan yang dimilikinya. Dengan cara yang paling nyaman yang bisa dipilihnya.
Mungkin saya pernah menceritakan kepada Anda tentang bagaimana ketika saya jatuh cinta pada lawan jenis. Naluri biologis yang biasanya disebut naluri “Cinta” itu wajar muncul saat kita mulai tumbuh. Masa remaja saya menunjukkan bagaimana keinginan untuk mengungkapkan rasa cinta itu hanya bisa saya lakukan dengan mengirim puisi pada seorang perempuan yang membuat saya ingin dekat dengannya.
Saya belum banyak belajar tentang fenomena psikologis manusia pada saat itu, sehingga saya hanya tahu bahwa saya ingin dekat dengannya dan menyatakan kekaguman lewat puisi. Bayangan tentang kedekatan tidak terlalu liar dan terdefinisi lewat bayangan tentang penyatuan fisik, misalnya. Saya hanya membayangkan ketika berjalan dengan dia, tanpa ada obsesi liar. Karena memang saya sendiri belum punya memori implisit tentang seksualitas, sebagimana saya berasal dari keluarga dan lingkungan yang menjaga perilaku dan juga menganggap seks sebagai hal tabu.
Bayangkan, saya sudah bahagia hanya dengan bisa menyampaikan sebuah puisi di hari sabtu. Lalu pada hari seninnya, saya mendapatkan penolakan dengan mendengar ungkapan dari mulut perempuan remaja hitam manis itu yang mengatakan bahwa ia sudah punya “pacar”. Saya menandai peristiwa itu sebagai fase “broken heart” dalam hidup saya. Tapi akibatnya tak terlalu berat, karena saya tidak terdorong untuk melakukan komunikasi yang kompulsif. Kekecewaan mudah menguap, lewat penyaluran yang lain: Membaca buku di perpustakaan dan menulis puisi lebih banyak lagi, juga menulis artikel dan esai.
Itu hanya contoh awal bagaimana saya berusaha berkomunikasi dan upaya mempersuasi orang lain. Saking abstraknya naluri dalam diri saya, cara menyampaikannya juga abstrak. Efek kekecewaannya juga mudah disublimasikan. Tiba saatnya saya belajar mengungkapkan sesuatu. Lewat organisasi OSIS saya belajar bicara, dan akibat mencari penyaluran eros yang gagal saya banyak menulis dan membaca. Majalah dinding jadi tempat publikasi, kebetulan saya yang memegang kunci Mading sekolah dalam kapasitas sebagai Ketua Bidang Seni-Sastra di OSIS.
Lalu ada majalah sekolah. Dan di kelas 3 SMA saya berani mengirimkan puisi di majalah yang di luar lingkup sekolah. Tiga puisi dimuat di Jaya Baya (Majalah Berbahasa Jawa) dan Majalah Mimbar Pembangunan Agama (terbitan Kemenag Jatim). Dari situlah saya merasa menemukan diri saya, bahagia dalam proses belajar berkomunikasi, baik menggunakan hak mendapatkan informasi dari sumber-sumber informasi dan pengetahuan yang ada, lewat kegiatan organisasi, seminar dan pertemuan remaja di lar sekolah (antar SMA) dan juga yang paling penting adalah dengan membaca.
Belakangan saya tahu betapa negara kita sangat mendukung upaya bagi warga dalam hal mengembangkan diri lewat informasi dan pengetahuan. Ternyata hak untuk tahu adalah salah satu hak asasi manusia yang harus dijamin (bahkan kalau bisa dipenuhi) oleh negara. Pasal 18 F UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi. Bicara dan menuliskan apa yang ada di pikiran kita adalah hak yang asasi. Demikian juga mendapatkan informasi dan pengetahuan lewat tulisan maupun mendengarkan pembicaraan orang lain agar menambah informasi dan wawasan.
Pasal 14 ayat (1) dan (2) Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia (UU Nomor 39 Tahun 1999) menegaskan bahwa “setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadinya dan lingkungan sosialnya” dan “setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia.”
Aturan itu menjamin warga negara bukan hanya untuk benyampaikan informasi maupun mencari informasi. Mencari informasi dilakukan, misalnya, dengan bertanya pada orang yang menguasai pengetahuan (sumber informasi). Menariknya lagi, terkait dengan posisi warga negara di hadapan lembaga publik di bawah negara, masyarakat juga diberikan dasar hukum berupa UU Keterbukaan Informasi. Bukan hanya memberikan hak masyarakat untuk mencari dan mendapatkan informasi, tapi juga mendorong dan mewajibkan lembaga-lembaga publik untuk menyampaikan dan membuka informasi.
Maka lahirlah Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik ditegaskan di Pasal 2 ayat (3). Salah satu asas dari UU ini adalah bahwa setiap informasi publik harus dapat diperoleh secara cepat dan tepat waktu. Tentu ada kategori-kategori informasi yang ada di dalamnya. Ini adalah sebuah upaya menempatkan warga negara sebagai subjek yang boleh mengembangkan kehidupannya dari penggunaan informasi.
Hal yang menyangkut kebijakan dan keputusan yang akan berkaitan degan nasib warga, dengan demikian, harusnya diketahui oleh warga. Warga harus aktif mencari informasi agar mereka paham dan mengerti, setidaknya jika ada yang bisa membuatnya mendapatkan manfaat adan punya kesempatan untuk mengembangkan diri dari kebijakan yang dibuat oleh lembaga publik. Demikian juga dalam hal menyampaikan informasi. Warga juga boleh dan berhak menyampaikan pendapatnya dan gagasannya untuk mengomentari, mengritik, atau memberi masukan pada kebijakan dan keputusan yang akan dibuat.
Demikian juga posisi kita sebagai orang di luar konteks sebagai warga yang berhak mendapatkan pelayanan publik. Kita juga bisa berkomunikasi dengan orang lain dan warga masyarakat lain. Orang lain boleh menyampaikan informasi ke saya, boleh pula jika ada orang lain yang berupaya mempegaruhi saya.
Tapi semua akan kembali pada diri saya sendiri. Tidak bisa memaksa. Kalau suatu informasi dan gagasan yang tersuguhkan sata anggap benar, bernas, dan saya cocok, bahkan tak segan segan saya mengutipnya dan menyebut sumbernya sebagai penghargaan terhadap orang yang mengatakan atau menuliskannya.
Tapi jika saya anggap salah, tak malu atau sungkan pula saya menanggapinya. Mendebatnya. Berupaya menyuguhkan pandangan yang benar.
Bahkan ada kalanya ada momentum saling mempengaruhi dan bahkan mungkin saling mempertahankan gagasan yang dianggap paling benar di antara saya dan orang lain melalui kegiatan diskusi—kadang juga debat.**