Bineka Tunggal Warteg: Melihat Lebih Lekat Sejarah Warteg dan Perkembangannya

ان الورتيق فهو مكان واريق

Innal Warteg fahuwa makānun wāreg

Sesungguhnya Warteg adalah tempat yang mengenyangkan.

Maqalah di atas begitu sangat relate jika dikaitkan dengan keberadaan warung makan yang cara penyajian menunya dibekali dengan “teknologi canggih” berupa touchscreen atau layar sentuh pada “layar” etalasenya, yaitu Warung Tegal atau lazim disebut Warteg.

Jauh sebelum George Samuel Hurst atau akrab disapa Kang Sam (1927-2010) mematenkan teknologi touchscreen temuannya pada ahir abad XX, tepatnya tahun 1997, Warteg sudah menerapkan konsep touchscreen sejak lama. Bahkan teknologinya lebih canggih dari pada temuan Kang Sam. Karena untuk “mengaktifkan” berbagai layanan fitur “menu” di dalamnya, kita hanya cukup “mengaktifkan” jari telunjuk kita, tanpa harus menyentuh layar “gadget raksasa” tersebut (baca: etalase)

Bahkan ada jokes yang menyebutkan bahwa Kang Sam itu hanya mereplikasi konsep touchscreen ala Warteg, setelah sebelumnya pada tahun 1995 dirinya melakukan kunjungan ke Jakarta, dan mampir ke Warteg Bahari di bilangan Menteng, Jakarta Pusat.

Karena tertarik dengan cara penyajiannya yang hanya cukup dengan mengaktifkan  telunjuk jari dan seketika itu menu pesanannya langsung keluar dan tersaji di atas piring, ahirnya sepulangnya dari Indonesia Kang Sam merasa terilhami dan langsung berinovasi untuk membuat touchscreen.

Di ruang kerjanya yang terletak di sebuah ruko, di distrik Bell Country, Kentucky, Amerika Serikat yang dipenuhi dengan tumpukan kabel dan sebuah komputer usang, serta dindingnya dihiasi lukisan Mbah Einstein yang sedang tersenyum, Kang Sam mulai menyalurkan imajinasinya. Setelah melalui proses panjang serta dibersamai puluhan kali percobaan, ahirnya pada tahun 1997 —satu tahun sebelum Presiden Soeharto lengser— Kang Sam berhasil menemukan teknologi touchscreen, dan langsung mematenkan hasil replikasinya untuk diaplikasikan ke dalam ponsel IBM Simon Personal Communicator yang dinobatkan sebagai ponsel dengan teknologi touchscreen  pertama di dunia.

Kembali ke Warteg yang sekarang jumlahnya sudah hampir menyentuh angka 40.000 warung yang tersebar di berbagai pelosok Jabodetabek, bahkan ekspansinya sudah mencapai ke negeri K-POP hingga daratan benua biru Eropa.

Secara historis getok tular atau lip to lip, keberadaan Warteg yang menjamur di Jabodetabek dapat ditelusuri lewat dua jalur, yaitu dari jalur ekspansi Mataram atas Batavia yang pada saat itu dikuasai VOC (1628 dan 1629) dan juga arus urbanisasi pasca kemerdekaan Indonesia (1960)

Jika ditelaah lebih jauh, jalur keberadaan Warteg lewat ekspansi Mataram ke Batavia —pada saat itu belum disebut Warteg— yang dipimpin langsung oleh Gusti Sinuhun Sultan Agung Hadi Prabu Hanyakrakusuma cum Senapati ing ngalaga (1613 – 1646) dirasa cukup dhaif atau lemah. Karena dua kali penyerangan 1628 dan 1629 semuanya gagal total, dan  menyebabkan ribuan prajurit pilih tanding nan pinunjung pada berguguran di tangan VOC, termasuk prajurit dari karisidenan Tegal yang dikirim langsung oleh Bupati Martoloyo —Bupati nan pinunjung ketiga Residen Tegal, setelah Ki Gede Sebayu, Ki Ageng Hanggawana, sekaligus menjadi Bupati terlama yang pernah bertahta memimpin Tlatah Tegal dari tahun 1625-1675 (53 tahun)— yang jumlah ribuan prajurit kala itu.

Baca juga:  Terkait Papua, Presiden Jokowi Diharapkan Mencontoh Presiden Gus Dur

Singkatnya, prajurit yang pilih tanding nan pinunjung saja gugur di tangan VOC, apalagi rakyat biasa yang tidak punya skill dalam arena peperangan, kecuali mereka mau berkongsi dengan para punggawa VOC.

Bukan tanpa alasan, salah satu penyebab kekalahan Mataram oleh VOC pun karena faktor logistik yang kurang memadai. Bagaimana mau buka warung makan, atau sekadar jualan hasil bumi, sedangkan logistik peperangan saja masih kalangkabut, dan harus mencetak sawah terlebih dahulu di kawasan Indramayu juga Karawang, untuk bekal peperangan. Maka menjadi wajar jika sejarah Warteg versi getok tular atau lip to lip ini dirasa cukup dhaif atau lemah.

Paling rasional kapan Warteg mulai masuk ke Jabodetabek —utamanya Jakarta— yaitu pasca kemerdekaan sewaktu pembangunan di Jakarta mulai massif di bawah komando Presiden Sukarno pada dekade 60an. Semisal pembangunan Komplek Istora Sanayan, Masjid Istiqlal hingga berbagai macam tugu di Ibukota yang mayoritas merupakan gagasan dari Presiden Sukarno.

Pada saat itu kuli bersatu mangangkat cangkul, mulai mengaduk semen dan bersatu padu membangun negeri. Tentu, yang namanya kuli juga butuh energi berupa asupan gizi dari warung nasi. Berangkat dari kebutuhan energi para kuli maka  mulai menjamurlah warung nasi di Jakarta, yang kebetulan mulai dari kulinya hingga para pedagang nasinya mayoritas orang Jawa, tak terkecuali dari Tlatah Tegal sendiri. (Tidak ada tendesi dan maksud apa pun untuk menulis “mayoritas kuli dari Jawa”)

Boleh jadi, sangkin banyaknya warung nasi yang dibesut oleh orang Tegal, sehingga muncul label “Warung Tegal” yang kemudian disingkat jadi “Warteg” —karena pada saat yang bersamaan akronimisasi juga begitu massif di tubuh pemerintahan Sukarno, sebut saja “Berdikari” yang merupakan akronim dari “Berdiri Di Atas Kaki Sendiri”, “Trikora” atau “Tri Komando Rakyat” hingga kata “Petani” yang menurut Bung Karno merupakan akronim dari “Penyangga Tatanan Negara Indonesia”— hingga terjadilah getok tular atau lip to lip bahwa warung nasi yang dibesut oleh orang Tegal mendapat label Warteg, dan label tersebut melekat hingga saat ini serta menjadi branding tersendiri di tengah-tengah masyarakat Indonesia, walaupun dewasa ini banyak Warteg KW Super —untuk tidak menyebut Warteg abal-abal— di mana menu yang disajikan plek 100% bercitarasa Warteg, tapi yang jualan orang Brebes, Pemalang, Pekalongan hingga Banyumas.

Baca juga:  Menuju Satu Idul Fitri 1440 H di Indonesia

Jika ditarik lebih jauh mayoritas Warteg yang menjamur di Jabodetabek dimiliki oleh orang dari dua desa yang berada di ujung kulon Kecamatan Dukuhturi, Kabupaten Tegal, yaitu Desa Sidakaton dan Sidapurna.

Umumnya mereka yang menjadi pengusaha Warteg tidak hanya memiliki satu unit Warteg saja, tapi belasan hingga puluhan cabang Warteg yang terorganisir dengan rapi lewat Koperasi Warteg Nusantara atau Korwantara. Bahkan sebagaian Warteg yang sudah memiliki branding di masyarakat mulai membuka franchise kepada masyarakat umum —bukan untuk warga Tegal saja, tapi seluruh lapisan masyarakat dari daerah mana pun— untuk join bersama dengan brand mereka, sebut saja Warteg Kharisma Bahari, Warteg Jaya Bahari, Warteg Permata Bahari, dll., yang siap mewartegkan Nusantara.

Dalam perkembangannya selama dua dasawarsa ini, para pengusaha Warteg mulai melebarkan sayapnya dengan berekspansi ke luar negeri. Mulai dari negeri Jiran Malaysia, negeri gingseng Korea Selatan, hingga menembus daratan benua biru Eropa, tepatnya di negeri kincir angin, Belanda.

Di negeri Jiran Malaysia, misalnya, sejak 2016 berdiri kokoh Warteg Ipoh yang menyajikan menu ala Warteg. Di balik kombinasi warna putih dan kuning yang menyelimuti setiap jengkal tembok Warteg Ipoh, tersaji masakan bercitarasa Warteg yang juga dipadupadankan dengan aneka menu lainnya, seperti chicken chop, tom yam seafood hingga cooktail spagheti.

Ada yang menarik dari menu yang disajikan oleh Warteg Ipoh, yaitu nasi yang disajikan tersaji di atas lembaran daun pisang, yang semakin memberi kesan natural dan membuat nafsu makan para pengunjungnya semakin bergejolak. Harganya bervariasi, mulai dari RM 8 hingga RM 19 (kurs Ringgit ke Rupiah hari ini di angka Rp. 3.408 per Ringgit)

Lain halnya dengan Warteg Gembul dan Warteg Bahari Indonesia yang berada di negeri gingseng, Korea Selatan. Kedua Warteg ini juga gak mau kalah dengan Warteg di negeri asalnya Indonesia, dengan tetap menyajikan masakan khas Nusantara. Jadi bukan hanya masakan khas Tegal saja yang jadi menu andalan.

Seperti yang dilakukan oleh Warteg Bahari Indonesia Hana Lee yang berada di kota Gwangju, Korsel yang menyediakan aneka menu citarasa Nusantara, seperti bakso, somay, gado-gado, lontong sayur, hingga bandeng presto yang nyaris mustahil bisa kita temui di “layar touchscreen” Warteg di Indonesia.

Warteg dua lantai yang kini sudah genap berumur enam tahun tersebut biasanya buka dari jam 10:00 – jam 24:00 (Sabtu-Minggu), dan jam 16:00-24:00 (Senin-Jum’at). Harganya juga cukup variatif, untuk minuman dibandorol dengan harga mulai dari 2k-5k Won, untuk makanan dibandrol mulai dari 5k-18k Won. (Kurs Won ke Rupiah saat ini di angka Rp. 11,63 per Won)

Baca juga:  Tak Perlu Takut Kearab-Araban

Keberadaan Warteg di luar negeri juga gaungnya sampai ke daratan benua biru Eropa. Sebut saja Waroeng Adji yang jaraknya hanya 14 Km dari markas team sepakbola yang mengantongi empat kali gelar UCL yaitu Ajax Amsterdam yang juga didesain menyerupai Warteg yang telah berdiri sejak tahun 1996 atau satu tahun lebih muda dari pematenan touchscreen oleh Kang Sam pada tahun 1997.

Di Waroeng Adji juga dijajakan makanan khas Indonesia, seperti nasi goreng, gulai, rendang hingga tongseng. Harganya dibandrol mulai dari 18 Euro hingga 25 Euro.

Selain di negeri Jiran Malaysia, Korea Selatan juga Belanda, Warteg juga dapat dijumpai Saudi Arabia hingga Amerika Serikat.

Untuk menjembatani tali persaudaraan antarwarteg utamanya di kawasan Jabodetabek, maka dibentuklah koperasi yang menaungi berbagai bendera Warteg  yang dinamakan Korwantara.

Namun demikian, bagi pengusaha Warteg yang idealis, mereka tak jarang tidak mau cawè-cawè atau gabung dalam babakan perkoperasian atau organisasi yang lainnya yang menyangkut perwartegan. Boleh dibilang sedikit prinsip mereka yaitu, “Bagimu Wartegmu, bagiku Wartegku.”

Tapi apa pun itu, di mana pun, dan kapan pun, sekali Warteg tetaplah Warteg. Walaupun beda namanya, beda later etalasenya ada yang  L, ada yang  U, serta beda harga centong nasinya, hakikatnya adalah “Bineka Tunggal Warteg” (berbeda-beda namun satu Warteg jua). Sama-sama boleh mengangkat kaki ketika sedang makan, sama-sama masih bisa dihutangi ketika tanggal tua, dan sama-sama masih memakai tisu toilet untuk membersihkan sisa makanan yang menempel di mulut dan tangan para pelanggannya.

Warteg bukan sekadar warung yang dibekali dengan “teknologi canggih” berupa touchscreen pada “gadget raksasanya”.

Namun lebih dari itu, Warteg  merupkan bagian dari peradaban bangsa Indonesia yang luhur dan hadir sebagai simbol tenun kebangsaan, untuk merawat kebinekaan baangsa Indonesia yang ditenun lewat benang-benang menu makanan yang dihidangkan dalam setiap “gadget raksasa” yang terbuat dari kaca berkaliber 5 mm.

Warteg juga merupakan simbol dari kemakmuran dan juga kedisiplinan serta keuletan para “abdi dalemnya” dengan berpijak pada semboyan:

“Ing ngarso madahi sego, ing madyo ngetung arto, tutwuri jogo geni.”

“Di depan melayani pesanan nasi, di tengah menghitung uang kembalian, di belakang  standby jaga api, memasak setiap menu yang akan dihidangkan.”

Itulah semboyan dari Warteg yang selalu dijaga oleh setiap abdi dalemnya hingga kini, yang menghantarkan setiap pemilknya pada pintu gerbang kemakmuran dan kesuksesan.

Semoga para pengusaha Warteg serta para abdi dalemnya tetap guyub rukun, di mana pun, hingga sampai kapan pun, dengan berpegang pada satu prinsip:

“Bineka Tunggal Warteg.”

“Berbeda-beda namun satu Warteg jua.”

https://alif.id/read/luthfil-hakim/bineka-tunggal-warteg-melihat-lebih-lekat-sejarah-warteg-dan-perkembangannya-b242364p/